Selasa, 18 Desember 2012
Thaharah/Bersuci (Kitab Ad Durorul Bahiyyah Fii Masaa'ilil Fiqhiyyah)
Bab Air
1. Air itu suci dan mensucikan.
2. Tidak mengeluarkannya dari kedua sifat tersebut kecuali yang mengubah baunya, warnanya atau rasanya dari semua jenis najis.
3. Tidak dikeluarkan dari sifat mensucikan kecuali apa yang mengeluarkannya dari sifat air mutlak, berupa sesuatu yang suci yang bisa mengubah (ketiga sifatnya).
4. Tidak ada perbedaan antara;
a. Air sedikit dan banyak.
b. Air di atas dua kullah atau kurang.
c. Musta’mal (sudah terpakai) atau tidak.
d. Mengalir atau tergenang.
5. Benda-benda yang najis adalah:
a. Kotoran manusia secara mutlak.
b. Kencing manusia kecuali dari bayi laki-laki yang masih menyusui.
c. Liur anjing.
d. Kotoran (binatang).
e. Darah haidh.
f. Daging babi
Selain dari itu masih diperdebatkan.
6. Pada asalnya semua suci, tidak boleh dipindahkan (dari kesuciannya) kecuali dengan dalil yang shahih, tidak bertentangan dengan dalil yang setara atau yang lebih didahulukan darinya.
Rabu, 05 Desember 2012
Kitab Tauhid Bab 5 Dakwah (Mengajak) Kepada Syahadat "Laa ilaaha illallaah"
Firman Alloh Subhanahu wa Subhanahu wa Ta’ala :
]قل هذه سبيلي أدعو إلى الله على بصيرة أنا ومن اتبعني وسبحان الله وما أنا من المشركين[
“Katakanlah : ”inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku, aku berdakwah kepada Alloh dengan hujjah yang nyata, maha
suci Alloh, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS.
Yusuf, 108)
Ibnu Abbas RadhiAllohu’anhu berkata : ketika Rasululloh ShallAllohu’alaihi wa Sallam mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman beliau bersabda kepadanya :
"إنك
تأتي قوما من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا
الله - وفي رواية : إلى أن يوحدوا الله -، فإن هم أطاعوك لذلك فأعلمهم أن
الله افترض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة، فإن هم أطاعوك لذلك فأعلمهم
أن الله افترض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم، فإن هم
أطاعوك لذلك فإياك وكرائم أموالهم، واتق دعوة المظلوم فإنه ليس بينها وبين
الله حجاب"
“Sungguh
kamu akan mendatangi orang-orang ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), maka
hendaklah pertama kali yang harus kamu sampaikan kepada mereka adalah
syahadat La Ilaha IllAlloh – dalam riwayat yang lain
disebutkan “supaya mereka mentauhidkan Alloh”-, jika mereka mematuhi
apa yang kamu dakwahkan, maka sampaikan kepada mereka bahwa Alloh telah
mewajibkan kepada mereka sholat lima waktu dalam sehari semalam, jika
mereka telah mematuhi apa yang telah kamu sampaikan, maka sampaikanlah
kepada mereka bahwa Alloh telah mewajibkan kepada mereka zakat, yang
diambil dari orang-orang kaya diantara mereka dan diberikan pada
orang-orang yang fakir. Dan jika mereka telah mematuhi apa yang kamu
sampaikan, maka jauhkanlah dirimu dari harta pilihan mereka, dan
takutlah kamu dari doanya orang-orang yang teraniaya, karena
sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara doanya dan Alloh” (HR.
Bukhori dan Muslim).
Senin, 03 Desember 2012
Benarkah Kaum Syiah Mencintai Ahlul Bait?(Bukti-Bukti Pengkhianatan Kaum Syi’ah terhadap Ahlul Bait )
Oleh: Ust. Dzulqarnain
Kaum Syi’ah menyangka bahwa mereka berloyalitas kepada Ahli Bait (keluarga) Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan mencintai Ahlul Bait. Mereka juga menyangka bahwa madzhab mereka diambil dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Ahlul Bait dan dibangun di atas pendapat-pendapat dan riwayat-riwayat dari Ahlul Bait. Karena alasan kecintaan kepada Ahlul Bait, kaum Syi’ah mengafirkan para shahabat yang dianggap menzhalimi dan melanggar kehormatan Ahlul Bait. Inilah keyakinan yang tertanam pada akal-akal kaum Syi’ah.
Kaum Syi’ah menyangka bahwa mereka berloyalitas kepada Ahli Bait (keluarga) Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan mencintai Ahlul Bait. Mereka juga menyangka bahwa madzhab mereka diambil dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Ahlul Bait dan dibangun di atas pendapat-pendapat dan riwayat-riwayat dari Ahlul Bait. Karena alasan kecintaan kepada Ahlul Bait, kaum Syi’ah mengafirkan para shahabat yang dianggap menzhalimi dan melanggar kehormatan Ahlul Bait. Inilah keyakinan yang tertanam pada akal-akal kaum Syi’ah.
Benarkah kaum Syi’ah mencintai Ahlul Bait?
Mari kita melihat bagaimana sebenarnya kecintaan kaum Syi’ah kepada
Ahlul Bait dan bagaimana sikap Ahlul Bait itu sendiri terhadap kaum
Syi’ah.
Definisi Ahlul Bait
Kaum Syi’ah Rafidhah bersepakat untuk membatasi Ahlul Bait Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam hanya pada Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ‘anhû, Fathimah radhiyallâhu‘anhâ, Al-Hasan radhiyallâhu‘anhumâ, dan Al-Husain radhiyallâhu ‘anhumâ. Kemudian, mereka memasukkan sembilan orang imam dari keturunan Al-Husain radhiyallâhu anhû
dalam hal tersebut: (1) Ali Zainul ‘Âbidin, (2) Muhammad Al-Bâqir, (3)
Ja’far Ash-Shâdiq, (4) Musa Al-Kâzhim, (5) Ali Ar-Ridhâ, (6) Muhammad
Al-Jawwâd, (7) Ali Al-Hâdy, (8) Al-Hasan Al-‘Askar, dan Imam Mahdi
mereka, (9) Muhammad Al-‘Askar. [Al-Anwâr An-Nu’mâniyah 1/133, Bihâr Al-Anwâr 35/333, dan selainnya. Bacalah Al-‘Aqidah Fî Ahlil Bait Bain Al-Ifrâd Wa At-Tafrîd karya Sulaimân As-Suhaimy hal. 352-356 dan Asy-Syi’ah Wa Ahlul Bait hal. 13-20 karya Ihsân Ilâhî Zhahîr]
Pengkhianatan Syiah dalam Lembaran Sejarah
Penulis: Ustadz Muhammad Hadi
Berabad-abad lamanya sekte Syi’ah menyebarkan penyimpangan akidah di
tengah umat. Terkhusus perbuatan mengafirkan para sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahkan termasuk istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Berangkat dari akidah yang menyimpang tersebut, terjadilah apa yang
terjadi seperti pengkhianatan dan pembantaian terhadap kaum muslimin.
Tulisan berikut ini menghadirkan sejarah pengkhianatan dan
pembantaian yang dilakukan kaum Syi’ah terhadap kaum muslimin
berdasarkan fakta. Disuguhkan dari sejumlah karya tulis para ulama, di
antaranya adalah kitab al-Bidayah wan Nihayah karya Imam Ibnu Katsir, seorang ulama besar bermadzhab Syafi’i.
Pengkhianatan Daulah Qaramithah
Daulah Qaramithah dinisbahkan kepada Hamdan Qarmath, pemimpin mereka.
Didirikan oleh Abu Said al-Jannabi tahun 278 H berpusat di Bahrain.
Mengusung pemikiran Syi’ah Ismailiyyah, ideologi sesat yang meyakini
imamah (kepemimpinan) Ismail bin Ja’far as-Shadiq. Daulah ini berkuasa
selama 188 tahun. Menguasai daerah Ahsa’, Hajar, Qathif, Bahrain, Oman,
dan Syam.
Iman kepada Malaikat
Penulis: Ustadz Ahmad Alfian
Beriman kepada Malaikat merupakan salah satu rukun iman yang enam.
Tidak terwujud keimanan seseorang hingga dia juga beriman kepada para
malaikat. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman :
وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan Hari Akhir, maka sesungguhnya
orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’: 136)
Pada ayat di atas, Allah subhaanahu wa ta’aalaa menyebut
orang yang mengingkari rukun-rukun iman sebagai orang kafir, dan
menyifatinya sebagai orang yang sesat sejauh-jauhnya. Maka hal ini
menunjukkan bahwa beriman kepada para Malaikat merupakan salah satu
rukun iman yang besar, dan orang yang mengingkarinya bisa menjadi kafir
atau murtad/keluar dari Islam.
Pengertian dan Kedudukan Malaikat
Kata “Malaikat” adalah bentuk jamak dari kata Malak, terambil dari akar kata al-Alukah
yang bermakna risalah. Sehingga malaikat dalam pengertian bahasa
bermakna para utusan Allah yang diberi tugas untuk mengurusi urusan
tertentu.
Adapun beriman kepada Malaikat maka dengan meyakini secara pasti
bahwa para Malaikat itu ada dan memiliki fisik, mereka termasuk jenis
makhluk Allah subhaanahu wa ta’aalaa yang ghaib, Allah subhaanahu wa ta’aalaa menciptakan
mereka dari cahaya (nur). Kedudukan mereka di sisi Allah sangat mulia
karena mereka adalah para hamba yang senantiasa menaati Allah dan tidak
pernah menentang-Nya. Jumlah mereka sangat banyak, tidak ada yang
mengetahui jumlahnya kecuali Allah subhaanahu wa ta’aalaa.
Hakekat Tasawuf dan Sufi
Bashrah, sebuah kota di negeri Irak, merupakan tempat kelahiran pertama bagi Tasawuf dan Sufi. Yang mana (di masa tabi’in) sebagian dari ahli ibadah Bashrah mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia (dengan cara yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam), hingga
akhirnya mereka memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf).
Meski kelompok ini tidak mewajibkan tarekatnya dengan pakaian semacam itu, namun atas dasar inilah mereka disebut dengan Sufi, sebagai nisbat kepada Shuuf.
Oleh karena itu, lafazh Sufi ini bukanlah nisbat kepada Ahlush Shuffah yang ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi waSallam, karena nisbat kepadanya dinamakan Shuffi, bukan pula nisbat kepada shaf terdepan di hadapan Allah Ta’ala, karena nisbat kepadanya dinamakan Shaffi, bukan pula nisbat kepada makhluk pilihan Allah karena nisbat kepadanya adalah Shafawi dan bukan pula nisbat kepada Shufah bin Bisyr (salah satu suku Arab), walaupun secara lafazh bisa dibenarkan, namun secara makna sangatlah lemah, karena antara suku tersebut dengan kelompok Sufi tidak berkaitan sama sekali.
Minggu, 02 Desember 2012
Kitab Tauhid Bab 4 Takut Terhadap Kesyirikan
Firman Alloh Subhanahu wa Subhanahu wa Ta’ala :
]إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء[
“Sesungguhnya
Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala
dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa saja yang
dikehendakiNya”. (QS. An Nisa’, 48)
Nabi Ibrahim berkata :
]واجنبني وبني أن نعبد الأصنام[
“ ……. Dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari perbuatan (menyembah) berhala”. (QS. Ibrahim, 35)
Diriwayatkan dalam suatu hadits, bahwa Rasululloh ShallAllohu’alaihi wa Sallam bersabda :
"أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر، فسئل عنه ؟ فقال : الرياء"
“Sesuatu yang paling aku khawatirkan dari kamu kalian adalah perbuatan
syirik kecil, kemudian beliau ditanya tentang itu, dan beliaupun
menjawab : yaitu riya'. (HR. Ahmad, Thobroni dan Abi Dawud).
Kitab Tauhid Bab 3 Mengamalkan Tauhid dengan Sebenar-benarnya Dapat Menyebabkan Masuk Sorga Tanpa Hisab
Firman Alloh Subhanahu wa Subhanahu wa Ta’ala :
]إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ [(120) سورة النحل
“Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh
kepada Alloh dan hanif (berpegang teguh pada kebenaran), dan sekali
kali ia bukanlah termasuk orang orang yang mempersekutukan (Tuhan)”
(QS, An Nahl, 120)
]والذين هم بربهم لا يشركون[
“Dan orang orang yang tidak mempersekutukan dengan Robb mereka (sesuatu apapun)”. (QS. Al Mu’minun, 59)
Husain bin Abdurrahman berkata: “Suatu ketika aku berada di sisi Said
bin Zubair, lalu ia bertanya : “siapa diantara kalian melihat bintang
yang jatuh semalam ?, kemudian aku menjawab : “ aku ”, kemudian kataku :
“ ketahuilah, sesungguhnya aku ketika itu tidak sedang melaksanakan
sholat, karena aku disengat kalajengking”, lalu ia bertanya kepadaku :
“lalu apa yang kau lakukan ?”, aku menjawab : “aku minta di ruqyah ([1])”,
ia bertanya lagi : “apa yang mendorong kamu melakukan hal itu ?”, aku
menjawab : “yaitu : sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Asy Sya’by
kepada kami”, ia bertanya lagi : “dan apakah hadits yang dituturkan
kepadamu itu ?”, aku menjawab : “dia menuturkan hadits kepada kami dari
Buraidah bin Hushaib :
“لا رقية إلا من عين أو حمة”
“Tidak boleh Ruqyah kecuali karena ain([2]) atau terkena sengatan”.
Nama Rabbku yang Ternoda
الحمد لله، نحمده
ونستعينه ونستهديه ونستغفره، ونتوب إليه، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا
وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له،
وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمداً عبده ورسوله
صلى الله عليه وعلى آله وصحبه
وسلم تسليما كثير
Segala puji bagi Allah dan sepantaslah pujian agung hanya tercurah untuk-Nya semata. Allah memiliki nama-nama yang mulia nan agung. Dia memilih nama-nama tersebut untuk menjadi nama-Nya sesuai dengan apa yang Dia kehendaki.
Ahlussunnah menetapkan nama-nama Allah berdasarkan nama-nama yang memang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri. Tidak ada jalan bagi akal manusia untuk membuat-buat nama ini kemudian menyematkannya kepada Allah, apalagi berdoa dengan nama-nama tersebut.
Sayangnya, di beberapa (atau banyak) daerah di tanah air kita ini, terdapat sebutan (nama) bagi Allah yang tidak ditentukan oleh wahyu. Diantara nama-nama ‘ilegal’ tersebut adalah Latala (Sumbawa), Nene’ Kaji (Lombok), Rumatala (Bima/Dompu), Pengeran (Malang), Nan Kuaso/Tanallah (Padang), Pengiran (Madura), Kayhangan (Suku Buol), Gusti Allah (Jateng) dan lain sebagainya. Penulis sendiri tidak tahu dari mana penamaan ini.
وسلم تسليما كثير
Segala puji bagi Allah dan sepantaslah pujian agung hanya tercurah untuk-Nya semata. Allah memiliki nama-nama yang mulia nan agung. Dia memilih nama-nama tersebut untuk menjadi nama-Nya sesuai dengan apa yang Dia kehendaki.
Ahlussunnah menetapkan nama-nama Allah berdasarkan nama-nama yang memang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri. Tidak ada jalan bagi akal manusia untuk membuat-buat nama ini kemudian menyematkannya kepada Allah, apalagi berdoa dengan nama-nama tersebut.
Sayangnya, di beberapa (atau banyak) daerah di tanah air kita ini, terdapat sebutan (nama) bagi Allah yang tidak ditentukan oleh wahyu. Diantara nama-nama ‘ilegal’ tersebut adalah Latala (Sumbawa), Nene’ Kaji (Lombok), Rumatala (Bima/Dompu), Pengeran (Malang), Nan Kuaso/Tanallah (Padang), Pengiran (Madura), Kayhangan (Suku Buol), Gusti Allah (Jateng) dan lain sebagainya. Penulis sendiri tidak tahu dari mana penamaan ini.
Jumat, 30 November 2012
Hukum Potong Tangan
Oleh: Ustadz Mu'tashim
Salah satu kebutuhan pokok yang harus ada dalam setiap tatanan kehidupan manusia, dari kehidupan yang terkecil sampai yang terbesar adalah adanya peraturan dengan segala konsekuensinya yang dijadikan sebagai pijakan bagi semuanya. Karenanya, di setiap lini kehidupan pasti ada peraturan atau undang-undang yang berlaku, baik tertuang ataupun tidak, tertulis ataupun tidak.
Begitu pula dengan agama ini yang berfungsi sebagai rambu-rambu bagi seluruh manusia, yang telah Allah Azza wa Jalla pilihkan untuk makhluk-Nya. Allah Azza wa Jalla adalah Dzat yang Maha Adil, Maha Mengetahui dan Maha Penyayang kepada para makhluk-Nya. Apa saja yang telah diatur dan dipilihkan-Nya buat manusia, tidak mungkin akan menyengsarakan mereka.
Di antara peraturan yang telah ditegaskan Allah Azza wa Jalla demi kemaslahatan seluruh manusia adalah peraturan tentang hal pencurian, yang berupa sangsi tegas dengan hukuman potong tangan bagi para pelakunya.
Allah Azza wa Jalla menegaskan:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [al-Mâidah/5:38-39]
Qishash
Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Pemahaman terhadap qishâsh selama ini terkadang masih dianggap sebagai sesuatu yang sangat angker, menakutkan dan tidak manusiawi; sehingga timbul apa yang dinamakan “Islam phobia”. Padahal Allah Azza wa Jalla menggambarkan qishâsh dalam firman-Nya:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:179]
Imam as-Syaukâni rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan menyatakan: “Maknanya ialah kalian memiliki jaminan kelangsungan hidup dalam hukum yang Allah Azza wa Jalla syariatkan ini; karena bila seseorang tahu akan dibunuh secara qishâsh apabila ia membunuh orang lain, tentulah ia tidak akan membunuh dan akan menahan diri dari meremehkan pembunuhan serta terjerumus padanya. Sehingga hal itu sama seperti jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia. Ini adalah satu bentuk sastra (balâghah) yang tinggi dan kefasihan yang sempurna. Allah Azza wa Jalla menjadikan qishâsh yang sebenarnya adalah kematian, sebagai jaminan kelangsungan hidup, ditinjau dari efek yang timbul yaitu bisa mencegah saling bunuh di antara manusia. Hal ini dalam rangka menjaga keberadaan jiwa manusia dan kelangsungan kehidupan mereka. Allah Azza wa Jalla juga menjelaskan ayat ini untuk ulul albâb (orang yang berakal); karena merekalah orang yang memandang jauh ke depan dan berlindung dari bahaya yang muncul kemudian. Sedangkan orang yang pandir, berfikiran pendek dan gampang emosi; mereka tidak memandang akibat yang akan muncul dan tidak berfikir tentang masa depannya.” [1]
Fiqih Jinayat
Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Jiwa manusia dan darahnya adalah perkara yang sangat dijaga dalam syari’at Islam. Demikian juga kegunaan dan fungsi anggota tubuh pun tak lepas dari penjagaan syari’at. Semua ini untuk kemaslahatan manusia dan kelangsungan hidup mereka, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:179]
Hal ini nampak jelas dengan larangan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pembunuhan, dalam banyak ayat dan hadits nabawi. Ayat-ayat al-Qur`ân itu di antaranya adalah:
Firman Allah Azza wa Jalla :
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“...dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” [an-Nisâ’/4:29]
dan firman Allah Azza wa Jalla :
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” [an-Nisâ’/4:93]
Hukum Pembunahan Yang Tidak Sengaja
Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi
DEFINISI PEMBUNUHAN KARENA KELIRU
Pembunuhan karena keliru dalam bahasa Arabnya adalah Qatlu al-Khatha’ (قَتْلُ الْخَطَاءِ). Kata Khatha’ dalam bahasa Arab di sini bermakna lawan dari kesengajaan (al-“amad), sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً
Dan tidak layak bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) [an-Nisâ`/4:92]
Kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman pada ayat setelahnya:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Dan barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. [an-Nisâ`/4:93] [1]
Sedangkan yang dimaksud pembunuh karena keliru menurut Ulama fikih ialah seorang mukallaf melakukan perbuatan yang mubâh (boleh) baginya, seperti memanah binatang buruan atau sesuatu target tertentu, namun ternyata mengenai orang yang haram dibunuh secara tidak sengaja hingga meninggal dunia; atau membunuh seorang Muslim yang diduga sebagai orang kafir karena berada di barisan orang-orang kafir. [2]
Hudud
Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Allah Subhanahu wa Ta’ala al-Hâkim (Yang Maha Bijaksana) senantiasa menjaga hak-hak manusia dan menjaga kehidupan mereka dari kezhaliman dan kerusakan. Syariat Islam pun ditetapkan untuk menjaga dan memelihara agama, jiwa, keturunan, akal dan harta yang merupakan adh-Dharûriyât al-Khamsu (lima perkara mendesak pada kehidupan manusia). Sehingga setiap orang yang melanggar salah satu masalah ini harus mendapatkan hukuman yang ditetapkan Syari'at dan disesuaikan dengan pelanggaran tersebut.
Salah satunya adalah penegakan hudûd yang menjadi salah satu keistimewaan ajaran Islam dan merupakan bentuk kesempurnaan rahmat dan kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada makhluknya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: hudûd berasal dari rahmat untuk makhluk dan kebaikan mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnya orang yang menghukum manusia karena dosa-dosa mereka, bertujuan melakukannya untuk kebaikan dan rahmat kepada mereka, sebagaimana tujuan orang tua membina anak-anaknya dan dokter dalam mengobati orang yang sakit.[1]
1. PENGERTIAN HUDUD
Hudûd adalah kosa kata dalam bahasa Arab yang merupakan bentuk jamâ’ (plural) dari kata had yang asal artinya pembatas antara dua benda. Dinamakan had karena mencegah bersatunya sesuatu dengan yang lainnya.[2] Ada juga yang menyatakan bahwa kata had berarti al-man’u (pencegah), sehingga dikatakan Hudûd Allah Azza wa Jallaadalah perkara-perkara yang Allah Azza wa Jallalarang melakukan atau melanggarnya [3] .
Diyat
Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi Lc
PENGERTIAN DIYAT
Kata diyat (دِيَةٌ ) secara etimologi berasal dari kata “wadâ – yadî – wadyan wa diyatan”( وَدَى يَدِى وَدْيًا وَدِيَةً). Bila yang digunakan mashdar wadyan (وَدْيًا ) berarti sâla ( سَالَ= mengalir) yang sering dikaitkan dengan lembah, seperti di dalam firman Allah Azza wa Jalla :
إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ ۖ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى
Sesungguhnya Aku inilah rabbmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu. Sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. [Thâhâ/20: 12].
Akan tetapi, jika yang digunakan adalah mashdar diyatan (دِيَةً), berarti ‘membayar harta tebusan yang diberikan kepada korban atau walinya dengan sebab tindak pidana penganiyaan (jinâyat).
Bentuk asli kata diyat ( دِيَةٌ) adalah widyat ( وِدْيَة) yang dibuang huruf wau-nya, seperti kata عِدَةdan صِلَة dari kata لْوَعْدُ dan.الوَصْلُ [1
Sedangkan diyat secara terminologi syariat adalah harta yang wajib dibayar dan diberikan oleh pelaku jinâyat kepada korban atau walinya sebagai ganti rugi, disebabkan jinâyat yang dilakukan oleh si pelaku kepada korban. [2]
Pembunuhan Dengan Sengaja
Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi Lc.
Pembunuhan terbagi menjadi tiga jenis; sengaja, mirip sengaja dan tidak sengaja. Sebagai kelanjutannya kami sajikan masalah pembunuhan dengan sengaja.[1]
DEFENISI PEMBUNUHAN DENGAN SENGAJA (QATLU AL-‘AMD)
Pembunuhan dengan sengaja dalam bahasa Arab adalah Qatlu al-‘Amd. Secara etimologi bahasa Arab kata Qatlu al-‘Amd tersusun dari dua kata yaitu al-Qatlu dan al-‘Amd. Al-Qatlu artinya perbuatan yang dapat menghilangkan jiwa.[2] Sedangkan kata al-‘Amd memiliki pengertian sengaja dan berniat.[3] Yang dimaksud pembunuhan dengan sengaja disini ialah seorang mukallaf secara sengaja (dan berencana) membunuh jiwa yang terlindungi darahnya dengan cara atau alat yang biasanya dapat membunuh.[4]
RUKUN PEMBUNUHAN DENGAN SENGAJA
Dari definisi di atas diketahui bahwa pembunuhan dengan sengaja memiliki rukun dan syarat, di antaranya:
1. Korban terbunuh. Apabila seorang sengaja membunuh korban dengan senjata yang biasa di gunakan untuk membunuh seperti kampak atau sejenisnya (senjata api-red); namun korbannya selamat dan dapat disembuhkan, maka tidak termasuk pembunuhan dengan sengaja. Sedangkan korban yang terbunuh memiliki dua syarat:
a. Bani Adam (manusia) Apabila korban yang terbunuh bukan manusia tentulah dikatakan pembunuhan dengan sengaja.
b. Terjaga darahnya (ma’shûmu ad-dâm). Hal ini mencakup semua jiwa yang mendapatkan perlindungan dari negara Islam, seperti kaum Muslimin, dzimmi (ahli dzimah), yang di bawah perjanjian (al-Mu’âhad), orang yang meminta perlindungan (al-Musta’min).[5]
Hukum Diyat Pada Jinayat Anggota Badan
Oleh: Abu Riyâdl Nurcholis Majid Bin Mursidi
Dalam kasus jinâyah, terkadang korban tidak mengalami kematian. Akan tetapi hanya menderita cacat atau terkena luka yang dapat disembuhkan. Dalam Islam, balasan pidana ini adalah qishâsh, sebagai keadilan yang Allah Azza wa Jallategakkan di muka bumi. Ini menunjukkan bahwa pada luka juga terdapat hukum qishâsh. Dan ini adalah syariat umat sebelum umat ini, seperti yang sebutkan pada firman Allah Azza wa Jalla:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishashnya.[1]
Dari ayat di atas, diketahui bahwa hukum asal jinâyah adalah qishâsh. Akan tetapi, terkadang hukum asal ini (qishâsh) terhalang dengan beberapa mawâni' (penghalang), sehingga al-jâni (pelaku jinâyah) diberi hukuman lain sebagai ganti rugi dari kerusakan yang ditimbulkan, yaitu diyat.
PENGHALANG/ PEMBATAL QISHASH ANGOTA TUBUH
Adapun penghalang-penghalang qishâsh yang telah digariskan syari'at untuk diganti dengan diyat adalah sebagai berikut :
Hukuman Bagi Pezina
Ustadz Kholid Syamhudi Lc.
Tidak dapat dipungkiri, meninggalkan syari’at islam akan
menimbulkan akibat buruk di dunia dan akhirat. Kaum muslimin jauh dari
ajaran agama mereka, menyebabkan mereka kehilangan kejayaan dan
kemuliaan. Diantara ajaran islam yang ditinggalkan dan dilupakan oleh
kaum muslimin adalah hukuman bagi pezina (Hadduz-Zinâ). Sebuah ketetapan
yang sangat efektif menghilangkan atau mengurangi masalah perzinahan.
Ketika hukuman ini tidak dilaksanakan, maka tentu akan menimbulkan
dampak atau implikasi buruk bagi pribadi dan masyarakat.
Realita dewasa ini mestinya sudah cukup menjadi pelajaran bagi kita untuk memahami dampak buruk ini.
Melihat realita ini, maka sangat perlu ada yang mengingatkan kaum
muslimin terhadap hukuman ini. Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan
kesadaran dan menguatkan keyakinan mereka akan kemuliaan dan keindahan
syari’at islam.
DEFINISI ZINA.
Istilah zina sudah masuk dalam bahasa Indonesia, namun untuk memahami
hukum syari’at tentang masalah ini kita perlu mengembalikannya ke
pengertian menurut bahasa Arab dan syari’at supaya pas dan benar.
Hukum Hanya Milik Allah
Sesungguhnya, permasalahan hukum (keputusan), syari'at (peraturan), dan taqâdhi (berperkara) selayaknya hanya diserahkan kepada Allah semata, bukan diserahkan kepada kehendak manusia yang sering berubah, atau atas dasar pertimbangan mashlahat-mashlahat yang tidak pasti, atau kepada adat kebiasaan yang disepakati oleh suatu kelompok atau beberapa kelompok, tetapi tidak berpedoman secara kuat dalam berpegang kepada syari'at Allah. Permasalahan ini, yaitu hukum hanyalah hak Allah, termasuk perkara yang diketahui secara pasti dalam masalah keimanan. Hal ini berdasarkan banyak pertimbangan.
1. Masalah ini dibangun berdasarkan pengakuan terhadap Rububiyyah (kekuasaan, kepemilikan, pengaturan) Allah. Subhanahu wa Ta'ala.
Allah adalah al-Khalik (Sang Pencipta) yang telah menciptakan segala sesuatu, dan kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi, dan apa yang ada di antara keduanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam". [al-A'râf/7:54].
Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah ar-Raziq (Sang Pemberi Rezeki); adakah seseorang yang mampu memberi rezeki kepada dirinya sendiri dan orang lain?
Makna Rukhshah dan Pembagiannya
Oleh: Ustadz Nurul Mukhlisin Asyrafuddin
Rukhshah secara bahasa, berarti izin pengurangan atau keringanan. Sedangkan menurut ulama ushul diartikan dengan:
الْحُكْمُ الثَّابِتُ عَلَى خِلاَفِ الدَّلِيْلِ لِعُذْرٍ
Hukum yang berlaku berdasarkan dalil yang menyalahi dalil yang ada karena adanya udzur.
Dari pengertian di atas dipahami tiga syarat dari rukhshah yaitu:
1. Rukhshah (keringanan) hendaknya berdasarkan dalil al-Qur’an dan Sunnah baik secara tekstual maupun konstektual melalui qiyas (analogi) atau ijtihad, bukan berdasarkan kemauan dan dugaan sendiri.
2. Kata hukum mencakup semua hukum dan dalil hukum yang ada seperti wajib, sunnah, haram dan mubah semuanya bisa terjadi rukhshah di dalamnya.
3. Adanya udzur baik berupa kesukaran atau keberatan dalam melakukannya.
HIKMAH ADANYA RUKHSHAH. Adanya rukhshah (keringanan) merupakan bagian dari kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta'ala pada hamba-Nya dan bukti bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan sebagaimana firman -Nya:
{ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ }
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [al Baqarah/ 2:185]
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
{ يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا }
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. [an Nisaa/4:28].
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
{ إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إلَّا غَلَبَهُ }
Sesungguhnya agama ini mudah dan tidak ada orang yang berlebih-lebihan dalam agama ini kecuali akan mengalahkannya (tidak mampu melakukannya)”.[HR. Bukhari]
Kamis, 22 November 2012
Kitab Tauhid Bab 2 Keistimewaan Tauhid dan Dosa-dosa yang Diampuni Kerenanya
Firman Alloh Subhanahu waSubhanahu wa Ta’ala :
]الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون[
“Orang-orang yang beriman dan tidak menodai keimanan(1) mereka dengan kedzoliman (kemusyrikan)([2])
mereka itulah orang-orang yang mendapat ketentraman dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat jalan hidayah”, (QS. Al An’am, 82).
Ubadah bin Shomit RadhiAllohu’anhu menuturkan : Rasululloh ShallAllohu’alaihi wa Sallam bersabda :
”
من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمدا عبده ورسوله، وأن
عيسى عبد الله ورسوله، وكلمته ألقاها إلى مريم وروح منه والجنة حق والنار
حق أدخله الله الجنة على ما كان من العمل ” أخرجاه
“Barang siapa yang bersyahadat([3])
bahwa tidak ada sesembahan yang hak (benar) selain Alloh saja, tiada
sekutu bagiNya, dan Muhammad adalah hamba dan RasulNya, dan bahwa Isa
adalah hamba dan RasulNya, dan kalimatNya yang disampaikan kepada
Maryam, serta Ruh dari padaNya, dan surga itu benar adanya, neraka juga
benar adanya, maka Alloh pasti memasukkanya ke dalam surga, betapapun
amal yang telah diperbuatnya”. (HR. Bukhori & Muslim)
Selasa, 06 November 2012
Kitab Tauhid Bab 1 Tauhid (Hakekat dan Kedudukannya)
Firman Alloh Subhanahu wa Subhanahu wa Ta’ala :
]وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْأِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون[ِ (الذريات:56)
“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah(1) kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat, 56).
]وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوت[(النحل: من الآية:36)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap umat (untuk menyerukan) “Beribadalah kepada Alloh (saja) dan jauhilah thoghut”(2).” (QS. An Nahl, 36).
]وَقَضَى
رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ
كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ
لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ
الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا[
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kecuali hanya
kepada-Nya, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan,
dan ucapkanlah : “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (QS. Al Isra’, 23-24).
Senin, 05 November 2012
Nasikh dan Mansukh
Oleh: Ustadz Muslim Al-Atsari
Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan; menghapuskan; memindahkan; menulis. Adapun secara istilah, maka ada dua macam:
Pertama. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.
Al-Baidhowi rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan dengan : “Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya”. [1]
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan: “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya”. [2]
Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, yaitu: “menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah”. [3]
Tiga Landasan Utama Agama Islam
بسم الله الرحمن الرحيم
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab
PENDAHULUAN
Saudaraku,
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada anda.
Ketahuilah, bahwa wajib bagi kita untuk mendalami tiga masalah, yaitu :
1. Ilmu, yaitu mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya dan mengenal agama Islam berdasarkan dalil-dalilnya.
2. Amal, yaitu menerapkan ilmu ini.
3. Sabar, yaitu tabah dan tangguh dalam mengahadapi segala rintangan dalam menuntut ilmu, mengamalkan dan berdakwah kepadanya.
Dalilnya, firman Allah Ta’ala :
وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhya setiap manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, melakukan segala amal shaleh dan saling nasehat-menasehati untuk (menegakkan) yang haq, serta nasehat-menasehati untuk (berlaku) sabar.” (Surat al-‘Ashr : 1-3).
Saudaraku,
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada anda.
Ketahuilah, bahwa wajib bagi kita untuk mendalami tiga masalah, yaitu :
1. Ilmu, yaitu mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya dan mengenal agama Islam berdasarkan dalil-dalilnya.
2. Amal, yaitu menerapkan ilmu ini.
3. Sabar, yaitu tabah dan tangguh dalam mengahadapi segala rintangan dalam menuntut ilmu, mengamalkan dan berdakwah kepadanya.
Dalilnya, firman Allah Ta’ala :
وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhya setiap manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, melakukan segala amal shaleh dan saling nasehat-menasehati untuk (menegakkan) yang haq, serta nasehat-menasehati untuk (berlaku) sabar.” (Surat al-‘Ashr : 1-3).
Bahaya Istihza' (Mencemooh Agama)
Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim Atsari
Diantara sifat orang beriman adalah mengagungkan Allah dan mengagungkan apa-apa yang diagungkan oleh Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. [Al Hajj:32]
Namun di zaman ini, banyak orang meremehkan, merendahkan, dan memperolok-olok sesuatu yang berkaitan dengan agama. Hal ini merupakan perkara yang sangat berbahaya. Maka sepantasnya seseorang mengetahui bahaya istihza’ terhadap agama.
Istihza’, artinya: mengejek, memperolok-olok, atau mencemooh. Istihza’ terhadap Allah, ayat-ayatNya, RasulNya, agamaNya, dan istihza’ kepada orang-orang yang beriman, merupakan perilaku orang kafir, dan termasuk perkara yang menyebabkan murtad jika dilakukan oleh orang Islam.
Sabtu, 27 Oktober 2012
Khilafah Diatas Manhaj Nubuwwah
Oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Ba’abduh
Memahami bagaimana bentuk Khilafah Islamiyyah yang pernah
diraih oleh generasi terbaik umat ini adalah salah satu bentuk kajian
yang penting. Dengan pemahaman yang benar itu, kita bisa mencermati
berbagai gerakan yang menyerukan berdirinya khilafah, sesuaikah gerakan
mereka dengan tuntunan Rasulullah? Bagaimana pula langkah utama yang
harus ditempuh agar Allah memberikan kembali sebuah khilafah kepada kaum
muslimin?
Judul di atas merupakan cuplikan dari sebuah hadits nabawi yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dari shahabat Hudzaifah:
“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yang Allah kehendaki, Allah mengangkat atau menghilangkannya kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan (tirani) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad, 4/273, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 5)
“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yang Allah kehendaki, Allah mengangkat atau menghilangkannya kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan (tirani) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad, 4/273, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 5)
Cara-cara Batil Penegakan Daulah Islamiyah
Tema Khilafah Islamiyyah ternyata memiliki daya tarik cukup
besar. Isu ini terbukti mampu menimbulkan sentimen tersendiri di
kalangan kaum muslimin. Banyak yang semangatnya tergugah dan kemudian
ramai-ramai berjuang agar Khilafah Islam kembali berdiri. Namun sayang,
perjuangan mereka jauh dari tuntunan syariat. Akhirnya, kegagalan demi
kegagalan yang mereka raih. Yang lebih tragis, tak sedikit darah kaum
muslimin tertumpah akibat perjuangan mereka yang hanya bermodal semangat
itu.
Ketika kaum muslimin, terkhusus para aktivisnya, telah menjauhi dan
meninggalkan metode dan cara yang ditempuh oleh para nabi dan generasi
Salaful Ummah di dalam mengatasi problematika umat dalam upaya
mewujudkan Daulah Islamiyyah, tak pelak lagi mereka akan mengikuti ra`yu
dan hawa nafsu. Karena tidak ada lagi setelah al haq yang datang dari Allah dan Rasul-Nya serta Salaful Ummah, kecuali kesesatan. Sebagaimana firman Allah:
“Maka apakah setelah Al Haq itu kecuali kesesatan?” (Yunus: 32)
Dengan cara yang mereka tempuh ini, justru mengantarkan umat ini kepada kehancuran dan perpecahan, sebagaimana firman Allah :
Dengan cara yang mereka tempuh ini, justru mengantarkan umat ini kepada kehancuran dan perpecahan, sebagaimana firman Allah :
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus,
maka ikutlah dia, dan janganlah kalian mengikuti As-Subul (jalan-jalan
yang lain), karena jalan-jalan itu menyebabkan kalian tercerai berai
dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar
kalian bertaqwa.” (Al-An’am: 153)
Khilafah, Imamah dan Pemberontakan
‘Arfajah Al-Asyja‘i berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:
“Siapa yang mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan, kemudian dia ingin memecahkan persatuan kalian atau ingin memecah belah jamaah kalian, maka perangilah/bunuhlah orang tersebut.”
“Siapa yang mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan, kemudian dia ingin memecahkan persatuan kalian atau ingin memecah belah jamaah kalian, maka perangilah/bunuhlah orang tersebut.”
Dalam lafadz lain:
“Sungguh akan terjadi fitnah dan perkara-perkara baru. Maka barangsiapa yang ingin memecah-belah urusan umat ini padahal umat ini dalam keadaan telah berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan, maka penggallah orang tersebut, siapa pun dia.”
“Sungguh akan terjadi fitnah dan perkara-perkara baru. Maka barangsiapa yang ingin memecah-belah urusan umat ini padahal umat ini dalam keadaan telah berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan, maka penggallah orang tersebut, siapa pun dia.”
Takhrij Hadits
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Al-Imarah, Bab Hukmu Man Farraqa Amral Muslimin wa Huwa Mujtama’ (Hukum orang yang memecah-belah urusan muslimin dalam keadaan mereka telah berkumpul/bersatu pada perkara tersebut), no. 1852. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 4/261, 4/341, 5/23; An-Nasa`i dalam Sunan-nya no. 4020, 4021, 4022 dan Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 4762.
Dalam riwayat An-Nasa`i (no. 4020) ada tambahan:
“Karena sesungguhnya tangan Allah di atas tangan jamaah dan sungguh setan berlari bersama orang yang berpisah dari jamaah.”
Hukum Demonstrasi
Segala puji bagi Allah yang telah mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya diatas segenap agama, dan cukuplah Allah sebagai saksi.
Semoga shalawat serta salam atas Nabi kita Muhammad, pengemban ajaran yang bersih dan murni, demikian juga atas keluarga, para sahabat dan pengikutnya, serta siapa saja yang meneladani dan berpedoman pada ajaran beliau sampai hari kiamat nanti. Amma ba’du.
Di dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan kita agar menetapi jalan petunjuk yang lurus dengan firman-Nya.
“Artinya : Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalaj jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya, yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa” [Al-An’am : 153]
Allah melarang kita menyelisihi ajaran Nabi-Nya dengan firmanNya.
“Artinya : Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [An-Nur : 63]
Cara Menanggapi Orang Yang Berbuat Maksiat
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin
Pertanyaan:
Tentang
jawaban seseorang yang berbuat maksiat ketika diseru kepada kebenaran :
'Sesunguhnya Allah belum menetapkan hidayah untukku, bagaimana bersikap
terhadap orang semacam ini .?
Jawaban.
Jawabannya sederhana saja ; apakah kamu melihat yang ghaib atau
kamu telah mengambil kesepakatan dengan Allah ? Jika ia menjawab : Ya,
berarti ia kufur, karena ia mengaku mengetahui perkara yang ghaib. Dan
jika ia menjawab : Tidak, ia kalah. Jika kamu tidak mengetahui bahwa
Allah belum menetapkan hidayah kepadamu, maka mintalah hidayah, karena
Allah tidak menahan hidayah kepadamu, bahkan Dia menyerumu kepada
hidayah, Dia berkeingiinan agar kamu memperoleh hidayah seraya
mengingatkanmu dari kesesatan dan melarangmu dari padanya.
Dan Allah tidak berkehendak meninggalkan hamba-hamba-Nya dalam kesesatan selama-lamanya. Dia berfirman.
Orang Yang Marah Bila Ditimpa Musibah
Pertanyaan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Tentang orang yang marah-marah apabila ditimpa suatu musibah ?"
Jawaban.
Manusia terbagi menjadi empat tingkatan dalam menghadapi musibah.
Tingkatan Pertama : Marah-Marah
Ini terbagi kepada beberapa macam:
1. Terjadi di dalam hati, misalnya jengkel terhadap Rabb-nya karena taqdir buruk menimpanya. Ini haram hukumnya, terkadang bisa menjerumuskan kepada kekufuran. Allah Ta'ala berfirman. :
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ
"Artinya : Di antara manusia ada yang menyembah Allah dengan berada di tepi, maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keaadaan itu, dan jika ditimpa suatu bencana berbaliklah ia ke belakang. Ia rugi dunia dan dan di akhirat" [Al-Hajj : 11]
Bagaimana Allah Menetapkan Suatu Keadaan Yang Dia Tidak Sukai
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : Bagaimana Allah menetapkan suatu keadaan yang Dia tidak menyukainya ?
Jawaban
Sesuatu yang dicintai itu ada dua macam.
[1] Dicintai karena dzatnya.
[2] Dicintai karena ada faktor lainnya
Yang dicintai karena ada faktor lain terkadang dzatnya dibenci, akan tetapi ia dicintai karena di dalamnya terdapat kemaslahatan. Ketika demikian, ia dicintai dari satu sisi dan dibenci dari sisi lainnya.
Contoh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan telah kami tetapkan kepada Bani Israil di dalam al-Kitab ; Sesunguhnya kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar" [Al-Israa : 4]
Hukum Membicarakan Permasalahan Qadar
Sebelum membicarakan secara terperinci tentang qadha' dan
qadar, ada baiknya membicarakan mengenai masalah yang tersiar di masa
dahulu dan di masa sekarang, yang intinya adalah bahwa tidak boleh
membicarakan tentang masalah-masalah takdir secara mutlak. Alasannya
bahwa hal itu dapat membangkitkan keraguan dan kebimbangan, dan bahwa
masalah ini telah menggelincirkan banyak telapak kaki dan menyesatkan
banyak pemahaman.
Pernyataan demikian, secara mutlak adalah tidak benar, hal itu dikarenakan beberapa alasan, di antaranya yaitu:
1. Iman kepada qadar adalah salah satu rukun iman. Iman seorang hamba tidak sempurna kecuali dengannya. Bagaimana hal ini akan diketahui, jika tidak dibicarakan dan dijelaskan perkaranya kepada manusia?
2. Iman kepada qadar telah disebutkan dalam hadits teragung dalam Islam, yaitu hadits Malaikat Jibril Alaihissalam, dan hal itu terjadi di akhir kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di akhir hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Hikmah Adanya Kemaksiatan Dan Kekufuran
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin
Pertanyaan : "Tentang hikmah adanya berbagai kemaksiatan dan kekufuran ? "
Jawaban: Terjadinya berbagai kemaksiatan dan kekufuran memiliki hikmah yang banyak, antara lain.
Pertama. Menyempurnakan kalimat Allah Ta'ala, di mana Dia menjanjikan neraka untuk dipenuhinya. Allah berfirman.
"Artinya : Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabb-mu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Rabb-mu telah ditetapkan : Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahannam dengan jin dan manusia semuaya" [Hud : 118-119]
Kedua. Menampakkan hikmah Allah Ta'ala dan kekuasan-Nya, di mana Dia membagi hamba-hamba-Nya menjadi dua golongan ; yang taat dan durhaka. Pembagian ini menjelaskan hikmah Allah Azza wa Jalla, keta'atan ada yang melakukannya dan merekalah ahlinya. Demikian pula kemaksiatan ada yang melakukannya dan merekalah ahlinya. Allah Ta'ala berfirman.
Tingkatan Qadha' Dan Qadar
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah qadha' dan qadar mempunyai empat tingkatan:
Pertama
Al-'Ilmu (pengetahuan), yaitu mengimani dan meyakini bahwa Allah Mahatahu atas segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, secara umum maupun terinci, baik itu termasuk perbuatanNya sendiri atau perbuatan makhlukNya. Tak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagiNya.
Kedua
Al-Kitabah (penulisan), yaitu mengimani bahwa Allah telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam Lauh Mahfuzh yang ada disisiNya.
Kedua tingkatan ini sama-sama dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya:
Kamis, 25 Oktober 2012
Membentuk Khilafah Sesuai Dengan Tuntunan Islam
Oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa tetap kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
‘Allah telah berjanji ‘, maknanya adalah Allah U telah menjanjikan. Dan telah menjadi ketetapan Allah bahwa Dia tidak akan mengingkari janji-Nya.
‘Kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shalih’, mereka adalah orang-orang yang tegak dengan keimanannya, yaitu keimanan yang harus dimiliki setiap muslim berupa tauhid dengan segala konsekuensinya dan juga beramal shalih. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa beramal dengan mengikuti petunjuk Rasulullah n.
‘Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi’, maknanya Allah pasti memberikan khilafah kepada mereka dan dengan kekhilafahan itu mereka bisa berbuat seperti perbuatan para raja di muka bumi. (Lihat Tafsir Fathul Qadir, 4/47; Tafsir Al-Baidhawi, 4/197)
‘Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa’, yaitu sebagaimana telah diberikan khilafah kepada orang-orang sebelum mereka dari kalangan Bani Israil dan umat-umat sebelumnya yang lain. (Lihat Fathul Qadir, 4/47 oleh Al-Imam Asy-Syaukani
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa tetap kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
‘Allah telah berjanji ‘, maknanya adalah Allah U telah menjanjikan. Dan telah menjadi ketetapan Allah bahwa Dia tidak akan mengingkari janji-Nya.
‘Kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shalih’, mereka adalah orang-orang yang tegak dengan keimanannya, yaitu keimanan yang harus dimiliki setiap muslim berupa tauhid dengan segala konsekuensinya dan juga beramal shalih. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa beramal dengan mengikuti petunjuk Rasulullah n.
‘Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi’, maknanya Allah pasti memberikan khilafah kepada mereka dan dengan kekhilafahan itu mereka bisa berbuat seperti perbuatan para raja di muka bumi. (Lihat Tafsir Fathul Qadir, 4/47; Tafsir Al-Baidhawi, 4/197)
‘Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa’, yaitu sebagaimana telah diberikan khilafah kepada orang-orang sebelum mereka dari kalangan Bani Israil dan umat-umat sebelumnya yang lain. (Lihat Fathul Qadir, 4/47 oleh Al-Imam Asy-Syaukani
Kamis, 18 Oktober 2012
Ilmu Tenaga Dalam Menurut Perspektif Islam
Oleh:Al Ustadz DR. Muhammad Nur Ihsan
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Alloh ‘Azza wa jalla
yang telah menyempurnakan Islam dan meridhoinya sebagai agama yang
benar. Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rosul yang diutus dengan membawa petunjuk (ilmu yang bermanfaat) dan agama yang haq (amal sholeh). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan risalah dengan sempurna, menunaikan amanah dan berjihad di jalan Alloh Ta’ala sampai
beliau wariskan kepada umatnya jalan yang lurus lagi terang bagaikan
matahari di siang hari. Tidaklah keluar dari jalan tersebut kecuali
orang yang sesat dan celaka. Amma ba’du.
Akhir-akhir ini tumbuh subur berbagai kelompok yang mengajarkan ilmu
tenaga dalam. Konon sang guru memiliki teknik membangkitkan atau
mengembangkan tenaga ghaib dalam tubuh manusia. Masyarakat berbeda dalam
menilai dan menghukuminya sesuai dengan latar belakang pemahaman dan
pendidikan mereka. Sebenarnya bagaimana pandangan Islam tentang keilmuan
tersebut dan hukum mempelajarinya?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas terlebih dahulu diperjelas maksud
ilmu tenaga dalam dan rahasia-rahasia yang terdapat di dalamnya.
Beberapa Etika bagi Orang Yang Ingin Berqurban (Ust.Dzulqarnain)
Ada beberapa etika yang penting diketahui oleh siapa saja yang ingin menyembelih ketika akan memasuki Dzulhijjah.
Dasar tuntunan dalam hal etika bagi orang yang ingin berqurban adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anhâ bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِيْ الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Apabila kalian telah melihat hilal Dzulhijjah, dan salah seorang di antara kalian berkehendak untuk menyembelih (qurban), hendaknya ia menahan rambut dan kuku‑kukunya.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan,
إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Apabila sepuluh (hari awal Dzulhijjah) telah masuk, dan salah
seorang di antara kalian berkehendak untuk menyembelih (qurban),
janganlah ia menyentuh sesuatu pun berupa rambut dan kulitnya.” [1]
Hadits ini menunjukkan beberapa ketentuan hukum dan etika. Rinciannya adalah sebagai berikut.
Pertama, bila Dzulhijjah telah masuk dan seseorang
berkeinginan untuk menyembelih hewan qurban, dia tidak diperbolehkan
untuk memotong, mencukur, dan mengambil rambut, kuku, dan kulitnya
hingga selesai menyembelih hewan qurbannya.
Keyakinan Ahlussunnah Wal Jama'ah Secara Global Tentang Taqdir
Oleh: Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
بسم الله الرحمن الرحيم
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah ditanya tentang qadar, maka
beliau menjawab dengan jawaban panjang lebar, yang berisi keyakinan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara umum mengenai masalah ini. Di antara
pernyataannya:
“Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenai masalah ini dan yang lainnya
ialah (sesuai dengan) apa yang ditunjukkan oleh al-Qur-an dan as-Sunnah
serta apa yang diikuti para as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin
dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik.
Yaitu, bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Rabb, dan Yang
menguasainya. Termasuk juga di dalamnya semua benda yang berdiri sendiri
dan sifat-sifatnya yang menyatu dengannya, berupa perbuatan-perbuatan
hamba dan selain perbuatan-perbuatan hamba.
Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak
dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Tidak ada sesuatu pun dalam wujud
ini melainkan terjadi dengan masyii-ah (kehendak) dan ke-kuasaan-Nya.
Tidak ada sesuatu pun yang menghalangi kehendak-Nya dan Dia Mahakuasa
atas segala sesuatu, bahkan Dia mengetahui apa yang telah terjadi, apa
yang akan terjadi, dan apa yang tidak akan terjadi, yang seandainya
terjadi, bagaimana terjadinya.
Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah (Ust.Dzulqarnain)
Dalam Al-Qur`an Al-Karim, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَالْفَجْرِ. وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” [Al-Fajr: 1-2]
Setelah menyebutkan sejumlah ucapan ulama tafsir tentang ayat di atas, seorang mufassir ternama, lbnu Jarir rahimahullâh, dalam Tafsir-nya, menyimpulkan bahwa“malam yang sepuluh” tersebut adalah malam sepuluh Dzulhijjah berdasarkan kesepakatan para ulama tafsir tentang hal tersebut.[1]
Ibnu Katsir rahimahullâh juga menguatkan hal tersebut sembari berkata, “Yang dimaksud dengan “malam yang sepuluh”adalah sepuluh Dzulhijjah sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbâs, Ibnu Az-Zubair, Mujahid, dan ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan) selain mereka ….”
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman pula,
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ. لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan ….” [Al-Hajj: 27-28]
Menurut lbnu Katsir rahimahullâh, yang dimaksud dengan “hari-hari yang telah ditentukan” dalam ayat di atas adalah sepuluh hari Dzulhijjah. Beliau menukil hal tersebut dari Ibnu ‘Abbâs, Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhumâ, Mujâhid, Qatâdah, ‘Athâ`, Sa’îd bin Jubair, Al-Hasan, Adh-Dhahhâk, ‘Athâ` Al-Khurasâny, dan lbrahim An-Nakha’iy, serta merupakan pendapat Madzhab Asy-Syâfi’iy dan yang masyhur dari Ahmad –semoga Allah merahmati mereka seluruhnya-.
وَالْفَجْرِ. وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” [Al-Fajr: 1-2]
Setelah menyebutkan sejumlah ucapan ulama tafsir tentang ayat di atas, seorang mufassir ternama, lbnu Jarir rahimahullâh, dalam Tafsir-nya, menyimpulkan bahwa“malam yang sepuluh” tersebut adalah malam sepuluh Dzulhijjah berdasarkan kesepakatan para ulama tafsir tentang hal tersebut.[1]
Ibnu Katsir rahimahullâh juga menguatkan hal tersebut sembari berkata, “Yang dimaksud dengan “malam yang sepuluh”adalah sepuluh Dzulhijjah sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbâs, Ibnu Az-Zubair, Mujahid, dan ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan) selain mereka ….”
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman pula,
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ. لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan ….” [Al-Hajj: 27-28]
Menurut lbnu Katsir rahimahullâh, yang dimaksud dengan “hari-hari yang telah ditentukan” dalam ayat di atas adalah sepuluh hari Dzulhijjah. Beliau menukil hal tersebut dari Ibnu ‘Abbâs, Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhumâ, Mujâhid, Qatâdah, ‘Athâ`, Sa’îd bin Jubair, Al-Hasan, Adh-Dhahhâk, ‘Athâ` Al-Khurasâny, dan lbrahim An-Nakha’iy, serta merupakan pendapat Madzhab Asy-Syâfi’iy dan yang masyhur dari Ahmad –semoga Allah merahmati mereka seluruhnya-.
Disyariatkannya Berpuasa Pada Awal Bulan Dzulhijjah (Ust.Dzulqarnain)
Syariat berpuasa bisa dipahami dari hadits Ibnu ‘Abbâs yang telah
lalu karena berpuasa juga termasuk “amal shalih” yang disyariatkan pada
sepuluh awal Dzulhijjah dalam hadits tersebut.
Juga dari dasar tuntunan dalam hal ini adalah riwayat dari sebagian istri Nabiradhiyallâhu ‘anhâ, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ يَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَتِسْعًا مِنْ ذِى الْحِجَّةِ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ
“Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyurâ, pada sembilan hari Dzulhijjah, dan pada tiga hari dalam sebulan: senin awal dari bulan (berjalan) dan dua kamis.” [1]
Hadits di atas merupakan dalil tegas tentang syariat berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah: delapan hari pada awal bulan[2] dan hari kesembilan yang dikenal dengan hari ‘Arafah.
Hadits di atas tidaklah bertentangan dengan hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâbahwa beliau bertutur,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ صَائِمًا فِى الْعَشْرِ قَطُّ.
“Saya sama sekali tidak pernah melihat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh (hari awal Dzulhijjah).” [3]
Keterangan Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ di atas dijelaskan oleh para ulama bahwa Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ mungkin saja tidak pernah melihat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan puasa tersebut, tetapi bukan berarti Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan puasa itu karena beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam mungkin saja berada di rumah Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ pada satu hari di antara hari-hari awal Dzulhijjah dan berada di rumah istri-istri beliau yang lain pada hari-hari lain. Atau, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mungkin mengerjakan sebagian puasa tersebut pada suatu tahun, mengerjakan sebagian puasa tersebut pada tahun lain, dan mengerjakan seluruh puasa itu pada tahun yang lain lagi. Atau, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam meninggalkan pelaksanaan puasa tersebut pada sebagian tahun karena suatu penghalang berupa safar, sakit, atau selainnya. Demikian makna keterangan Imam An-Nawawy rahimahullâh.[4]
Juga dari dasar tuntunan dalam hal ini adalah riwayat dari sebagian istri Nabiradhiyallâhu ‘anhâ, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ يَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَتِسْعًا مِنْ ذِى الْحِجَّةِ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ
“Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyurâ, pada sembilan hari Dzulhijjah, dan pada tiga hari dalam sebulan: senin awal dari bulan (berjalan) dan dua kamis.” [1]
Hadits di atas merupakan dalil tegas tentang syariat berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah: delapan hari pada awal bulan[2] dan hari kesembilan yang dikenal dengan hari ‘Arafah.
Hadits di atas tidaklah bertentangan dengan hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâbahwa beliau bertutur,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ صَائِمًا فِى الْعَشْرِ قَطُّ.
“Saya sama sekali tidak pernah melihat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh (hari awal Dzulhijjah).” [3]
Keterangan Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ di atas dijelaskan oleh para ulama bahwa Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ mungkin saja tidak pernah melihat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan puasa tersebut, tetapi bukan berarti Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan puasa itu karena beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam mungkin saja berada di rumah Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ pada satu hari di antara hari-hari awal Dzulhijjah dan berada di rumah istri-istri beliau yang lain pada hari-hari lain. Atau, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mungkin mengerjakan sebagian puasa tersebut pada suatu tahun, mengerjakan sebagian puasa tersebut pada tahun lain, dan mengerjakan seluruh puasa itu pada tahun yang lain lagi. Atau, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam meninggalkan pelaksanaan puasa tersebut pada sebagian tahun karena suatu penghalang berupa safar, sakit, atau selainnya. Demikian makna keterangan Imam An-Nawawy rahimahullâh.[4]
Syariat (dzikir-ed) tahlil, takbir dan tahmid (Ust.Dzulqarnain)
Dari Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâ, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمَ عِنْدَ اللَّهِ وَلاَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ
“Tiada suatu hari apapun yang amalan pada hari itu lebih agung di sisi Allah tidak (pula) lebih dicintai oleh Allah melebihi sepuluh hari (awal Dzulhijjah) ini. Oleh karena itu, perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” [1]
Hadits di atas menjelaskan bahwa salah satu amalan yang disyariatkan pada sepuluh hari awal Dzulhijjah adalah memperbanyak takbir, tahlil, dan tahmid. Inilah yang dipahami oleh Imam Al-Bukhâry bahwa, sebelum menyebutkan hadits Ibnu ‘Abbâs tentang keutamaan amalan pada sepuluh hari awal Dzulhijjah, beliau berkata,
“Dan Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ berkata bahwa (tentang ayat),
‘Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan ….’ [Al-Hajj: 28]
(Yaitu) hari-hari sepuluh (awal Dzulhijjah), dan (tentang ayat),
‘Beberapa hari yang berbilang ….’ [Al-Baqarah: 203]
(Yaitu) hari-hari Tasyriq. Adalah Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhumâ keluar ke pasar pada hari-hari sepuluh (awal Dzulhijjah). Mereka berdua bertakbir, dan manusia pun bertakbir dengan (lafazh) takbir mereka berdua. Sementara itu, Muhammad bin Ali[2] bertakbir selepas mengerjakan shalat sunnah.”
Mungkin bisa disimpulkan bahwa ada dua bentuk takbir pada sepuluh hari awal Dzulhijjah dan hari-hari Tasyriq:
مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمَ عِنْدَ اللَّهِ وَلاَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ
“Tiada suatu hari apapun yang amalan pada hari itu lebih agung di sisi Allah tidak (pula) lebih dicintai oleh Allah melebihi sepuluh hari (awal Dzulhijjah) ini. Oleh karena itu, perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” [1]
Hadits di atas menjelaskan bahwa salah satu amalan yang disyariatkan pada sepuluh hari awal Dzulhijjah adalah memperbanyak takbir, tahlil, dan tahmid. Inilah yang dipahami oleh Imam Al-Bukhâry bahwa, sebelum menyebutkan hadits Ibnu ‘Abbâs tentang keutamaan amalan pada sepuluh hari awal Dzulhijjah, beliau berkata,
“Dan Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ berkata bahwa (tentang ayat),
‘Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan ….’ [Al-Hajj: 28]
(Yaitu) hari-hari sepuluh (awal Dzulhijjah), dan (tentang ayat),
‘Beberapa hari yang berbilang ….’ [Al-Baqarah: 203]
(Yaitu) hari-hari Tasyriq. Adalah Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhumâ keluar ke pasar pada hari-hari sepuluh (awal Dzulhijjah). Mereka berdua bertakbir, dan manusia pun bertakbir dengan (lafazh) takbir mereka berdua. Sementara itu, Muhammad bin Ali[2] bertakbir selepas mengerjakan shalat sunnah.”
Mungkin bisa disimpulkan bahwa ada dua bentuk takbir pada sepuluh hari awal Dzulhijjah dan hari-hari Tasyriq:
Doa Pada Hari Arafah (Ust.Dzulqarnain)
Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Sebaik-baik doa adalah doa hari ‘Arafah, serta sebaik-baik (ucapan) yang saya dan para nabi sebelumku ucapkan adalah, ‘Tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, tiada serikat bagi-Nya, untuk-Nyalah segala kekuasaan dan pujian, serta Dia Maha Mampu atas segala sesuatu.’.”
Hadits dengan konteks di atas diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dalam Jâmi’-nya 5/572 no. 3585 dan Al-Fâqihy dalam Akhbâr Makkah 5/24-25 dari jalan Muhammad bin Abi Humaid, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayah (‘Amr), dari kakek (‘Amr), Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallâhu ‘anhâ, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya 2/201, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Îmân 3/358, dan Al-Qazwainy dalam Ad-Tadwîn 2/168 dari jalan yang sama, tetapi dengan konteks,
كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمَلَكُ وَلَهُ الْحَمْدُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Kebanyakan doa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Arafah adalah, ‘Tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, tiada serikat bagi-Nya, untuk-Nyalah segala kekuasaan dan pujian, di tangan-Nyalah segala kebaikan, serta Dia Maha Mampu atas segala sesuatu.’.”
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Sebaik-baik doa adalah doa hari ‘Arafah, serta sebaik-baik (ucapan) yang saya dan para nabi sebelumku ucapkan adalah, ‘Tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, tiada serikat bagi-Nya, untuk-Nyalah segala kekuasaan dan pujian, serta Dia Maha Mampu atas segala sesuatu.’.”
Hadits dengan konteks di atas diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dalam Jâmi’-nya 5/572 no. 3585 dan Al-Fâqihy dalam Akhbâr Makkah 5/24-25 dari jalan Muhammad bin Abi Humaid, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayah (‘Amr), dari kakek (‘Amr), Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallâhu ‘anhâ, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya 2/201, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Îmân 3/358, dan Al-Qazwainy dalam Ad-Tadwîn 2/168 dari jalan yang sama, tetapi dengan konteks,
كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمَلَكُ وَلَهُ الْحَمْدُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Kebanyakan doa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Arafah adalah, ‘Tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, tiada serikat bagi-Nya, untuk-Nyalah segala kekuasaan dan pujian, di tangan-Nyalah segala kebaikan, serta Dia Maha Mampu atas segala sesuatu.’.”
Keutamaan Hari Nahr/Penyembelihan (Ust.Dzulqarnain)
Dari Abdullah bin Qurath radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْظَمُ الأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ
“Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari An-Nahr kemudian hari Al-Qarr.” [1]
An-Nahr berarti penyembelihan. 10 Dzulhijjah disebut dengan hari An-Nahr sebab hari tersebut adalah permulaan syariat penyembelihan hewan qurban.
Hari Al-Qarr artinya hari menetap karena, pada 11 Dzulhijjah, orang-orang yang mengerjakan ibadah haji bermalam dan menetap di Mina.
Selain itu, 12 Dzulhijjah disebut dengan nama hari An-Nafar Al-Awwal karena jamaah haji keluar dari Mina pada hari ini.
13 Dzulhijjah disebut dengan nama hari An-Nafar Ats-Tsâny karena ini adalah hari terakhir di Mina bagi jamaah haji yang menginginkan hal yang lebih afdhal.
Hadits di atas menunjukkan bahwa hari An-Nahr adalah hari yang paling agung di sisi Allah Subhânahû wa Ta’âlâ. Hari An-Nahr adalah hari haji Akbar yang disebutkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam [2] dan termasuk hari ‘Id umat Islam sebagaimana keterangan yang telah berlalu dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallâhu ‘anhu.
أَعْظَمُ الأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ
“Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari An-Nahr kemudian hari Al-Qarr.” [1]
An-Nahr berarti penyembelihan. 10 Dzulhijjah disebut dengan hari An-Nahr sebab hari tersebut adalah permulaan syariat penyembelihan hewan qurban.
Hari Al-Qarr artinya hari menetap karena, pada 11 Dzulhijjah, orang-orang yang mengerjakan ibadah haji bermalam dan menetap di Mina.
Selain itu, 12 Dzulhijjah disebut dengan nama hari An-Nafar Al-Awwal karena jamaah haji keluar dari Mina pada hari ini.
13 Dzulhijjah disebut dengan nama hari An-Nafar Ats-Tsâny karena ini adalah hari terakhir di Mina bagi jamaah haji yang menginginkan hal yang lebih afdhal.
Hadits di atas menunjukkan bahwa hari An-Nahr adalah hari yang paling agung di sisi Allah Subhânahû wa Ta’âlâ. Hari An-Nahr adalah hari haji Akbar yang disebutkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam [2] dan termasuk hari ‘Id umat Islam sebagaimana keterangan yang telah berlalu dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallâhu ‘anhu.
Syariat Berqurban (Ust.Dzulqarnain)
Berqurban adalah salah satu ibadah yang disyariatkan dalam
Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam serta
tergolong simbol Islam yang disepakati oleh para ulama akan anjurannya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu, dan berqurbanlah.” [Al-Kautsar: 2]
Tatkala menjelaskan makna ayat di atas, Ibnu Jarîr Ath-Thabary rahimahullâh berkata, “Jadikanlah, (wahai Muhammad), shalatmu seluruhnya ikhlas hanya untuk Rabb-mu tanpa (siapapun) yang bukan Dia, di antara sekutu-sekutu dan sembahan-sembahan. Demikian pula sembelihanmu, jadikanlah hanya untuk-Nya, tanpa berhala-berhala, sebagai kesyukuran kepada-Nya terhadap segala sesuatu yang Allah berikan kepadamu, berupa kemuliaan dan kebaikan yang tiada bandingannya, dan Dia mengkhususkan engkau dengannya, yaitu pemberian Al-Kautsar kepadamu.”[1]
Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata, “Ibnu ‘Abbâs, ‘Athâ`, Mujâhid, ‘Ikrimah, dan Al-Hasan berkata, ‘Yang diinginkan oleh hal tersebut adalah menyembelih unta dan (hewan lain) yang semisal dengannya.’ Demikian pula perkataan Qatâdah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurazhy, Adh-Dhahhâk, Ar-Rabî’, ‘Athâ` Al-Khurasâny, Al-Hakam, Ismail bin Abu Khâlid, dan ulama salaf yang lain. ….” Lalu, beliau membawakan beberapa pendapat lain dari penafsiran ayat, kemudian menyatakan, “Yang benar adalah pendapat pertama bahwa yang dimaksud dengan an-nahr ‘menyembelih’ adalah sembelihan manasik ….”
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu, dan berqurbanlah.” [Al-Kautsar: 2]
Tatkala menjelaskan makna ayat di atas, Ibnu Jarîr Ath-Thabary rahimahullâh berkata, “Jadikanlah, (wahai Muhammad), shalatmu seluruhnya ikhlas hanya untuk Rabb-mu tanpa (siapapun) yang bukan Dia, di antara sekutu-sekutu dan sembahan-sembahan. Demikian pula sembelihanmu, jadikanlah hanya untuk-Nya, tanpa berhala-berhala, sebagai kesyukuran kepada-Nya terhadap segala sesuatu yang Allah berikan kepadamu, berupa kemuliaan dan kebaikan yang tiada bandingannya, dan Dia mengkhususkan engkau dengannya, yaitu pemberian Al-Kautsar kepadamu.”[1]
Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata, “Ibnu ‘Abbâs, ‘Athâ`, Mujâhid, ‘Ikrimah, dan Al-Hasan berkata, ‘Yang diinginkan oleh hal tersebut adalah menyembelih unta dan (hewan lain) yang semisal dengannya.’ Demikian pula perkataan Qatâdah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurazhy, Adh-Dhahhâk, Ar-Rabî’, ‘Athâ` Al-Khurasâny, Al-Hakam, Ismail bin Abu Khâlid, dan ulama salaf yang lain. ….” Lalu, beliau membawakan beberapa pendapat lain dari penafsiran ayat, kemudian menyatakan, “Yang benar adalah pendapat pertama bahwa yang dimaksud dengan an-nahr ‘menyembelih’ adalah sembelihan manasik ….”
Beberapa Hikmah Dibalik Syariat Berqurban (Ust.Dzulqarnain)
Banyak hikmah di belakang syariat berqurban yang mengingatkan seorang hamba kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan hari akhirat.
Di antara hikmah tersebut adalah:
1. Menegakkan peribadahan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ menjelaskan ibadah qurban sebagai salah satu bentuk penegakan perintah dan penyerahan diri kepada-Nya sebagaimana dalam firman-Nya,
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan saya adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’.” [Al-An’âm: 162-163]
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ juga menjelaskan bahwa berqurban adalah ibadah yang agung bila disertai dengan takwa dan keikhlasan sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging dan darah (unta) itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya.” [Al-Hajj: 37]
2. Sebagai lambang kesyukuran seorang hamba terhadap nikmat Allah Subhânahû wa Ta’âlâ.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan sesuatu yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kalian, mudah-mudahan kalian bersyukur.” [Al-Hajj: 36]
Di antara hikmah tersebut adalah:
1. Menegakkan peribadahan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ menjelaskan ibadah qurban sebagai salah satu bentuk penegakan perintah dan penyerahan diri kepada-Nya sebagaimana dalam firman-Nya,
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan saya adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’.” [Al-An’âm: 162-163]
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ juga menjelaskan bahwa berqurban adalah ibadah yang agung bila disertai dengan takwa dan keikhlasan sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging dan darah (unta) itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya.” [Al-Hajj: 37]
2. Sebagai lambang kesyukuran seorang hamba terhadap nikmat Allah Subhânahû wa Ta’âlâ.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan sesuatu yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kalian, mudah-mudahan kalian bersyukur.” [Al-Hajj: 36]
Rabu, 17 Oktober 2012
Bai'at Antara Perspektif Ahlussunnah dan Perspektif Ahlul Bid'ah
Oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc. & Al-Ustadz Qomar Su’aidi Lc.
Ketika mendengar kata bai’at, sebagian kita barangkali akan terbayang pada sebuah sikap ketundukan dan kesetiaan dari seorang pengikut jamaah (baca: Islam sempalan) kepada pimpinannya. Realita yang ada memang menunjukkan mayoritas jamaah yang ada menerapkan aturan bai’at ini kepada anggota kelompoknya. Tentu dengan pemahaman keliru dari masing-masing kelompok tersebut. Dari pemahaman keliru itu kemudian lahir perilaku menyimpang yang menjurus kepada perbuatan ekstrim, seperti rela menyerahkan sebagian besar hartanya untuk kelompoknya atau menganggap kafir orang-orang yang tidak berbai’at kepada pimpinan kelompoknya. Tulisan berikut mencoba mendudukkan permasalahan bai’at dalam perspektif Ahlus Sunnah, supaya kita mendapatkan pemahaman yang benar tentang bai’at dan menerapkannya secara benar pula.
Masalah bai’at merupakan salah satu topik menarik untuk dikaji saat ini. Pasalnya, masalah yang satu ini cukup ramai dibicarakan di dunia dakwah. Simpang siur pendapat dalam masalah ini pun cukup membuat bingung kaum muslimin bahkan para aktivis dakwah itu sendiri. Sementara realita yang berkembang menunjukkan tidak sedikit dari mereka yang memahami hadits-hadits tentang bai’at dengan akal pikiran mereka semata, tanpa merujuk kepada penjelasan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Kondisi pun semakin runyam ketika kepentingan pribadi, kepentingan kelompok ataupun ideologi kelompok ikut berkompeten, sehingga tak ayal bila bai’at akhirnya menjadi senjata pamungkas untuk menjaring para pengikut jamaah dakwah agar tidak lepas darinya. Kalaulah akhirnya lepas juga, maka vonis khianat, murtad dari jamaah, kafir, bahkan target operasi pembunuhan pun terkadang dijatuhkan, sebagaimana yang kerap dilakukan oleh ahlul bid’ah wal furqah. Wallahul musta’an.
Hukum Bai'at
Oleh: Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Pertanyaan :
Syaikh Salih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Fadhilatusy Syaikh ! Termasuk perkara yang dianggap remeh manusia sekarang ini adalah masalah ba'iat. Ada beberapa orang yang berpendapat boleh memberikan bai'at kepada salah satu kelompok Islam yang ada sekarang ini, kendati di sana ada bai'at-bai'at lain bagi kelompok lai
Pertanyaan :
Syaikh Salih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Fadhilatusy Syaikh ! Termasuk perkara yang dianggap remeh manusia sekarang ini adalah masalah ba'iat. Ada beberapa orang yang berpendapat boleh memberikan bai'at kepada salah satu kelompok Islam yang ada sekarang ini, kendati di sana ada bai'at-bai'at lain bagi kelompok lai
n
pula. Kadangkala pemimpin yang dibai'at ini tidak dikenal dengan alasan
masih 'dirahasiakan'. Bagaimanakah hukumnya bai'at seperti itu ? Apakah
hukumnya berbeda di dalam negeri-negeri kafir atau negara yang tidak
berhukum dengan hukum Allah ?
Jawaban:
Bai'at hanya boleh
diberikan kepada penguasa kaum muslimin. Bai'at-bai'at yang
berbilang-bilang dan bid'ah itu merupakan akibat perpecahan. Setiap kaum
muslimin yang berada dalam satu pemerintahan dan satu kekuasaan wajib
memberikan satu bai'at kepada satu orang pemimpin. Tidaklah dibenarkan
memunculkan bai'at-bai'at yang lain. Bai'at-bai'at tersebut merupakan
hasil perpecahan kaum muslimin pada zaman ini dan akibat kejahilan
tentang agama. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang
itu, beliau bersabda.
Selasa, 16 Oktober 2012
Waspadalah Terhadap Fitnah Wanita
Kecintaan suami terhadap isterinya dan kecintaan isteri terhadap suaminya tidak boleh menjadikan keduanya mengharamkan apa yang telah Allah halalkan dan menghalalkan apa yang telah Allah haramkan, atau melakukan dosa-dosa dan maksiat karena ingin mendapat keridhaan masing-masing dari keduanya atas yang lain.
Allah Ta’ala pernah menegur Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Dia berfirman.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ ۚ وَاللَّهُ مَوْلَاكُمْ ۖ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
"Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu? Engkau ingin menyenangkan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Sungguh, Allah telah mewajibkan kepadamu membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui, Mahabijak-sana.” [At-Tahrim : 1-2]
Di dalam ash-Shahiihain dari hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah minum madu di tempat Zainab binti Jahsyi dan tinggal bersamanya. Aku dan Hafshah bersepakat untuk mengatakan kepada beliau apabila beliau menemui salah seorang dari kami, ‘Apakah engkau telah memakan maghafir? Sungguh aku mendapati darimu aroma maghafir.’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak, tetapi tadi aku minum madu di rumah Zainab binti Jahsyi dan aku tidak akan mengulanginya dan aku bersumpah. Jangan engkau beberkan hal ini kepada seorang pun.’ Maka turunlah ayat ini [At-Tahrim: 1-2]” [1]
Hukum Thalaq/Talak
Semua yang terjadi dalam perjalanan hidup seorang manusia merupakan kehendak Rabbnya Yang Maha Agung. Seorang manusia tidak akan selamanya merasa bahagia dan juga tidak akan selamanya menanggung nestapa. Dari semua perputaran kejadian yang kita temui pada setiap episode kehidupan membawa pelajaran dan hikmahnya masing-masing agar kita semakin mengerti hakikat penciptaan kita selaku hamba di muka bumi ini.
Allah ta’ala telah menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan, ada laki-laki dan ada perempuan, ada suka dan ada duka, ada pertemuan dan ada perpisahan. Sudah lumrah bagi setiap hal yang memiliki awal pasti juga memiliki akhir, tidak terkecuali dalam ikatan pernikahan. Ada waktunya untuk kita bertemu dengan seseorang yang kita cintai dan ada pula waktunya ketika kita harus berpisah dengan seseorang yang disayangi. Perpisahan yang terjadi bukanlah akhir dari sebuah perjalanan hidup, melainkan sebuah pembelajaran untuk pendewasaan diri.
Kali ini, kita akan berbicara tentang perpisahan antara dua insan yang mencinta, antara sepasang suami istri. Berpisahnya sepasang suami dan istri disebabkan oleh dua hal umum yaitu, kematian dan perceraian.
Ikatan pernikahan yang dipisahkan karena kematian, adalah suatu hal lumrah yang dapat kita fahami bersama. Namun, perpisahan antara suami dengan istri dapat juga disebabkan oleh perceraian. Bagaimanakah Islam mengatur masalah perceraian ini? Kemudian, apa yang sajakah yang harus dilakukan oleh seorang wanita ketika perpisahan itu terjadi?
Apakah Iman Kepada Taqdir Menafikan Kehendak Hamba Dalam Berbagai Perbuatan Yang Dapat Dipilihnya?
Iman kepada qadar -sebagaimana yang telah disinggung- tidak menafikan keadaan hamba dalam memiliki kehendak pada perbuatan-perbuatan yang dipilihnya dan mempunyai kuasa terhadapnya. Hal itu ditunjukkan oleh syari'at dan fakta.
Dalam syar'at, dalil-dalil mengenai hal itu sangat banyak sekali, di antaranya firman Allah Ta'ala.
".. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Rabb-nya." [An-Naba': 39]
Juga firman-Nya yang lain.
".. Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.." [Al-Baqarah: 223]
Juga firman-Nya.
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..."[Al-Baqarah: 286]
Dan firman-Nya.
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu..." [Ali 'Imran: 133]
Serta firman-Nya.
"..Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir...". [Al-Kahfi: 29]
Kapan Dibolehkan Berdalih Dengan Taqdir?
Oleh: Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
Diizinkan berdalih dengan qadar pada saat musibah menimpa manusia, seperti kefakiran, sakit, kematian kerabat, matinya tanaman, kerugian harta, pembunuhan yang tidak disengaja, dan sejenisnya, karena hal ini merupakan kesempurnaan ridha kepada Allah sebagai Rabb. Maka berdalih dengan takdir hanyalah terhadap musibah, bukan pada perbuatan aib.
Diizinkan berdalih dengan qadar pada saat musibah menimpa manusia, seperti kefakiran, sakit, kematian kerabat, matinya tanaman, kerugian harta, pembunuhan yang tidak disengaja, dan sejenisnya, karena hal ini merupakan kesempurnaan ridha kepada Allah sebagai Rabb. Maka berdalih dengan takdir hanyalah terhadap musibah, bukan pada perbuatan aib.
“Orang yang berbahagia, ia akan beristighfar dari perbuatan aib dan bersabar terhadap musibah, sebagaimana firman-Nya:
‘Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu… .’ [Al-Mu'-min: 55]
Sedangkan orang yang celaka, ia akan bersedih ketika menghadapi musibah, dan berdalih dengan qadar atas perbuatan aib (yang dilakukannya).” [1]
Contoh berikut ini akan menjelaskan hal itu: Seandainya seseorang membunuh orang lain tanpa disengaja, kemudian orang lain mencelanya dan ia berargumen dengan takdir, maka argumennya tersebut diterima, tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk diberi sanksi.
Apakah Melakukan (Menempuh-ed) Sebab-Sebab Dapat Manafikan Keimanan Kepada Qadha' Dan Qadar?
Oleh: Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
Melakukan sebab-sebab itu tidak menafikan iman kepada qadar, bahkan melakukannya merupakan kesempurnaan iman kepada qadha' dan qadar.
Melakukan sebab-sebab itu tidak menafikan iman kepada qadar, bahkan melakukannya merupakan kesempurnaan iman kepada qadha' dan qadar.
“Karena itu, hamba berkewajiban -disamping beriman kepada qadar- untuk bersungguh-sungguh dalam pekerjaan, menempuh faktor-faktor kesuksesan, dan bersandar kepada Allah Subhanahuwa Ta’ala agar memudahkan baginya sebab-sebab kebahagiaan, serta menolongnya atas hal itu.” [1]
Nash-nash al-Qur-an dan as-Sunnah berisikan perintah untuk melakukan upaya-upaya yang disyari’atkan dalam berbagai urusan kehidupan: memerintahkan bekerja, berusaha mencari rizki, me-nyiapkan peralatan untuk menghadapi musuh, berbekal untuk perjalanan, dan lain sebagainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi…" [Al-Jumu’ah: 10]
Juga firman Allah yang lain:
"…Maka berjalanlah di segala penjurunya…" [Al-Mulk: 15]
Juga firman-Nya:
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, dan musuhmu…" [Al-Anfaal: 60]
(Bolehkah) Beralasan Dengan Takdir Atas Perbuatan Maksiat Atau Dari Meninggalkan Kewajiban
Oleh: Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
Keimanan kepada qadar tidaklah memperkenankan pelaku kemaksiatan untuk beralasan dengannya atas kewajiban yang ditinggalkannya atau kemaksiatan yang dikerjakannya.
Keimanan kepada qadar tidaklah memperkenankan pelaku kemaksiatan untuk beralasan dengannya atas kewajiban yang ditinggalkannya atau kemaksiatan yang dikerjakannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, "Tidak boleh seseorang berdalih dengan takdir atas dosa (yang dilakukannya) berdasarkan kesepakatan (ulama) kaum muslimin, seluruh pemeluk agama, dan semua orang yang berakal. Seandainya hal ini diterima (dibolehkan), niscaya hal ini dapat memberikan peluang kepada setiap orang untuk melakukan perbuatan yang merugikannya, seperti membunuh jiwa, merampas harta, dan seluruh jenis kerusakan di muka bumi, kemudian ia pun beralasan dengan takdir. Ketika orang yang beralasan dengan takdir dizhalimi dan orang yang menzhaliminya beralasan yang sama dengan takdir, maka hal ini tidak bisa diterima, bahkan kontradiksi. Pernyataan yang kontradiksi menunjukkan kerusakan pernyataan tersebut. Jadi, beralasan dengan qadar itu sudah dimaklumi kerusakannya di permulaan akal".[1]
Karena perkara ini menimbulkan banyak bencana, maka inilah pemaparan mengenai sebagian dalil-dalil syar'i, 'aqli (akal), dan kenyataan, yang menjelaskan kebathilan dengan beralasan kepada qadar (takdir) atas perbuatan maksiat, atau dari meninggalkan ketaatan. [2]
Kewajiban Hamba Berkenaan Dengan Masalah Taqdir
Oleh: Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
Kewajiban seorang hamba dalam masalah ini ialah mengimani qadha' Allah dan qadar-Nya, serta mengimani syari'at, perintah dan larangan-Nya. Ia berkewajiban untuk membenarkan khabar (berita) dan mentaati perintah. [1]
Jika ia berbuat kebajikan, hendaklah ia memuji Allah dan jika ia berbuat keburukan, hendaklah ia memohon ampun kepada-Nya. Ia pun mengetahui bahwa semua itu terjadi dengan qadha' Allah dan qadar-Nya. Sesungguhnya, ketika Nabi Adam Alaihissalam melakukan dosa, maka dia bertaubat, lalu Rabb-nya memilihnya dan memberi petunjuk kepadanya. Sedangkan iblis, ia tetap meneruskan dosa dan menghujat, maka Allah melaknat dan mengusirnya. Barang-siapa yang bertaubat, maka ia sesuai dengan sifat Nabi Adam Alaihissalam, dan barangsiapa yang meneruskan dosanya serta berdalihkan dengan takdir, maka ia sesuai dengan sifat iblis. Maka orang-orang yang berbahagia akan mengikuti bapak mereka, dan orang-orang yang celaka akan mengikuti musuh mereka, iblis. [2]
"Dengan pemahaman terhadap qadar Allah dan pelaksanaan terhadap syari'at-Nya secara benar, maka manusia akan menjadi seorang hamba -yang hakiki-, sehingga dia akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, ash-shiddiqin, asy-syuhada' dan ash-shalihin. Cukuplah dengan persahabatan ini suatu keberuntungan dan kebahagiaan." [3]
Kewajiban seorang hamba dalam masalah ini ialah mengimani qadha' Allah dan qadar-Nya, serta mengimani syari'at, perintah dan larangan-Nya. Ia berkewajiban untuk membenarkan khabar (berita) dan mentaati perintah. [1]
Jika ia berbuat kebajikan, hendaklah ia memuji Allah dan jika ia berbuat keburukan, hendaklah ia memohon ampun kepada-Nya. Ia pun mengetahui bahwa semua itu terjadi dengan qadha' Allah dan qadar-Nya. Sesungguhnya, ketika Nabi Adam Alaihissalam melakukan dosa, maka dia bertaubat, lalu Rabb-nya memilihnya dan memberi petunjuk kepadanya. Sedangkan iblis, ia tetap meneruskan dosa dan menghujat, maka Allah melaknat dan mengusirnya. Barang-siapa yang bertaubat, maka ia sesuai dengan sifat Nabi Adam Alaihissalam, dan barangsiapa yang meneruskan dosanya serta berdalihkan dengan takdir, maka ia sesuai dengan sifat iblis. Maka orang-orang yang berbahagia akan mengikuti bapak mereka, dan orang-orang yang celaka akan mengikuti musuh mereka, iblis. [2]
"Dengan pemahaman terhadap qadar Allah dan pelaksanaan terhadap syari'at-Nya secara benar, maka manusia akan menjadi seorang hamba -yang hakiki-, sehingga dia akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, ash-shiddiqin, asy-syuhada' dan ash-shalihin. Cukuplah dengan persahabatan ini suatu keberuntungan dan kebahagiaan." [3]
Macam-macam Taqdir
Oleh: Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
Macam-macam Taqdir Antara Lain:
1. At-Taqdiirul 'Aam (Takdir yang bersifat umum). 2. At-Taqdiirul Basyari (Takdir yang berlaku untuk manusia). 3. At-Taqdiirul 'Umri (Takdir yang berlaku bagi usia). 4. At-Taqdiirus Sanawi (Takdir yang berlaku tahunan). 5. At-Taqdiirul Yaumi (Takdir yang berlaku harian).
Rincian:
1. At-Taqdiirul 'Aam (Takdir yang bersifat umum). Ialah takdir Rabb untuk seluruh alam, dalam arti Dia mengetahuinya (dengan ilmu-Nya), mencatatnya, menghendaki, dan juga menciptakannya.
Jenis ini ditunjukkan oleh berbagai dalil, di antaranya firman Allah Ta'ala:
"Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah". [Al-Hajj: 70]
Dalam Shahiih Muslim dari 'Abdullah bin 'Amr Radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Allah menentukan berbagai ketentuan para makhluk, 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. "Beliau bersabda, "Dan adalah 'Arsy-Nya di atas air."[2]
2. At-Taqdiirul Basyari [3] (Takdir yang berlaku untuk manusia). Ialah takdir yang di dalamnya Allah mengambil janji atas semua manusia bahwa Dia adalah Rabb mereka, dan menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka akan hal itu, serta Allah menentukan di dalamnya orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang celaka. Dia berfirman:
Macam-macam Taqdir Antara Lain:
1. At-Taqdiirul 'Aam (Takdir yang bersifat umum). 2. At-Taqdiirul Basyari (Takdir yang berlaku untuk manusia). 3. At-Taqdiirul 'Umri (Takdir yang berlaku bagi usia). 4. At-Taqdiirus Sanawi (Takdir yang berlaku tahunan). 5. At-Taqdiirul Yaumi (Takdir yang berlaku harian).
Rincian:
1. At-Taqdiirul 'Aam (Takdir yang bersifat umum). Ialah takdir Rabb untuk seluruh alam, dalam arti Dia mengetahuinya (dengan ilmu-Nya), mencatatnya, menghendaki, dan juga menciptakannya.
Jenis ini ditunjukkan oleh berbagai dalil, di antaranya firman Allah Ta'ala:
"Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah". [Al-Hajj: 70]
Dalam Shahiih Muslim dari 'Abdullah bin 'Amr Radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Allah menentukan berbagai ketentuan para makhluk, 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. "Beliau bersabda, "Dan adalah 'Arsy-Nya di atas air."[2]
2. At-Taqdiirul Basyari [3] (Takdir yang berlaku untuk manusia). Ialah takdir yang di dalamnya Allah mengambil janji atas semua manusia bahwa Dia adalah Rabb mereka, dan menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka akan hal itu, serta Allah menentukan di dalamnya orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang celaka. Dia berfirman:
Minggu, 14 Oktober 2012
Kedudukan Wanita Dalam Islam
Penulis membahas masalah ini, karena orang-orang yang
tidak senang kepada Islam dan orang-orang bodoh menganggap bahwa Islam
merendahkan martabat wanita. Hal ini berkaitan dengan dianjurkannya
wanita berada di rumah, wajibnya mereka memakai jilbab, wajibnya mereka
melayani suami, diterimanya persaksian dua orang wanita sedangkan
laki-laki cukup seorang saja, hak waris wanita separuh dari hak
laki-laki, atau ketidak-senangan mereka hanya disebabkan Islam
membolehkan seorang laki-laki ta’addud (poligami/ beristeri lebih dari
satu). Padahal dengan dibolehkannya poligami jutru mengangkat martabat
wanita.
Bagaimana pun, seorang wanita yang bersuami lebih baik daripada wanita yang hidup sebagai perawan tua, hidup menjanda, atau bahkan bergelimang dengan dosa lagi menghinakan diri dengan hidup melacur. Bahkan, ada wanita yang jahat dan zhalim mengatakan kepada suaminya, “Lebih baik engkau berzina/melacur daripada aku dimadu.” Na’udzu billaahi min dzalik.
Dalam Islam, seorang laki-laki jutru lebih baik dan mulia jika ia menikah lagi (berpoligami) daripada ia berzina/melacur. Karena zina adalah perbuatan keji dan sejelek-jelek jalan. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” [Al-Israa' : 32]
Sedangkan keberadaan pelacuran dan wanita tuna susila (pelacur) justru merendahkan dan melecehkan martabat wanita, juga sebagai bentuk penghinaan kepada wanita serta menjerumuskan mereka ke Neraka.
Menggapai Ridha Allah Dengan Berbakti Kepada Orang Tua
Seorang anak, meskipun telah berkeluarga, tetap wajib
berbakti kepada kedua orang tuanya. Kewajiban ini tidaklah gugur bila
seseorang telah berkeluarga. Namun sangat disayangkan, betapa banyak
orang yang sudah berkeluarga lalu mereka meninggalkan kewajiban ini.
Mengingat pentingnya masalah berbakti kepada kedua orang tua, maka
masalah ini perlu dikaji secara khusus.
Jalan yang haq dalam menggapai ridha Allah ‘Azza wa Jalla melalui orang tua adalah birrul walidain. Birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua) merupakan salah satu masalah penting dalam Islam. Di dalam Al-Qur’an, setelah memerintahkan manusia untuk bertauhid, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk berbakti kepada orang tuanya.
Seperti tersurat dalam surat al-Israa' ayat 23-24, Allah Ta’ala berfirman:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’” [Al-Israa' : 23-24]
Langganan:
Postingan (Atom)