Rabu, 03 Oktober 2012

Kebodohan Dan Kezholiman Adalah Pangkal Segala Keburukan

Oleh: Ust. Sofyan Chalid


BismiLlah walhamduliLlah washsholatu wassalamu 'ala RasuliLlah.

Seorang sahabat yang mulia, seorang sahabat yang menghadapi banyak fitnah perselisihan di masanya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu berkata, "Andaikan orang yang tidak mengerti ilmu itu diam niscaya akan hilang perselisihan." [Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fdhlih, 2/207]

Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata, "Sungguh telah berani berbicara tentang ilmu, orang-orang yang sebetulnya jika mereka diam dari sebagian ucapan mereka adalah lebih baik dan lebih selamat bagi mereka insya Allah." [Ar-Risalah, hal. 41]

Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, "Tidak ada perusak ilmu dan ahlinya yang lebih berbahaya dari "Ad-Dukhala," para penyusup yang berani berbicara tentang ilmu padahal mereka bukan ahlinya. Mereka itu bodoh namun menganggap diri mereka berilmu, mereka berbuat kerusakan namun menganggap diri mereka berbuat perbaikan." [Al-Akhlaq was Siyar, hal. 4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Perselisihan yang tercela di antara kedua belah pihak terkadang sebabnya adalah rusaknya niat, yaitu terdapat dalam diri-diri mereka kezaliman, hasad, keinginan untuk meninggikan diri di muka bumi dan yang semisalnya."


Beliau rahimahullah juga berkata, "Dan terkadang perselisihan yang tercela itu disebabkan oleh kebodohan orang-orang yang berselisih tentang duduk perkara yang sebenarnya. Atau kebodohan tentang dalil yang dipegang oleh pihak lain. Atau kebodohan salah satu pihak tentang kebenaran yang berada pada pihak lain dalam hukum atau dalam dalil, meskipun dia tahu kebenaran yang ada pada dirinya baik secara hukum maupun dalil."

Beliau rahimahullah memberikan kesimpulan, "Kebodohan dan kezaliman adalah pokok segala keburukan, sebagaimana firman Allah ta'ala, "Dan amanah tersebut akhirnya dipikul oleh manusia, sesungguhnya manusia itu zalim lagi bodoh." (Al-Ahzab: 72)." [Al-Iqthidho', 1/148]

Mari kita renungkan firman Allah ta'ala, "Itulah negeri akhirat, kami jadikan untuk orang-orang-orang yang tidak menghendaki ketinggian di muka bumi dan tidak pula kerusakan, dan surga itu hanyalah bagi orang-orang yang bertakwa." [Al-Qoshoh: 83]

Ya Allah jagalah hati-hati kami dari keinginan mencari ketinggian di muka bumi.

Ya Allah jagalah lisan-lisan kami dari ucapan-ucapan yang menyebabkan kerusakan di muka bumi, khususnya kerusakan dalam ilmu dan para penuntut ilmu.

Kesimpulan:


Kesimpulan Pertama:
Orang yang memasuki perkara-perkara besar dalam keadaan dia bodoh dengan ilmu agama adalah orang yang merusak namun dia menyangka sedang melakukan perbaikan.

Dalam istilah ulama dikenal dengan JAHIL MURAKKAB, bukan jahil biasa, yaitu orang jahil namun tidak sadar kalau dirinya jahil, bahkan dia merasa PANTAS untuk masuk dalam perkara tersebut.

Hal ini terjadi apabila dia memasuki perkara-perkara besar yang seharusnya dikembalikan kepada orang-orang yang berilmu, yaitu setiap perkara yang APABILA DIBICARAKAN AKAN BERDAMPAK LUAS, yang menimbulkan gejolak dan mempengaruhi KEAMANAN maupun KEKHAWATIRAN dalam diri orang-orang yang beriman. Diantaranya berbicara tentang FITNAH PERPECAHAN antara Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Allah ta'ala telah mengajarkan bagaimana ADAB YANG BENAR bagi si jahil apabila menghadapi perkara-perkara besar seperti ini, sebagaimana firman-Nya,

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Andaikan mereka menyerahkan urusannya kepada Rasul dan Ulil Amri (pemegang urusan dari kalangan umaro dan orang-orang berilmu) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” [An-Nisa’: 83]

Al-‘Allamah Al-Mufassir Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,

هذا تأديب من الله لعباده عن فعلهم هذا غير اللائق. وأنه ينبغي لهم إذا جاءهم أمر من الأمور المهمة والمصالح العامة ما يتعلق بالأمن وسرور المؤمنين، أو بالخوف الذي فيه مصيبة عليهم أن يتثبتوا ولا يستعجلوا بإشاعة ذلك الخبر، بل يردونه إلى الرسول وإلى أولي الأمر منهم، أهلِ الرأي والعلم والنصح والعقل والرزانة، الذين يعرفون الأمور ويعرفون المصالح وضدها. فإن رأوا في إذاعته مصلحة ونشاطا للمؤمنين وسرورا لهم وتحرزا من أعدائهم فعلوا ذلك. وإن رأوا أنه ليس فيه مصلحة أو فيه مصلحة ولكن مضرته تزيد على مصلحته، لم يذيعوه، ولهذا قال: { لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ } أي: يستخرجونه بفكرهم وآرائهم السديدة وعلومهم الرشيدة.

“Ini adalah pengajaran adab dari Allah ta’ala bagi hamba-hamba-Nya atas perbuatan mereka (tergesa-gesa menyebarkan berita-berita dan mengambil sikap, pen) yang tidak layak. Padahal yang seharusnya mereka lakukan, apabila datang kepada mereka berita tentang urusan besar dan berhubungan dengan kemaslahatan umum, yaitu yang berkaitan dengan keamanan dan perkara yang menyenangkan kaum mukminin atau ketakutan yang di dalamnya terkandung musibah atas mereka, maka hendaklah mereka melakukan tatsabbut (memastikan beritanya) dan tidak tergesa-gesa menyiarkan berita tersebut.

Akan tetapi hendaklah mereka kembalikan urusan itu kepada Rasul dan Ulil amri (pemegang urusan dari kalangan umaro dan orang-orang berilmu) di antara mereka, yaitu orang-orang yang memiliki pandangan, memiliki ilmu, memiliki nasihat (yakni yang pantas menasihati dalam masalah umum, pen), memiliki akal dan memiliki ketenangan (tidak tergesa-gesa dalam memutuskan). Merekalah yang mengetahui kemaslahatan dan kemudaratan.

Maka jika mereka memandang dalam penyiaran berita tersebut terdapat kemaslahatan, kemajuan dan kegembiraan terhadap kaum muslimin dan penjagaan dari musuh-musuh mereka, baru kemudian boleh disebarkan. Namun jika mereka memandang dalam penyiarannya tidak mengandung maslahat sama sekali, atau terdapat maslahat akan tetapi kemudaratannya lebih besar, maka mereka tidak menyiarkan berita tersebut. Oleh karena itu Allah ta’ala mengatakan, “Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri),” yakni, orang-orang yang mau mencari kebenaran dapat mengambilnya dari pemikiran dan pandangan mereka yang benar serta ilmu-ilmu mereka yang terbimbing.”

Beliau rahimahullah juga berkata,

وفي هذا دليل لقاعدة أدبية وهي أنه إذا حصل بحث في أمر من الأمور ينبغي أن يولَّى مَنْ هو أهل لذلك ويجعل إلى أهله، ولا يتقدم بين أيديهم، فإنه أقرب إلى الصواب وأحرى للسلامة من الخطأ. وفيه النهي عن العجلة والتسرع لنشر الأمور من حين سماعها، والأمر بالتأمل قبل الكلام والنظر فيه، هل هو مصلحة، فيُقْدِم عليه الإنسان؟ أم لافيحجم عنه؟

Dan dalam ayat ini terdapat dalil bagi kaidah adab, yaitu apabila terjadi pembahasan suatu permasalahan maka hendaklah diserahkan kepada ahlinya. Hendaklah diserahkan kepada orang yang berhak membahasnya, dan janganlah (orang yang jahil atau tidak mengerti urusan, pen) mendahului mereka, karena sikap seperti ini lebih dekat kepada kebenaran dan lebih dapat menyelamatkan dari kesalahan.

Dalam ayat ini juga terdapat larangan tergesa-gesa dan terburu-buru untuk menyebarkan suatu berita setelah mendengarkan berita tersebut. Dan (dalam ayat ini) terdapat perintah untuk meneliti dan mempelajari dengan baik sebelum berbicara; apakah pembicaraannya itu adalah kemaslahatan sehingga boleh dia lakukan? Ataukah mengandung kemudaratan sehingga patut dijauhi?”

[Taysirul Kariimir Rahman fi Tafsiri Kalaamil Mannan, hal, 184, Maktabah Al-Ma’arif Riyadh]
Kesimpulan Kedua:
KEBODOHAN DAN KEZALIMAN ADALAH SEBAB TERSEBARNYA FITNAH PERPECAHAN:
Perbedaan Antara Membela Sunnah dan Menjatuhkan Kehormatan Ahlus Sunnah

Sesungguhnya batas antara CEMBURU TERHADAP AL-HAQ dan MENCEDERAI PARA DA'I YANG MENYAMPAIKAN AL-HAQ sangat jelas bagi orang yang berilmu. Akan tetapi bagi orang jahil keadaan itu bisa berbailk. Sikap dan tidakannya yang melampaui batas terh...
adap kehormatan para da'i Ahlus Sunnah wal Jama'ah malah dianggapnya sebagai kecemburuan terhadap kebenaran. Bahkan tidak jarang mengesankan seakan-akan dirinyalah yang paling cemburu terhadap kebenaran.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam hafizhahullah berkata,

"Kecemburuan terhadap Islam tidaklah akan terealisasi dengan benar kecuali dengan kecemburuan terhadap para da'i pembawa Islam, sebab Islam tidak akan mungkin dikenal kecuali dengan para da'i tersebut. Maka membicarakan kejelekan para da'i tersebut menafikan kecemburuan yang benar.

Dan diantara prinsip Ahlus Sunnah adalah tidak mencela para sahabat dikarenakan adanya rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya untuk mereka. Demikian pula membicarakan kejelekan orang-orang yang berilmu, yang dikenal dengan kejujurannya pada umat, ketakwaannya dan ittiba'nya kepada minhaj nubuwwah.

Sesungguhnya Allah ta'ala telah men-ta'dil mereka secara umum, dan Allah jadikan mereka sebagai perantara untuk menyampaikan kebenaran dari-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Dan Allah ta'ala menjadikan mereka sebagai hujjah atas manusia. Maka orang yang mencela mereka tidaklah dapat dikatakan sebagai orang yang cemburu terhadap Islam.

Bahkan yang pantas dikatakan kepadanya, bahwa sesungguhnya dengan celaannya kepada orang-orang yang berilmu maka dia telah mengundang peperangan Allah terhadap dirinya. Allah ta'ala berfirman dalam hadits qudsi,

"Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang terhadapnya." [HR' Al-Bukhari, no. 6502]

Dan juga, mencela orang-orang yang berilmu berarti membuka pintu untuk tidak diterimanya ilmu mereka oleh umat dan umat pun tidak merujuk kepada mereka. Maka yang terjadi, kebatilan akan mendominasi kebenaran, tersebarlah hal itu di tengah-tengah kaum muslimin, sehingga ahlul bid'ah pun semakin bebas menyebarkan kesesatannya.

Demikian pula, mencela kehormatan orang-orang yang berilmu terhadap sunnah adalah salah satu tanda besar dari tanda-tanda ahlul bid'ah dan hizbiyah.

MAKA BARANGSIAPA YANG MENJATUHKAN KEHORMATAN ORANG-ORANG YANG ZHOHIRNYA SUNNAH, minimalnya dia adalah orang yang menyerupai ahlul bid'ah dan hizbiyah." [Al-Ibanah, hal. 160]

Dari penjelasan ulama Ahlus Sunnah di atas muncul satu PERTANYAAN BESAR kepada orang yang menjatuhkan kehormatan para da'i Ahlus Sunnah:

Para da'i Ahlus Sunnah yang kita kenal telah mencurahkan tenaga dan waktunya untuk berdakwah menyebarkan tauhid dan sunnah, apakah mereka da'i Ahlus Sunnah yang harus dimuliakan ataukah ahlul bid'ah wal hizbiyah yang boleh dijatuhkan kehormatannya ?

Jika jawabannya YA mereka Ahlul Bid'ah wal Hizbiyah, maka silahkan datangkan ucapan para ulama Ahlus Sunnah yang telah mengeluarkan mereka dari Ahlus Sunnah dengan berdasarkan ilmu. Terlebih jika ternyata para da'i tersebut dekat dengan para ulama dan walhamdulillah di zaman ini dengan mudahnya kita bisa menghubungi para ulama untuk meminta fatwa.

Jika jawabannya TIDAK mereka masih Ahlus Sunnah, maka haram atasmu menjatuhkan kehormatan mereka. Justru menjatuhkan mereka adalah sifat Ahlul Bid'ah wal Hizbiyah.

Adapun jika mereka memiliki kesalahan yang patut dinasihati maka engkau pun tahu bagaimana cara menasihati mereka, sebagaimana engkau tahu perbedaan antara nasihat dan menjatuhkan kehormatan seorang yang mulia.

Kesimpulan Ketiga:
KEJAHILAN TERHADAP DALIL DAN SISI PENDALILAN PIHAK LAIN ADALAH SEBAB TERJADINYA PERPECAHAN
[Jangan Hanya Menerima Informasi dari Satu Pihak]

Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang telah kita sebutkan pada bagian pertama, yaitu:

"Dan terkadang perselisihan yang tercela itu disebabkan oleh kebodohan orang-orang yang berselisih tentang duduk perkara yang sebenarny...
a. Atau kebodohan tentang dalil yang dipegang oleh pihak lain. Atau kebodohan salah satu pihak tentang kebenaran yang berada pada pihak lain dalam hukum atau dalam dalil, meskipun dia tahu kebenaran yang ada pada dirinya baik secara hukum maupun dalil." [Al-Iqthido, 1/148]

Yang nampak bagi kami bahwa maksud beliau adalah, hendaklah kita berusaha memberi udzur kepada saudara kita yang menyelisihi kita ataupun menyelisihi guru kita, dan berusaha MENCARI TAHU apa dalil yang mendasarinya serta bagaimana sisi pendalilannya.

Jangan hanya memandang penyelisihan tersebut dari sudut pandang kita saja, walaupun kita juga memandang dengan dalil dan sisi pendalilan yang kita yakini benar. Bisa jadi setelah kita mengetahui dalil dan sisi pendalilan saudara kita maka kita dapat menerimanya sebagai sebuah perbedaan pendapat yang tidak tercela dalam Ahlus Sunnah.

Oleh karena itu, bagi seorang penuntut ilmu, bagaimana seharusnya dia bersikap dalam menghadapi perselisihan antara da'i Ahlus Sunnah?

Apakah dia harus membela fulan karena fulan adalah gurunya? Dan mencerca setiap lawan-lawannya meskipun mereka masih Ahlus Sunnah? Tanpa sedikitpun berusaha memahami hujjah orang yang menyelisihi gurunya?

Ataukah yang seharusnya bagi dia untuk tidak ta'ashshub terhadap pendapatnya dan pendapat gurunya? Tetapi hendaklah dia mempelajari dalil-dalil kedua belah pihak dan hujjah-hujjah mereka? Sehingga perpecahan akan dapat dihilangkan, bukannya menambah berkobarnya api perselisihan.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam hafizhahullah berkata,

"Diantara sebaik-baiknya cara untuk menghilangkan perselisihan adalah mengumpulkan antara orang yang mencela dan orang yang dicela (maksudnya untuk mendengar hujjah-hujjah kedua belah pihak)."

"Apabila sampai kepada seseorang, sebuah celaan untuk saudara-saudaranya maka yang dituntut baginya untuk mengumpulkan antara orang yang mencela dan yang dicela. Hendaklah dia mendengarkan dari kedua belah pihak, ini lebih selamat untuk mengetahui duduk permasalahan yang sebenarnya (kemudian beliau menyebutkan dalil-dalilnya)." [Lihat Al-Ibanah, hal. 82]

Maka apabila kita dapati adanya perselisihan antara Ahlus Sunnah yang harus kita lakukan adalah tidak tergesa-gesa untuk menyalahkan pihak lain sampai kita mempelajarinya dengan baik atau diserahkan kepada para Ulama Ahlus Sunnah untuk memberikan keputusan yang ilmiah.

Kesimpulan Keempat:
Sikap At-Ta'anni (Menahan Diri, Tidak Tergesa-gesa) dalam Menghukumi adalah Sifat Seorang Penuntut Ilmu Ketika Terjadi Fitnah Perpecahan

Nabi shallallahu'alaihi wa sallam bersabda kepada Asyaj Abdil Qois,

إنَّ فيكَ لَخَصْلَتَيْن يُحِبُّهُمَا اللهُ الْحِلْمُ وَالأنَاةُ

“Sesungguhnya pada dirimu ada dua akhlak yang dicintai Allah, yaitu al-hilm (menahan diri ketika marah, tid...
ak tergesa-gesa menyikapi suatu masalah) dan al-anaah (berhati-hati dalam menghadapi suatu masalah, menahan diri dan tidak terburu-buru).” [HR. Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma]

Hal ini sangat diperlukan sekali, karena orang-orang yang berselisih (khususnya Ahlus Sunnah) pada umumnya memiliki dalil dan hujjah, sehingga seorang penuntut ilmu hendaklah bersabar dan menahan dirinya, tidak tergesa-gesa menghukumi satu pihak.

Kita masuk pada contoh kasus. Jika seorang da'i Ahlus Sunnah dituduh dan dicela karena menyampaikan ceramah atau dauroh yang diadakan oleh hizbiyun.

Maka hendaklah seorang penuntut ilmu tidak tergesa-gesa untuk ikut-ikutan menuduh dan mencerca seorang da'i Ahlus Sunnah. Hendaklah dia menahan dirinya sampai dia mengetahui hakikatnya dari keterangan para ulama.

Sebab kenyataan di lapangan banyak sekali KEMUNGKINAN yang terjadi, diantaranya:

1. Bisa jadi penuduh melakukan kesalahan, sebab ternyata panitia yang dituduh sebagai hizbiyun tersebut adalah Ahlus Sunnah. Walaupun mungkin terkadang ada kesalahan-kesalahan padanya yang perlu dinasihati, akan tetapi belum terpenuhi syarat-syarat untuk menghukumi mereka sebagai hizbiyun atau ahlul bid'ah.

2. Atau bisa jadi antara penuduh dan si da'i terjadi perbedaan pendapat dalam menghukumi mereka, dan ini adalah hal yang biasa dalam al-jarh wat ta'dil. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam hafizhahullah berkata,

"Apabila ikhtilaf banyak terjadi dalam pembahasan hukum-hukum fiqh padahal ia dibangun di atas ucapan Allah ta'ala dan Rasul-Nya shallallahu'alaihi wa sallam, apalagi dalam masalah-masalah yang dihasilkan dari ucapan Ahlul jarh wat ta'dil yang didasari oleh ilmu mereka dan ijtihad mereka." [Al-Ibanah, hal. 173]

Perhatikan ucapan Syaikh hafizhahullah, bahwa al-jarh dan at-ta'dil lahir dari ilmu yang dimiliki seseorang dan ijtihadnya, BUKAN WAHYU YANG DIWAHYUKAN KEPADANYA. Artinya:

Pertama: Seseorang harus memiliki ilmu tentang al-jarh wat ta'dil. Tidak setiap orang yang boleh berbicara padanya.

Kedua: Setelah memiliki ilmunya barulah dia berijtihad padanya.

Dan yang namanya ijtihad bisa benar dan bisa salah, dan bisa pula terjadi perbedaan antara ijtihad seorang 'alim dan ijtihad 'alim lainnya. Maka dalam menyikapi hal tersebut perlu ada sikap menahan diri dan tidak tergesa-gesa.

Dan HUKUM ASALNYA seorang yang ilmu dan ijtihadnya membawa dia untuk menta'dil orang yang kita jarh adalah DIBERI 'UDZUR. Sampai tegak hujjah atasnya tentang kesalahannya. Atau bahkan bisa jadi dia yang benar dan kita yang salah.

Dan perlu dipahami bahwa kaidah, "-Al-Jarhul Mufassar Muqoddamun 'alat Ta'dil" tidak bisa secara otomatis diterapkan dalam kasus seperti ini, sebab ada syarat-syarat yang dijelaskan para ulama untuk menggunakan kaidah tersebut (yang insya Allah ta'ala dalam kesempatan lain akan kami terangkan).

3. Jika ternyata tuduhan terhadap panitia sebagai hizbiyun itu benar, apakah da'i Ahlus Sunnah itu mengetahui keadaan mereka? Bisa jadi dia tidak mengetahuinya dalam keadaan dia mengenal mereka sebagai Ahlus Sunnah. Maka yang harus dilakukan oleh si penuduh atau orang yang mengetahui adanya tuduhan itu adalah menasihati si da'i dengan menjaga adab-adab Ahlus Sunnah dalam menasihati.

4. Jika si da'i Ahlus Sunnah tersebut ternyata tahu bahwa mereka adalah hizbiyun, bolehkah baginya untuk menyampaikan ceramah di tengah-tengah mereka? Jawabannya bisa jadi boleh bisa jadi tidak boleh.

Orang yang menjawab tidak boleh tentunya akan berdalil dengan larangan-larangan bermajelis dengan Ahlul Bid'ah. Dan dalil-dalil tersebut benar bahkan disepakati oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Akan tetapi bisa jadi dalil-dalil tersebut tidak tepat dalam penerapannya.

Adapun orang yang membolehkan maka hukum pembolehannya perlu diperinci:

Pertama: Jika dia membolehkan secara mutlak maka ini jelas salah, menyelisihi ijma' ulama tentang larangan bermajelis dengan ahlul bid'ah.

Kedua: Jika dia membolehkan dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus maka terkadang hal itu justru disyari'atkan.

Satu contoh (dan bukan pembatasan): Orang yang berilmu menghadapi orang-orang jahil dari kalangan ahlul bid'ah, bahkan mungkin mereka mengundangnya untuk menyampaikan dakwah tauhid dan sunnah di satu majelis, maka tidak diragukan lagi hal ini boleh dan bahkan KESEMPATAN BESAR untuk mendakwahi mereka, dan bahkan bisa jadi hal itu adalah kewajiban.

Oleh karena itu, hal ini terkadang dilakukan oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah dari kalangan sahabat dan para ulama setelahnya, diantaranya kisah sahabat yang mulia Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma mendatangi MARKAZ KHAWARIJ untuk menasihati mereka, dan hasilnya tidak kurang dari 2000 orang Khawarij yang bertaubat.

Maka janganlah kita tergesa-gesa menuduh jelek terhadap seorang da'i Ahlus Sunnah, apatah lagi hanya berdasarkan informasi dari satu pihak.

WabiLlahit taufiq.
http://www.facebook.com/SofyanRuray?ref=ts&fref=ts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar