Walimatul 'urus (pesta pernikahan) hukumnya wajib [1] dan diusahakan sesederhana mungkin.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ.
”Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing” [2]
• Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan orang-orang
yang mengadakan walimah agar tidak hanya mengundang orang-orang kaya
saja, tetapi hendaknya diundang pula orang-orang miskin. Karena makanan
yang dihidangkan untuk orang-orang kaya saja adalah sejelek-jelek
hidangan.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ
ويُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ، فَمَنْ لَمْ يَأْتِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى
اللهَ وَرَسُوْلَهُ
“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang
orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak
diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia
durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” [3]
• Sebagai catatan penting, hendaknya yang diundang itu orang-orang
shalih, baik kaya maupun miskin, sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam:
لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ
“Janganlah engkau bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan
makan makananmu melainkan orang-orang yang bertaqwa” [4]
• Orang yang diundang menghadiri walimah, maka dia wajib untuk memenuhi undangan tersebut.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيْمَةِ فَلْيَأْتِهَا
“Jika salah seorang dari kamu diundang menghadiri acara walimah, maka datangilah!” [5]
• Memenuhi undangan walimah hukumnya wajib, meskipun orang yang diundang sedang berpuasa.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا
فَلْيَطْعَمْ، وَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ. يَعْنِى اَلدُّعَاءَ
Apabila seseorang dari kalian diundang makan, maka penuhilah undangan
itu. Apabila ia tidak berpuasa, maka makanlah (hidangannya), tetapi jika
ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia mendo’akan (orang yang
mengundangnya)” [6]
• Dan apabila yang diundang memiliki alasan yang kuat atau karena
perjalanan jauh sehingga menyulitkan atau sibuk, maka boleh baginya
untuk tidak menghadiri undangan tersebut.[7]
Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Atha' bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu
‘anhu pernah diundang acara walimah, sementara dia sendiri sibuk
membereskan urusan pengairan. Dia berkata kepada orang-orang,
“Datangilah undangan saudara kalian, sampaikanlah salamku kepadanya dan
kabarkanlah bahwa aku sedang sibuk” [8]
• Disunnahkan bagi yang diundang menghadiri walimah untuk melakukan hal-hal berikut:
Pertama: Jika seseorang diundang walimah atau jamuan makan, maka dia
tidak boleh mengajak orang lain yang tidak diundang oleh tuan rumah.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata, “Ada
seorang pria yang baru saja menetap di Madinah bernama Syu’aib, ia
punya seorang anak penjual daging. Ia berkata kepada anaknya, ‘Buatlah
makanan karena aku akan mengundang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang bersama empat
orang disertai seseorang yang tidak diundang. Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, ‘Engkau mengundang aku bersama empat orang lainnya.
Dan orang ini ikut bersama kami. Jika engkau izinkan biarlah ia ikut
makan, jika tidak maka aku suruh pulang.’ Syu’aib menjawab, ‘Tentu, saya
mengizinkannya’” [9]
Kedua: Mendo’akan bagi shahibul hajat (tuan rumah) setelah makan.
Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُمْ، وَارْحَمْهُمْ، وَبَاِرِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ
“Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka” [10]
Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ، وَاغْفِرْ لَهُم،ْ وَارْحَمْهُمْ
“Ya Allah, berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka, ampunilah mereka dan sayangilah mereka.” [11]
Atau dengan lafazh:
اَللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي، وَاسْقِ مَنْ سَقَانِي
“Ya Allah, berikanlah makan kepada orang yang memberi makan kepadaku,
dan berikanlah minum kepada orang yang memberi minum kepadaku” [12]
Atau dengan lafazh:
أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ، وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارُ، وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ
“Telah berbuka di sisi kalian orang-orang yang berpuasa, dan telah
menyantap makanan kalian orang-orang yang baik, dan para Malaikat telah
mendo’akan kalian.” [13]
Ketiga: Mendo’akan kedua mempelai.
Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:
بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
“Semoga Allah memberkahimu dan memberkahi pernikahanmu, serta semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan” [14]
• Disunnahkan menabuh rebana pada hari dilaksanakannya pernikahan. Ada dua faedah yang terkandung di dalamnya:
1. Publikasi (mengumumkan) pernikahan. 2. Menghibur kedua mempelai.
Hal ini berdasarkan hadits dari Muhammad bin Hathib, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
“Pembeda antara perkara halal dengan yang haram pada pesta pernikahan
adalah rebana dan nyanyian (yang dimainkan oleh anak-anak kecil)” [15]
Juga berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia pernah
mengantar mempelai wanita ke tempat mempelai pria dari kalangan Anshar.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata,
يَا عَائِشَةُ، مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ؟ فَإِنَّ اْلأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ
“Wahai ‘Aisyah, apakah ada hiburan yang menyertai kalian? Sebab, orang-orang Anshar suka kepada hiburan.” [16]
Dalam riwayat yang lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apakah kalian mengirimkan bersamanya seorang gadis (yang masih kecil
-pen) untuk memukul rebana dan menyanyi?” ‘Aisyah bertanya, “Apa yang
dia nyanyikan?” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia
mengucapkan:
أَتَيْنَاكُـمْ أَتَـيْنَاكُـمْ فَحَـيُّوْنَا نُحَيِّيْكُـمْ لَوْ لاَ
الذَّهَبُ اْلأَحْـمَرُ مَا حَلَّتْ بِوَادِيْكُـمْ لَوْ لاَ الْحِنْطَةُ
السَّمْـرَاءُ مَا سَمِنَتْ عَذَارِيْكُمْ
Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalian Hormatilah kami,
maka kami hormati kalian Seandainya bukan karena emas merah Niscaya
kampung kalian tidaklah mempesona Seandainya bukan gandum berwarna
coklat Niscaya gadis kalian tidaklah menjadi gemuk.[17]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَعْلِنُوا النِّكَاحَ
"Umumkanlah (meriahkanlah) pernikahan.” [18]
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor - Jawa
Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006] _______ Footnote [1].
Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i , Imam Malik dan Ibnu Hazm
azh-Zhahiri. Berdasarkan perintah Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam
kepada Shahabat ‘Abdurrahman bin ‘Auf agar mengadakan walimah. Sedangkan
Jumhur ulama berpendapat bahwa walimah hukumnya sunnah muakkadah.
Wallaahu a’lam. [2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no.
2049 dan 5155), Muslim (no. 1427), Abu Dawud (no. 2109), an-Nasa'i
(VI/119-120), at-Tirmidzi (no. 1094), Ahmad (III/190, 271),
ath-Thayalisi (no. 2242) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik
radhiyallaahu ‘anhu. [3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari
(no. 5177), Muslim (no. 1432), Abu Dawud (no. 3742), Ibnu Majah (no.
1913) dan al-Baihaqi (VII/262), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
Lafazh ini milik Muslim. [4]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud
(no. 4832), at-Tir-midzi (no. 2395), al-Hakim (IV/128) dan Ahmad
(III/38), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu. [5].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5173), Muslim (no. 1429
(96)), Abu Dawud (no. 3736) dan at-Tirmidzi (no. 1098), Ibnu Majah (no.
1914), Ahmad (II/20, 22, 37, 101), al-Baihaqi (VII/ 262) dan al-Baghawi
(IX/138), dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. [6]. Hadits shahih:
Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1431 (106)), Ahmad (II/507), al-Baihaqi
(VII/263) dan lafazh ini miliknya, dari Abu Hurairah. [7]. Al-Insyiraah
fii Adaabin Nikaah (hal. 41-42). [8]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq
dalam Mushannaf (no. 19664). Al-Hafizh berkata, “Sanadnya shahih.”
(Fat-hul Baari IX/247). [9]. Hadits shahih: Diriwayatkan al-Bukhari (no.
2081, 2456, 5434, 5461), Muslim (no. 2036 (138)), Ahmad (IV/120, 121)
dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (IX/145, no. 2320). [10]. Hadits
shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/187-188), dari ‘Abdullah bin Busr
radhiyallaahu ‘anhu. [11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no.
2042), at-Tirmidzi (no. 3576), Abu Dawud (no. 3729), dari ‘Abdullah bin
Busr radhiyallaahu ‘anhu. [12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim
(no. 2055), Ahmad (VI/2, 3, 4, 5), dari Sahabat al-Miqdad bin al-Aswad
radhiyallaahu ‘anhu. Do’a tersebut diucapkan pula bila kita diundang
makan atau makan di rumah orang lain ketika bertamu atau lainnya. [13].
Diriwayatkan oleh Ahmad (III/118, 138), Abu Dawud (no. 3854), al-Baihaqi
(VII/287), an-Nasa'i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 299) dan Ibnu
Sunni (no. 482), dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Do’a ini
diucapkan ketika seseorang berbuka puasa di rumah orang lain, juga
ketika kita diundang makan. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 171) cet. Darus
Salam, th. 1423 H. [14]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2130),
at-Tirmidzi (no. 1091), Ahmad (II/381), Ibnu Majah (no. 1905), al-Hakim
(II/183) dan al-Baihaqi (VII/148), dari Sahabat Abu Hurairah
radhiyallaahu ‘anhu. [15]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i
(VI/127-128), at-Tirmi-dzi (no. 1088), Ibnu Majah (no. 1896), Ahmad
(III/418 dan IV/259), al-Hakim (II/183) dan ia berkata, “Sanadnya
shahih.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi. [16]. Hadits shahih:
Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5162), al-Hakim (II/183-184),
al-Baihaqi (VII/288) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2267).
[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1900), Ahmad
(III/391), al-Baihaqi (VII/289), dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[18]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 1285
al-Mawaarid), Ahmad (IV/5), al-Hakim (II/183) dan al-Baihaqi (VII/288),
dari ‘Abdullah bin Zubair radhiyallaahu ‘anhu.
http://www.facebook.com/notes/new-abu-warda/walimatul-urus-pesta-pernikahan/273258539461818
Tidak ada komentar:
Posting Komentar