Sabtu, 27 Oktober 2012

Khilafah Diatas Manhaj Nubuwwah

Oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Ba’abduh

Memahami bagaimana bentuk Khilafah Islamiyyah yang pernah diraih oleh generasi terbaik umat ini adalah salah satu bentuk kajian yang penting. Dengan pemahaman yang benar itu, kita bisa mencermati berbagai gerakan yang menyerukan berdirinya khilafah, sesuaikah gerakan mereka dengan tuntunan Rasulullah? Bagaimana pula langkah utama yang harus ditempuh agar Allah memberikan kembali sebuah khilafah kepada kaum muslimin?
Judul di atas merupakan cuplikan dari sebuah hadits nabawi yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dari shahabat Hudzaifah:
“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yang Allah kehendaki, Allah mengangkat atau menghilangkannya kalau Allah menghendaki. Lalu akan  ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan (tirani) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad, 4/273, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 5)

Cara-cara Batil Penegakan Daulah Islamiyah

Oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Ba’abduh

Tema Khilafah Islamiyyah ternyata memiliki daya tarik cukup besar. Isu ini terbukti mampu menimbulkan sentimen tersendiri di kalangan kaum muslimin. Banyak yang semangatnya tergugah dan kemudian ramai-ramai berjuang agar Khilafah Islam kembali berdiri. Namun sayang, perjuangan mereka jauh dari tuntunan syariat. Akhirnya, kegagalan demi kegagalan yang mereka raih. Yang lebih tragis, tak sedikit darah kaum muslimin tertumpah akibat perjuangan mereka yang hanya bermodal semangat itu.
Ketika kaum muslimin, terkhusus para aktivisnya, telah menjauhi dan meninggalkan metode dan cara yang ditempuh oleh para nabi dan generasi Salaful Ummah di dalam mengatasi problematika umat dalam upaya mewujudkan Daulah Islamiyyah, tak pelak lagi mereka akan mengikuti ra`yu dan hawa nafsu. Karena tidak ada lagi setelah al haq yang datang dari Allah  dan Rasul-Nya  serta Salaful Ummah, kecuali kesesatan. Sebagaimana firman Allah:
“Maka apakah setelah Al Haq itu kecuali kesesatan?” (Yunus: 32)
Dengan cara yang mereka tempuh ini, justru mengantarkan umat ini kepada kehancuran dan perpecahan, sebagaimana firman Allah :
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutlah dia, dan janganlah kalian mengikuti As-Subul (jalan-jalan yang lain), karena jalan-jalan itu menyebabkan kalian tercerai berai dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kalian bertaqwa.” (Al-An’am: 153)

Khilafah, Imamah dan Pemberontakan

Oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari

‘Arfajah Al-Asyja‘i  berkata: Aku mendengar Rasulullah  bersabda:
“Siapa yang mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan, kemudian dia ingin memecahkan persatuan kalian atau ingin memecah belah jamaah kalian, maka perangilah/bunuhlah orang tersebut.”
Dalam lafadz lain:
“Sungguh akan terjadi fitnah dan perkara-perkara baru. Maka barangsiapa yang ingin memecah-belah urusan umat ini padahal umat ini dalam keadaan telah berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan, maka penggallah orang tersebut, siapa pun dia.”

Takhrij Hadits

Hadits yang mulia di atas diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Al-Imarah, Bab Hukmu Man Farraqa Amral Muslimin wa Huwa Mujtama’ (Hukum orang yang memecah-belah urusan muslimin dalam keadaan mereka telah berkumpul/bersatu pada perkara tersebut), no. 1852. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 4/261, 4/341, 5/23; An-Nasa`i dalam Sunan-nya no. 4020, 4021, 4022 dan Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 4762.
Dalam riwayat An-Nasa`i (no. 4020) ada tambahan:
“Karena sesungguhnya tangan Allah di atas tangan jamaah dan sungguh setan berlari bersama orang yang berpisah dari jamaah.”

Hukum Demonstrasi


Segala puji bagi Allah yang telah mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya diatas segenap agama, dan cukuplah Allah sebagai saksi.

Semoga shalawat serta salam atas Nabi kita Muhammad, pengemban ajaran yang bersih dan murni, demikian juga atas keluarga, para sahabat dan pengikutnya, serta siapa saja yang meneladani dan berpedoman pada ajaran beliau sampai hari kiamat nanti. Amma ba’du.

Di dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan kita agar menetapi jalan petunjuk yang lurus dengan firman-Nya.

“Artinya : Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalaj jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya, yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa” [Al-An’am : 153]

Allah melarang kita menyelisihi ajaran Nabi-Nya dengan firmanNya.

“Artinya : Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [An-Nur : 63]

Cara Menanggapi Orang Yang Berbuat Maksiat

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin

Pertanyaan: 
Tentang jawaban seseorang yang berbuat maksiat ketika diseru kepada kebenaran : 'Sesunguhnya Allah belum menetapkan hidayah untukku, bagaimana bersikap terhadap orang semacam ini .?

Jawaban. 
Jawabannya sederhana saja ; apakah kamu melihat yang ghaib atau kamu telah mengambil kesepakatan dengan Allah ? Jika ia menjawab : Ya, berarti ia kufur, karena ia mengaku mengetahui perkara yang ghaib. Dan jika ia menjawab : Tidak, ia kalah. Jika kamu tidak mengetahui bahwa Allah belum menetapkan hidayah kepadamu, maka mintalah hidayah, karena Allah tidak menahan hidayah kepadamu, bahkan Dia menyerumu kepada hidayah, Dia berkeingiinan agar kamu memperoleh hidayah seraya mengingatkanmu dari kesesatan dan melarangmu dari padanya.

Dan Allah tidak berkehendak meninggalkan hamba-hamba-Nya dalam kesesatan selama-lamanya. Dia berfirman.

Orang Yang Marah Bila Ditimpa Musibah

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin

Pertanyaan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Tentang orang yang marah-marah apabila ditimpa suatu musibah ?"

Jawaban.
Manusia terbagi menjadi empat tingkatan dalam menghadapi musibah.

Tingkatan Pertama : Marah-Marah
Ini terbagi kepada beberapa macam:
1. Terjadi di dalam hati, misalnya jengkel terhadap Rabb-nya karena taqdir buruk menimpanya. Ini haram hukumnya, terkadang bisa menjerumuskan kepada kekufuran. Allah Ta'ala berfirman. :
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ
"Artinya : Di antara manusia ada yang menyembah Allah dengan berada di tepi, maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keaadaan itu, dan jika ditimpa suatu bencana berbaliklah ia ke belakang. Ia rugi dunia dan dan di akhirat" [Al-Hajj : 11]

Bagaimana Allah Menetapkan Suatu Keadaan Yang Dia Tidak Sukai

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : Bagaimana Allah menetapkan suatu keadaan yang Dia tidak menyukainya ?
Jawaban
Sesuatu yang dicintai itu ada dua macam.
[1] Dicintai karena dzatnya.
[2] Dicintai karena ada faktor lainnya
Yang dicintai karena ada faktor lain terkadang dzatnya dibenci, akan tetapi ia dicintai karena di dalamnya terdapat kemaslahatan. Ketika demikian, ia dicintai dari satu sisi dan dibenci dari sisi lainnya. 
Contoh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan telah kami tetapkan kepada Bani Israil di dalam al-Kitab ; Sesunguhnya kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar" [Al-Israa : 4]

Hukum Membicarakan Permasalahan Qadar

Oleh: Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd


Sebelum membicarakan secara terperinci tentang qadha' dan qadar, ada baiknya membicarakan mengenai masalah yang tersiar di masa dahulu dan di masa sekarang, yang intinya adalah bahwa tidak boleh membicarakan tentang masalah-masalah takdir secara mutlak. Alasannya bahwa hal itu dapat membangkitkan keraguan dan kebimbangan, dan bahwa masalah ini telah menggelincirkan banyak telapak kaki dan menyesatkan banyak pemahaman.

Pernyataan demikian, secara mutlak adalah tidak benar, hal itu dikarenakan beberapa alasan, di antaranya yaitu:
1. Iman kepada qadar adalah salah satu rukun iman. Iman seorang hamba tidak sempurna kecuali dengannya. Bagaimana hal ini akan diketahui, jika tidak dibicarakan dan dijelaskan perkaranya kepada manusia?
2. Iman kepada qadar telah disebutkan dalam hadits teragung dalam Islam, yaitu hadits Malaikat Jibril Alaihissalam, dan hal itu terjadi di akhir kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di akhir hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

Hikmah Adanya Kemaksiatan Dan Kekufuran

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin 
 
Pertanyaan  : "Tentang hikmah adanya berbagai kemaksiatan dan kekufuran ? "

Jawaban: Terjadinya berbagai kemaksiatan dan kekufuran memiliki hikmah yang banyak, antara lain.
Pertama. Menyempurnakan kalimat Allah Ta'ala, di mana Dia menjanjikan neraka untuk dipenuhinya. Allah berfirman.
"Artinya : Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabb-mu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Rabb-mu telah ditetapkan : Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahannam dengan jin dan manusia semuaya" [Hud : 118-119]
Kedua. Menampakkan hikmah Allah Ta'ala dan kekuasan-Nya, di mana Dia membagi hamba-hamba-Nya menjadi dua golongan ; yang taat dan durhaka. Pembagian ini menjelaskan hikmah Allah Azza wa Jalla, keta'atan ada yang melakukannya dan merekalah ahlinya. Demikian pula kemaksiatan ada yang melakukannya dan merekalah ahlinya. Allah Ta'ala berfirman.

Tingkatan Qadha' Dan Qadar


Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah qadha' dan qadar mempunyai empat tingkatan:

Pertama
Al-'Ilmu (pengetahuan), yaitu mengimani dan meyakini bahwa Allah Mahatahu atas segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, secara umum maupun terinci, baik itu termasuk perbuatanNya sendiri atau perbuatan makhlukNya. Tak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagiNya.
Kedua
Al-Kitabah (penulisan), yaitu mengimani bahwa Allah telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam Lauh Mahfuzh yang ada disisiNya.
Kedua tingkatan ini sama-sama dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya:

Kamis, 25 Oktober 2012

Membentuk Khilafah Sesuai Dengan Tuntunan Islam

Oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

 “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa tetap kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
‘Allah telah berjanji ‘, maknanya adalah Allah U telah menjanjikan. Dan telah menjadi ketetapan Allah  bahwa Dia tidak akan mengingkari janji-Nya.
‘Kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shalih’, mereka adalah orang-orang yang tegak dengan keimanannya, yaitu keimanan yang harus dimiliki setiap muslim berupa tauhid dengan segala konsekuensinya dan juga beramal shalih. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa beramal dengan mengikuti petunjuk Rasulullah n.
‘Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi’, maknanya Allah  pasti memberikan khilafah kepada mereka dan dengan kekhilafahan itu mereka bisa berbuat seperti perbuatan para raja di muka bumi. (Lihat Tafsir Fathul Qadir, 4/47; Tafsir Al-Baidhawi, 4/197)
‘Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa’, yaitu sebagaimana telah diberikan khilafah kepada orang-orang sebelum mereka dari kalangan Bani Israil dan umat-umat sebelumnya yang lain. (Lihat Fathul Qadir, 4/47 oleh Al-Imam Asy-Syaukani

Kamis, 18 Oktober 2012

Ilmu Tenaga Dalam Menurut Perspektif Islam

 Oleh:Al Ustadz DR. Muhammad Nur Ihsan
 
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Alloh ‘Azza wa jalla yang telah menyempurnakan Islam dan meridhoi­nya sebagai agama yang benar. Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rosul yang diutus dengan membawa petunjuk (ilmu yang bermanfaat) dan agama yang haq (amal sholeh). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan risalah dengan sem­purna, menunaikan amanah dan berjihad di jalan Alloh Ta’ala sampai beliau wariskan kepada umatnya jalan yang lurus lagi terang bagaikan matahari di siang hari. Tidaklah keluar dari jalan tersebut kecuali orang yang sesat dan celaka. Amma ba’du.
Akhir-akhir ini tumbuh subur berbagai kelom­pok yang mengajarkan ilmu tenaga dalam. Ko­non sang guru memiliki teknik membangkitkan atau mengembangkan tenaga ghaib dalam tubuh manusia. Masyarakat berbeda dalam menilai dan menghukuminya sesuai dengan latar belakang pemahaman dan pendidikan mereka. Sebenarnya bagaimana pandangan Islam tentang keilmuan tersebut dan hukum mempelajarinya?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas terlebih dahulu diperjelas maksud ilmu tenaga dalam dan rahasia-rahasia yang terdapat di dalamnya.

Beberapa Etika bagi Orang Yang Ingin Berqurban (Ust.Dzulqarnain)

Ada beberapa etika yang penting diketahui oleh siapa saja yang ingin menyembelih ketika akan memasuki Dzulhijjah.
Dasar tuntunan dalam hal etika bagi orang yang ingin berqurban adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anhâ bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِيْ الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Apabila kalian telah melihat hilal Dzulhijjah, dan salah seorang di antara kalian berkehendak untuk menyembelih (qurban), hendaknya ia menahan rambut dan kuku‑kukunya.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan,
 إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Apabila sepuluh (hari awal Dzulhijjah) telah masuk, dan salah seorang di antara kalian berkehendak untuk menyembelih (qurban), janganlah ia menyentuh sesuatu pun berupa rambut dan kulitnya.” [1]
Hadits ini menunjukkan beberapa ketentuan hukum dan etika. Rinciannya adalah sebagai berikut.
Pertama, bila Dzulhijjah telah masuk dan seseorang berkeinginan untuk menyembelih hewan qurban, dia tidak diperbolehkan untuk memotong, mencukur, dan mengambil rambut, kuku, dan kulitnya hingga selesai menyembelih hewan qurbannya.

Keyakinan Ahlussunnah Wal Jama'ah Secara Global Tentang Taqdir


Oleh: Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd


بسم الله الرحمن الرحيم 

 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah ditanya tentang qadar, maka beliau menjawab dengan jawaban panjang lebar, yang berisi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara umum mengenai masalah ini. Di antara pernyataannya:

“Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenai masalah ini dan yang lainnya ialah (sesuai dengan) apa yang ditunjukkan oleh al-Qur-an dan as-Sunnah serta apa yang diikuti para as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Yaitu, bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Rabb, dan Yang menguasainya. Termasuk juga di dalamnya semua benda yang berdiri sendiri dan sifat-sifatnya yang menyatu dengannya, berupa perbuatan-perbuatan hamba dan selain perbuatan-perbuatan hamba.

Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Tidak ada sesuatu pun dalam wujud ini melainkan terjadi dengan masyii-ah (kehendak) dan ke-kuasaan-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang menghalangi kehendak-Nya dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, bahkan Dia mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang akan terjadi, dan apa yang tidak akan terjadi, yang seandainya terjadi, bagaimana terjadinya.

Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah (Ust.Dzulqarnain)


Dalam Al-Qur`an Al-Karim, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَالْفَجْرِ. وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” [Al-Fajr: 1-2]
Setelah menyebutkan sejumlah ucapan ulama tafsir tentang ayat di atas, seorang mufassir ternama, lbnu Jarir rahimahullâh, dalam Tafsir-nya, menyimpulkan bahwa“malam yang sepuluh” tersebut adalah malam sepuluh Dzulhijjah berdasarkan kesepakatan para ulama tafsir tentang hal tersebut.[1]
Ibnu Katsir rahimahullâh juga menguatkan hal tersebut sembari berkata, “Yang dimaksud dengan “malam yang sepuluh”adalah sepuluh Dzulhijjah sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbâs, Ibnu Az-­Zubair, Mujahid, dan ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan) selain mereka ….”
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman pula,
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ. لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan ….” [Al-Hajj: 27-28]
Menurut lbnu Katsir rahimahullâh, yang dimaksud dengan “hari-hari yang telah ditentukan” dalam ayat di atas adalah sepuluh hari Dzulhijjah. Beliau menukil hal tersebut dari Ibnu ‘Abbâs, Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhumâ, Mujâhid, Qatâdah, ‘Athâ`, Sa’îd bin Jubair, Al-Hasan, Adh-Dhahhâk, ‘Athâ` Al-Khurasâny, dan lbrahim An-Nakha’iy, serta merupakan pendapat Madzhab Asy-Syâfi’iy dan yang masyhur dari Ahmad –semoga Allah merahmati mereka seluruhnya-.

Disyariatkannya Berpuasa Pada Awal Bulan Dzulhijjah (Ust.Dzulqarnain)

Syariat berpuasa bisa dipahami dari hadits Ibnu ‘Abbâs yang telah lalu karena berpuasa juga termasuk “amal shalih” yang disyariatkan pada sepuluh awal Dzulhijjah dalam hadits tersebut.
Juga dari dasar tuntunan dalam hal ini adalah riwayat dari sebagian istri Nabiradhiyallâhu ‘anhâ, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ يَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَتِسْعًا مِنْ ذِى الْحِجَّةِ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ
“Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyurâ, pada sembilan hari Dzulhijjah, dan pada tiga hari dalam sebulan: senin awal dari bulan (berjalan) dan dua kamis.” [1]
Hadits di atas merupakan dalil tegas tentang syariat berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah: delapan hari pada awal bulan[2] dan hari kesembilan yang dikenal dengan hari ‘Arafah.
Hadits di atas tidaklah bertentangan dengan hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâbahwa beliau bertutur,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ صَائِمًا فِى الْعَشْرِ قَطُّ.
“Saya sama sekali tidak pernah melihat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh (hari awal Dzulhijjah).” [3]
Keterangan Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ di atas dijelaskan oleh para ulama bahwa Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ mungkin saja tidak pernah melihat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan puasa tersebut, tetapi bukan berarti Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan puasa itu karena beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam mungkin saja berada di rumah Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ pada satu hari di antara hari-hari awal Dzulhijjah dan berada di rumah istri-istri beliau yang lain pada hari-hari lain. Atau, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mungkin mengerjakan sebagian puasa tersebut pada suatu tahun, mengerjakan sebagian puasa tersebut pada tahun lain, dan mengerjakan seluruh puasa itu pada tahun yang lain lagi. Atau, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam meninggalkan pelaksanaan puasa tersebut pada sebagian tahun karena suatu penghalang berupa safar, sakit, atau selainnya. Demikian makna keterangan Imam An-Nawawy rahimahullâh.[4]

Syariat (dzikir-ed) tahlil, takbir dan tahmid (Ust.Dzulqarnain)


Dari Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâ, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمَ عِنْدَ اللَّهِ وَلاَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ
“Tiada suatu hari apapun yang amalan pada hari itu lebih agung di sisi Allah tidak (pula) lebih dicintai oleh Allah melebihi sepuluh hari (awal Dzulhijjah) ini. Oleh karena itu, perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” [1]
Hadits di atas menjelaskan bahwa salah satu amalan yang disyariatkan pada sepuluh hari awal Dzulhijjah adalah memperbanyak takbir, tahlil, dan tahmid. Inilah yang dipahami oleh Imam Al-Bukhâry bahwa, sebelum menyebutkan hadits Ibnu ‘Abbâs tentang keutamaan amalan pada sepuluh hari awal Dzulhijjah, beliau berkata,
“Dan Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ berkata bahwa (tentang ayat),
‘Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan ….’ [Al-Hajj: 28]
(Yaitu) hari-hari sepuluh (awal Dzulhijjah), dan (tentang ayat),
‘Beberapa hari yang berbilang ….’ [Al-Baqarah: 203]
(Yaitu) hari-hari Tasyriq. Adalah Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhumâ keluar ke pasar pada hari-hari sepuluh (awal Dzulhijjah). Mereka berdua bertakbir, dan manusia pun bertakbir dengan (lafazh) takbir mereka berdua. Sementara itu, Muhammad bin Ali[2] bertakbir selepas mengerjakan shalat sunnah.”
Mungkin bisa disimpulkan bahwa ada dua bentuk takbir pada sepuluh hari awal Dzulhijjah dan hari-hari Tasyriq:

Doa Pada Hari Arafah (Ust.Dzulqarnain)


Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Sebaik-baik doa adalah doa hari ‘Arafah, serta sebaik­-baik (ucapan) yang saya dan para nabi sebelumku ucapkan adalah, ‘Tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, tiada serikat bagi-Nya, untuk-Nyalah segala kekuasaan dan pujian, serta Dia Maha Mampu atas segala sesuatu.’.”
Hadits dengan konteks di atas diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dalam Jâmi’-nya 5/572 no. 3585 dan Al-Fâqihy dalam Akhbâr Makkah 5/24-25 dari jalan Muhammad bin Abi Humaid, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayah (‘Amr), dari kakek (‘Amr), Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallâhu ‘anhâ, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya 2/201, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Îmân 3/358, dan Al-Qazwainy dalam Ad-Tadwîn 2/168 dari jalan yang sama, tetapi dengan konteks,
كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمَلَكُ وَلَهُ الْحَمْدُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Kebanyakan doa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Arafah adalah, ‘Tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, tiada serikat bagi­-Nya, untuk-Nyalah segala kekuasaan dan pujian, di tangan-Nyalah segala kebaikan, serta Dia Maha Mampu atas segala sesuatu.’.”

Keutamaan Hari Nahr/Penyembelihan (Ust.Dzulqarnain)

Dari Abdullah bin Qurath radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْظَمُ الأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ
“Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari An-Nahr kemudian hari Al-Qarr.” [1]
An-Nahr berarti penyembelihan. 10 Dzulhijjah disebut dengan hari An-Nahr sebab hari tersebut adalah permulaan syariat penyembelihan hewan qurban.
Hari Al-Qarr artinya hari menetap karena, pada 11 Dzulhijjah, orang-orang yang mengerjakan ibadah haji bermalam dan menetap di Mina.
Selain itu, 12 Dzulhijjah disebut dengan nama hari An-Nafar Al-Awwal karena jamaah haji keluar dari Mina pada hari ini.
13 Dzulhijjah disebut dengan nama hari An-Nafar Ats-Tsâny karena ini adalah hari terakhir di Mina bagi jamaah haji yang menginginkan hal yang lebih afdhal.
Hadits di atas menunjukkan bahwa hari An-Nahr adalah hari yang paling agung di sisi Allah Subhânahû wa Ta’âlâ. Hari An-Nahr adalah hari haji Akbar yang ­disebutkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam [2] dan termasuk hari ‘Id umat Isla­m sebagaimana keterangan yang telah berlalu dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallâhu ‘anhu.

Syariat Berqurban (Ust.Dzulqarnain)


Berqurban adalah salah satu ibadah yang disyariatkan dalam Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam serta tergolong simbol Islam yang disepakati oleh para ulama akan anjurannya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu, dan berqurbanlah.” [Al-Kautsar: 2]
Tatkala menjelaskan makna ayat di atas, Ibnu Jarîr Ath-Thabary rahimahullâh berkata, “Jadikanlah, (wahai Muhammad), shalatmu seluruhnya ikhlas hanya untuk Rabb-mu tanpa (siapapun) yang bukan Dia, di antara sekutu-sekutu dan sembahan-sembahan. Demikian pula sembelihanmu, jadikanlah hanya untuk-Nya, tanpa berhala-berhala, sebagai kesyukuran kepada-Nya terhadap segala sesuatu yang Allah berikan kepadamu, berupa kemuliaan dan kebaikan yang tiada bandingannya, dan Dia mengkhususkan engkau dengannya, yaitu pemberian Al-Kautsar kepadamu.”[1]
Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata, “Ibnu ‘Abbâs, ‘Athâ`, Mujâhid, ‘Ikrimah, dan Al-Hasan berkata, ‘Yang diinginkan oleh hal tersebut adalah menyembelih unta dan (hewan lain) yang semisal dengannya.’ Demikian pula perkataan Qatâdah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurazhy, Adh-Dhahhâk, Ar-Rabî’, ‘Athâ` Al-Khurasâny, Al-Hakam, Ismail bin Abu Khâlid, dan ulama salaf yang lain. ….” Lalu, beliau membawakan beberapa pendapat lain dari penafsiran ayat, kemudian menyatakan, “Yang benar adalah pendapat pertama bahwa yang dimaksud dengan an-nahr ‘menyembelih’ adalah sembelihan manasik ….”

Beberapa Hikmah Dibalik Syariat Berqurban (Ust.Dzulqarnain)

Banyak hikmah di belakang syariat berqurban yang mengingatkan seorang hamba kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan hari akhirat.
Di antara hikmah tersebut adalah:
1. Menegakkan peribadahan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ menjelaskan ibadah qurban sebagai salah satu bentuk penegakan perintah dan penyerahan diri kepada-Nya sebagaimana dalam firman-Nya,
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan saya adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’.” [Al-An’âm: 162-163]
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ juga menjelaskan bahwa berqurban adalah ibadah yang agung bila disertai dengan takwa dan keikhlasan sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging dan darah (unta) itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya.” [Al-Hajj: 37]
2. Sebagai lambang kesyukuran seorang hamba terhadap nikmat Allah Subhânahû wa Ta’âlâ.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan sesuatu yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kalian, mudah-mudahan kalian bersyukur.” [Al-Hajj: 36]

Rabu, 17 Oktober 2012

Bai'at Antara Perspektif Ahlussunnah dan Perspektif Ahlul Bid'ah


Oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc. & Al-Ustadz Qomar Su’aidi Lc.

Ketika mendengar kata bai’at, sebagian kita barangkali akan terbayang pada sebuah sikap ketundukan dan kesetiaan dari seorang pengikut jamaah (baca: Islam sempalan) kepada pimpinannya. Realita yang ada memang menunjukkan mayoritas jamaah yang ada menerapkan aturan ba
i’at ini kepada anggota kelompoknya. Tentu dengan pemahaman keliru dari masing-masing kelompok tersebut. Dari pemahaman keliru itu kemudian lahir perilaku menyimpang yang menjurus kepada perbuatan ekstrim, seperti rela menyerahkan sebagian besar hartanya untuk kelompoknya atau menganggap kafir orang-orang yang tidak berbai’at kepada pimpinan kelompoknya. Tulisan berikut mencoba mendudukkan permasalahan bai’at dalam perspektif Ahlus Sunnah, supaya kita mendapatkan pemahaman yang benar tentang bai’at dan menerapkannya secara benar pula.

Masalah bai’at merupakan salah satu topik menarik untuk dikaji saat ini. Pasalnya, masalah yang satu ini cukup ramai dibicarakan di dunia dakwah. Simpang siur pendapat dalam masalah ini pun cukup membuat bingung kaum muslimin bahkan para aktivis dakwah itu sendiri. Sementara realita yang berkembang menunjukkan tidak sedikit dari mereka yang memahami hadits-hadits tentang bai’at dengan akal pikiran mereka semata, tanpa merujuk kepada penjelasan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Kondisi pun semakin runyam ketika kepentingan pribadi, kepentingan kelompok ataupun ideologi kelompok ikut berkompeten, sehingga tak ayal bila bai’at akhirnya menjadi senjata pamungkas untuk menjaring para pengikut jamaah dakwah agar tidak lepas darinya. Kalaulah akhirnya lepas juga, maka vonis khianat, murtad dari jamaah, kafir, bahkan target operasi pembunuhan pun terkadang dijatuhkan, sebagaimana yang kerap dilakukan oleh ahlul bid’ah wal furqah. Wallahul musta’an.

Hukum Bai'at

Oleh: Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan :

Syaikh Salih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Fadhilatusy Syaikh ! Termasuk perkara yang dianggap remeh manusia sekarang ini adalah masalah ba'iat. Ada beberapa orang yang berpendapat boleh memberikan bai'at kepada salah satu kelompok Islam yang ada sekarang ini, kendati di sana ada bai'at-bai'at lain bagi kelompok lai
n pula. Kadangkala pemimpin yang dibai'at ini tidak dikenal dengan alasan masih 'dirahasiakan'. Bagaimanakah hukumnya bai'at seperti itu ? Apakah hukumnya berbeda di dalam negeri-negeri kafir atau negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah ?


Jawaban:

Bai'at hanya boleh diberikan kepada penguasa kaum muslimin. Bai'at-bai'at yang berbilang-bilang dan bid'ah itu merupakan akibat perpecahan. Setiap kaum muslimin yang berada dalam satu pemerintahan dan satu kekuasaan wajib memberikan satu bai'at kepada satu orang pemimpin. Tidaklah dibenarkan memunculkan bai'at-bai'at yang lain. Bai'at-bai'at tersebut merupakan hasil perpecahan kaum muslimin pada zaman ini dan akibat kejahilan tentang agama. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang itu, beliau bersabda.

Selasa, 16 Oktober 2012

Waspadalah Terhadap Fitnah Wanita


Kecintaan suami terhadap isterinya dan kecintaan isteri terhadap suaminya tidak boleh menjadikan keduanya mengharamkan apa yang telah Allah halalkan dan menghalalkan apa yang telah Allah haramkan, atau melakukan dosa-dosa dan maksiat karena ingin mendapat keridhaan masing-masing dari keduanya atas yang lain.

Allah Ta’ala pernah menegur Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Dia berfirman.

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ ۚ وَاللَّهُ مَوْلَاكُمْ ۖ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

"Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu? Engkau ingin menyenangkan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Sungguh, Allah telah mewajibkan kepadamu membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui, Mahabijak-sana.” [At-Tahrim : 1-2]

Di dalam ash-Shahiihain dari hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah minum madu di tempat Zainab binti Jahsyi dan tinggal bersamanya. Aku dan Hafshah bersepakat untuk mengatakan kepada beliau apabila beliau menemui salah seorang dari kami, ‘Apakah engkau telah memakan maghafir? Sungguh aku mendapati darimu aroma maghafir.’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak, tetapi tadi aku minum madu di rumah Zainab binti Jahsyi dan aku tidak akan mengulanginya dan aku bersumpah. Jangan engkau beberkan hal ini kepada seorang pun.’ Maka turunlah ayat ini [At-Tahrim: 1-2]” [1]

Hukum Thalaq/Talak


Semua yang terjadi dalam perjalanan hidup seorang manusia merupakan kehendak Rabbnya Yang Maha Agung. Seorang manusia tidak akan selamanya merasa bahagia dan juga tidak akan selamanya menanggung nestapa. Dari semua perputaran kejadian yang kita temui pada setiap episode kehidupan membawa pelajaran dan hikmahnya masing-masing agar kita semakin mengerti hakikat penciptaan kita selaku hamba di muka bumi ini.

Allah ta’ala telah menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan, ada laki-laki dan ada perempuan, ada suka dan ada duka, ada pertemuan dan ada perpisahan. Sudah lumrah bagi setiap hal yang memiliki awal pasti juga memiliki akhir, tidak terkecuali dalam ikatan pernikahan. Ada waktunya untuk kita bertemu dengan seseorang yang kita cintai dan ada pula waktunya ketika kita harus berpisah dengan seseorang yang disayangi. Perpisahan yang terjadi bukanlah akhir dari sebuah perjalanan hidup, melainkan sebuah pembelajaran untuk pendewasaan diri.

Kali ini, kita akan berbicara tentang perpisahan antara dua insan yang mencinta, antara sepasang suami istri. Berpisahnya sepasang suami dan istri disebabkan oleh dua hal umum yaitu, kematian dan perceraian.

Ikatan pernikahan yang dipisahkan karena kematian, adalah suatu hal lumrah yang dapat kita fahami bersama. Namun, perpisahan antara suami dengan istri dapat juga disebabkan oleh perceraian. Bagaimanakah Islam mengatur masalah perceraian ini? Kemudian, apa yang sajakah yang harus dilakukan oleh seorang wanita ketika perpisahan itu terjadi?

Apakah Iman Kepada Taqdir Menafikan Kehendak Hamba Dalam Berbagai Perbuatan Yang Dapat Dipilihnya?

Oleh: Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd

Iman kepada qadar -sebagaimana yang telah disinggung- tidak menafikan keadaan hamba dalam memiliki kehendak pada perbuatan-perbuatan yang dipilihnya dan mempunyai kuasa terhadapnya. Hal itu ditunjukkan oleh syari'at dan fakta.
Dalam syar'at, dalil-dalil mengenai hal itu sangat banyak sekali, di antaranya firman Allah Ta'ala.
".. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Rabb-nya." [An-Naba': 39]
Juga firman-Nya yang lain.
".. Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.." [Al-Baqarah: 223]
Juga firman-Nya.
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..."[Al-Baqarah: 286]
Dan firman-Nya.
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu..." [Ali 'Imran: 133]
Serta firman-Nya.
"..Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir...". [Al-Kahfi: 29]

Kapan Dibolehkan Berdalih Dengan Taqdir?

 Oleh: Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd

Diizinkan berdalih dengan qadar pada saat musibah menimpa manusia, seperti kefakiran, sakit, kematian kerabat, matinya tanaman, kerugian harta, pembunuhan yang tidak disengaja, dan sejenisnya, karena hal ini merupakan kesempurnaan ridha kepada Allah sebagai Rabb. Maka berdalih dengan takdir hanyalah terhadap musibah, bukan pada perbuatan aib. 

“Orang yang berbahagia, ia akan beristighfar dari perbuatan aib dan bersabar terhadap musibah, sebagaimana firman-Nya:
‘Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu… .’ [Al-Mu'-min: 55]
Sedangkan orang yang celaka, ia akan bersedih ketika menghadapi musibah, dan berdalih dengan qadar atas perbuatan aib (yang dilakukannya).” [1]
Contoh berikut ini akan menjelaskan hal itu: Seandainya seseorang membunuh orang lain tanpa disengaja, kemudian orang lain mencelanya dan ia berargumen dengan takdir, maka argumennya tersebut diterima, tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk diberi sanksi.

Apakah Melakukan (Menempuh-ed) Sebab-Sebab Dapat Manafikan Keimanan Kepada Qadha' Dan Qadar?

 Oleh: Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd

Melakukan sebab-sebab itu tidak menafikan iman kepada qadar, bahkan melakukannya merupakan kesempurnaan iman kepada qadha' dan qadar.

“Karena itu, hamba berkewajiban -disamping beriman kepada qadar- untuk bersungguh-sungguh dalam pekerjaan, menempuh faktor-faktor kesuksesan, dan bersandar kepada Allah Subhanahuwa Ta’ala agar memudahkan baginya sebab-sebab kebahagiaan, serta menolongnya atas hal itu.” [1]
Nash-nash al-Qur-an dan as-Sunnah berisikan perintah untuk melakukan upaya-upaya yang disyari’atkan dalam berbagai urusan kehidupan: memerintahkan bekerja, berusaha mencari rizki, me-nyiapkan peralatan untuk menghadapi musuh, berbekal untuk perjalanan, dan lain sebagainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi…" [Al-Jumu’ah: 10]
Juga firman Allah yang lain:
"…Maka berjalanlah di segala penjurunya…" [Al-Mulk: 15]
Juga firman-Nya:
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, dan musuhmu…" [Al-Anfaal: 60]

(Bolehkah) Beralasan Dengan Takdir Atas Perbuatan Maksiat Atau Dari Meninggalkan Kewajiban

 Oleh: Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd

Keimanan kepada qadar tidaklah memperkenankan pelaku kemaksiatan untuk beralasan dengannya atas kewajiban yang ditinggalkannya atau kemaksiatan yang dikerjakannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, "Tidak boleh seseorang berdalih dengan takdir atas dosa (yang dilakukannya) berdasarkan kesepakatan (ulama) kaum muslimin, seluruh pemeluk agama, dan semua orang yang berakal. Seandainya hal ini diterima (dibolehkan), niscaya hal ini dapat memberikan peluang kepada setiap orang untuk melakukan perbuatan yang merugikannya, seperti membunuh jiwa, merampas harta, dan seluruh jenis kerusakan di muka bumi, kemudian ia pun beralasan dengan takdir. Ketika orang yang beralasan dengan takdir dizhalimi dan orang yang menzhaliminya beralasan yang sama dengan takdir, maka hal ini tidak bisa diterima, bahkan kontradiksi. Pernyataan yang kontradiksi menunjukkan kerusakan pernyataan tersebut. Jadi, beralasan dengan qadar itu sudah dimaklumi kerusakannya di permulaan akal".[1]
Karena perkara ini menimbulkan banyak bencana, maka inilah pemaparan mengenai sebagian dalil-dalil syar'i, 'aqli (akal), dan kenyataan, yang menjelaskan kebathilan dengan beralasan kepada qadar (takdir) atas perbuatan maksiat, atau dari meninggalkan ketaatan. [2]

Kewajiban Hamba Berkenaan Dengan Masalah Taqdir

Oleh: Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd

Kewajiban seorang hamba dalam masalah ini ialah mengimani qadha' Allah dan qadar-Nya, serta mengimani syari'at, perintah dan larangan-Nya. Ia berkewajiban untuk membenarkan khabar (berita) dan mentaati perintah. [1]

Jika ia berbuat kebajikan, hendaklah ia memuji Allah dan jika ia berbuat keburukan, hendaklah ia memohon ampun kepada-Nya. Ia pun mengetahui bahwa semua itu terjadi dengan qadha' Allah dan qadar-Nya. Sesungguhnya, ketika Nabi Adam Alaihissalam melakukan dosa, maka dia bertaubat, lalu Rabb-nya memilihnya dan memberi petunjuk kepadanya. Sedangkan iblis, ia tetap meneruskan dosa dan menghujat, maka Allah melaknat dan mengusirnya. Barang-siapa yang bertaubat, maka ia sesuai dengan sifat Nabi Adam Alaihissalam, dan barangsiapa yang meneruskan dosanya serta berdalihkan dengan takdir, maka ia sesuai dengan sifat iblis. Maka orang-orang yang berbahagia akan mengikuti bapak mereka, dan orang-orang yang celaka akan mengikuti musuh mereka, iblis. [2]
"Dengan pemahaman terhadap qadar Allah dan pelaksanaan terhadap syari'at-Nya secara benar, maka manusia akan menjadi seorang hamba -yang hakiki-, sehingga dia akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, ash-shiddiqin, asy-syuhada' dan ash-shalihin. Cukuplah dengan persahabatan ini suatu keberuntungan dan kebahagiaan." [3]

Macam-macam Taqdir

Oleh: Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd

Macam-macam Taqdir Antara Lain:
1. At-Taqdiirul 'Aam (Takdir yang bersifat umum). 2. At-Taqdiirul Basyari (Takdir yang berlaku untuk manusia). 3. At-Taqdiirul 'Umri (Takdir yang berlaku bagi usia). 4. At-Taqdiirus Sanawi (Takdir yang berlaku tahunan). 5. At-Taqdiirul Yaumi (Takdir yang berlaku harian). 

Rincian:
 
1. At-Taqdiirul 'Aam (Takdir yang bersifat umum). Ialah takdir Rabb untuk seluruh alam, dalam arti Dia mengetahuinya (dengan ilmu-Nya), mencatatnya, menghendaki, dan juga menciptakannya.
Jenis ini ditunjukkan oleh berbagai dalil, di antaranya firman Allah Ta'ala:
"Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah". [Al-Hajj: 70]
Dalam Shahiih Muslim dari 'Abdullah bin 'Amr Radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Allah menentukan berbagai ketentuan para makhluk, 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. "Beliau bersabda, "Dan adalah 'Arsy-Nya di atas air."[2]
2. At-Taqdiirul Basyari [3] (Takdir yang berlaku untuk manusia). Ialah takdir yang di dalamnya Allah mengambil janji atas semua manusia bahwa Dia adalah Rabb mereka, dan menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka akan hal itu, serta Allah menentukan di dalamnya orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang celaka. Dia berfirman: 

Minggu, 14 Oktober 2012

Kedudukan Wanita Dalam Islam


Penulis membahas masalah ini, karena orang-orang yang tidak senang kepada Islam dan orang-orang bodoh menganggap bahwa Islam merendahkan martabat wanita. Hal ini berkaitan dengan dianjurkannya wanita berada di rumah, wajibnya mereka memakai jilbab, wajibnya mereka melayani suami, diterimanya persaksian dua orang wanita sedangkan laki-laki cukup seorang saja, hak waris wanita separuh dari hak laki-laki, atau ketidak-senangan mereka hanya disebabkan Islam membolehkan seorang laki-laki ta’addud (poligami/ beristeri lebih dari satu). Padahal dengan dibolehkannya poligami jutru mengangkat martabat wanita.

Bagaimana pun, seorang wanita yang bersuami lebih baik daripada wanita yang hidup sebagai perawan tua, hidup menjanda, atau bahkan bergelimang dengan dosa lagi menghinakan diri dengan hidup melacur. Bahkan, ada wanita yang jahat dan zhalim mengatakan kepada suaminya, “Lebih baik engkau berzina/melacur daripada aku dimadu.” Na’udzu billaahi min dzalik.
Dalam Islam, seorang laki-laki jutru lebih baik dan mulia jika ia menikah lagi (berpoligami) daripada ia berzina/melacur. Karena zina adalah perbuatan keji dan sejelek-jelek jalan. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” [Al-Israa' : 32]
Sedangkan keberadaan pelacuran dan wanita tuna susila (pelacur) justru merendahkan dan melecehkan martabat wanita, juga sebagai bentuk penghinaan kepada wanita serta menjerumuskan mereka ke Neraka.

Menggapai Ridha Allah Dengan Berbakti Kepada Orang Tua


Seorang anak, meskipun telah berkeluarga, tetap wajib berbakti kepada kedua orang tuanya. Kewajiban ini tidaklah gugur bila seseorang telah berkeluarga. Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yang sudah berkeluarga lalu mereka meninggalkan kewajiban ini. Mengingat pentingnya masalah berbakti kepada kedua orang tua, maka masalah ini perlu dikaji secara khusus.

Jalan yang haq dalam menggapai ridha Allah ‘Azza wa Jalla melalui orang tua adalah birrul walidain. Birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua) merupakan salah satu masalah penting dalam Islam. Di dalam Al-Qur’an, setelah memerintahkan manusia untuk bertauhid, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk berbakti kepada orang tuanya.
Seperti tersurat dalam surat al-Israa' ayat 23-24, Allah Ta’ala berfirman:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا 
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’” [Al-Israa' : 23-24]

Kewajiban Mendidik Anak

Setiap rumah tangga haruslah memiliki keinginan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Sehingga setiap anggota keluarga harus memiliki peran dan menjalankan amanah tersebut. Sang suami sebagai kepala rumah tangga haruslah memberikan teladan yang baik dalam mengemban tanggung jawabnya karena Allah ‘Azza wa Jalla akan mempertanyakannya di hari Akhir kelak.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَاْلأَمِيْرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.
“Kamu sekalian adalah pemimpin, dan kamu sekalian bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya. Seorang Amir (raja) adalah pemimpin, seorang suami pun pemimpin atas keluarganya, dan isteri juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya. Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan diminta pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya.” [1]
Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ أَحَفِظَ ذَلِكَ أَمْ ضَيَّعَ؟ حَتَّى يَسْأَلَ الرَّجُلَ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ.
“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang apa yang dipimpinnya. Apakah ia pelihara ataukah ia sia-siakan, hingga seseorang ditanya tentang keluarganya.” [2]

Ketika Si Buah Hati Hadir


Pembahasan singkat berikut ini adalah beberapa amalan yang disunnahkan untuk dilakukan setelah anak lahir, namun banyak tidak diamalkan oleh kaum muslimin.

1. Bersyukur kepada Allah. Apabila sepasang suami isteri telah dikaruniai anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka hendaklah keduanya bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya.
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” [Al-Baqarah : 152]
Tidak boleh merasa kecewa atas apa pun keadaan si buah hati, namun hendaklah bersyukur dan bersabar. 
2. Mentahnik. Ketika si buah hati telah dilahirkan, maka seorang ayah hendaknya mentahnik langit-langit mulut si bayi dengan buah kurma yang telah dilumatkan.
3. Mendo’akan. Kemudian do’akanlah buah hati Anda dengan kebaikan dan keberkahan. Misalnya dengan do’a.
بَارَكَ اللهُ فِيْه.ِ
“Semoga Allah memberikan berkah atasnya.”

Nasihat Untuk Suami Isteri

1. Bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam keadaan bersama maupun sendiri.
 Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.

“Bertaqwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, dan iringilah perbuatan buruk dengan amal kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskannya, dan bergaullah bersama manusia dengan akhlak yang baik.”[1]

Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah di mana saja; apakah di rumah, di jalan, di pasar, atau di kantor. Di mana saja seorang hamba berada, ia harus bertaqwa dengan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya, serta menjauhkan larangan-larangannya. Dan seorang hamba harus senantiasa merasa diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla, baik dalam keadaan sendiri maupun dalam keadaan bersama orang lain.

2. Wajib menegakkan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan menjaga batas-batas Allah ‘Azza wa Jalla di dalam keluarga. 
Setiap muslim harus berusaha menegakkan syari’at Islam dalam rumah tangganya, karena setiap kepala rumah tangga wajib menjaga diri dan keluarganya dari api Neraka, menjaga batas-batas Allah, dan menjauhkan perbuatan syirik dan bid’ah.

Hak Suami Yang Menjadi Kewajiban Istri (3)

Isteri Harus Berhias Dan Mempercantik Diri Untuk Suami, Selalu Tersenyum Dan Tidak Bermuka Masam Di Hadapan Suaminya, Juga Jangan Sampai Ia Memperlihatkan Keadaan Yang Tidak Disukai oleh Suaminya. 

Seorang isteri tidak boleh meremehkan kebersihan dirinya, sebab kebersihan merupakan bagian dari iman. Dia harus selalu mengikuti sunnah, seperti membersihkan dirinya, mandi, memakai minyak wangi dan merawat dirinya agar ia selalu berpenampilan bersih dan harum di hadapan suaminya, hal ini menyebabkan terus berseminya cinta kasih di antara keduanya dan kehidupan ini akan terasa nikmat.

Berhias untuk suami adalah dianjurkan selagi dalam batas-batas yang tidak dilarang oleh syari’at, seperti mencukur alis, menyambung rambut, mentato tubuhnya dan lainnya.
Seorang isteri ideal selalu nampak ceria, lemah lembut dan menyenangkan suami. Jika suami pulang ke rumah setelah seharian bekerja, maka ia mendapatkan sesuatu yang dapat menenangkan dan menghibur hatinya. Jika suami mendapati isteri yang bersolek dan ceria menyambut kedatangannya, maka ia telah mendapatkan ketenangan yang hakiki dari isterinya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” [Ar-Ruum : 21]

Hak Suami Yang Menjadi Kewajiban Istri (2)

Isteri Diperintahkan Untuk Tinggal Di Rumah Dan Mengurus Rumah Tangga Dengan Baik.

 Perbuatan ihsan (baik) seorang suami harus dibalas pula dengan perbuatan yang serupa atau yang lebih baik. Isteri harus berkhidmat kepada suaminya dan menunaikan amanah mengurus anak-anaknya menurut syari’at Islam yang mulia. Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan kepada dirinya untuk mengurus suaminya, mengurus rumah tangganya, mengurus anak-anaknya. Menurut ajaran Islam yang mulia, isteri tidak dituntut atau tidak berkewajiban ikut keluar rumah mencari nafkah, akan tetapi ia justru diperintahkan tinggal di rumah guna menunaikan kewajiban-kewajiban yang telah dibebankan kepadanya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” [Al-Ahzaab : 33]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ.
“Wanita adalah aurat. Apabila ia keluar, syaitan akan menghiasinya dari pandangan laki-laki.” [1]

Kamis, 11 Oktober 2012

Hak Suami Yang Menjadi Kewajiban Istri (1)


Ketahuilah bahwa seorang suami adalah pemimpin di dalam rumah tangga, bagi isteri, juga bagi anak-anaknya, karena Allah telah menjadikannya sebagai pemimpin. Allah memberi keutamaan bagi laki-laki yang lebih besar daripada wanita, karena dialah yang berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Dan Allah Ta’ala berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya.” [An-Nisaa' : 34]

Oleh karena itu, suami mempunyai hak atas isterinya yang harus senantiasa dipelihara, ditaati dan ditunaikan oleh isteri dengan baik yang dengan itu ia akan masuk Surga.

Masing-masing dari suami maupun isteri memiliki hak dan kewajiban, namun suami mempunyai kelebihan atas isterinya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan mereka (para wanita) memiliki hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang pantas. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [Al-Baqarah : 228]

Rabu, 10 Oktober 2012

Hak Istri Yang Menjadi Kewajiban Suami (4)

Mengajarkan Ilmu Agama.

Di antara hak seorang isteri yang harus dipenuhi suaminya adalah memberikan pendidikan dan pengajaran dalam perkara agama. Dengan memahami dan mengamalkan agamanya, seseorang akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [At-Tahrim : 6]

Menjaga keluarga dari api Neraka mengandung maksud menasihati mereka agar taat, bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan mentauhidkan-Nya serta menjauhkan syirik, mengajarkan kepada mereka tentang syari’at Islam, dan tentang adab-adabnya. Para Shahabat dan mufassirin menjelaskan tentang tafsir ayat tersebut sebagai berikut:

Hak Istri Yang Menjadi Kewajiban Suami (3)


Jangan Memukul Wajahnya.

Di antara hak yang harus dipenuhi seorang suami kepada isterinya ialah tidak memukul wajah isterinya, meski terjadi perselisihan yang sangat dahsyat, misalnya karena si isteri telah berbuat durhaka kepada suaminya. Memukul wajah sang isteri adalah haram hukumnya. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

"Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suami-nya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz[1] , hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” [An-Nisaa' : 34]

Dalam ayat ini, Allah membolehkan seorang suami memukul isterinya. Akan tetapi ada hal yang perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh tentang bolehnya memukul adalah harus terpenuhinya kaidah-kaidah sebagai berikut, yaitu:

Hak Istri Yang Menjadi Kewajiban Suami (2)


Engkau Memberinya Pakaian Apabila Engkau Berpakaian.

Seorang suami haruslah memberikan pakaian kepada isterinya sebagaimana ia berpakaian. Apabila ia menutup aurat, maka isterinya pun harus menutup aurat. Hal ini menunjukkan kewajiban setiap suami maupun isteri untuk menutup aurat. Bagi laki-laki batas auratnya adalah dari pusar hingga ke lutut (termasuk paha). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
اَلْفَخِذُ عَوْرَةٌ.
"Paha itu aurat.” [1]
Sedangkan bagi wanita adalah seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangannya. Termasuk aurat bagi wanita adalah rambut dan betisnya. Jika auratnya sampai terlihat oleh selain mahramnya, maka ia telah berbuat dosa, termasuk dosa bagi suaminya karena telah melalaikan kewajiban ini. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَ هُمَا: قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ، رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لاَيَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا.
“Ada dua golongan penghuni Neraka, yang belum pernah aku lihat keduanya, yaitu suatu kaum yang memegang cemeti seperti ekor sapi untuk mencambuk manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, ia berjalan berlenggak-lenggok dan kepalanya dicondongkan seperti punuk unta yang condong. Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak akan mencium aroma Surga, padahal sesungguhnya aroma Surga itu tercium sejauh perjalanan begini dan begini.” [2]

Hak Istri Yang Menjadi Kewajiban Suami (1)

Engkau Memberinya Makan Apabila Engkau Makan. 

Ketika jenjang pernikahan sudah dilewati, maka suami dan isteri haruslah saling memahami kewajiban-kewajiban dan hak-haknya agar tercapai keseimbangan dan keserasian dalam membina rumah tangga yang harmonis.

Di antara kewajiban-kewajiban dan hak-hak tersebut adalah seperti yang tersurat dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dari Shahabat Mu’awiyah bin Haidah bin Mu’awiyah al-Qusyairi radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya dia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, apa hak seorang isteri yang harus dipenuhi oleh suaminya?” Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
1. Engkau memberinya makan apabila engkau makan, 2. Engkau memberinya pakaian apabila engkau ber-pakaian, 3. Janganlah engkau memukul wajahnya, 4. Janganlah engkau menjelek-jelekkannya, dan 5. Janganlah engkau meninggalkannya melainkan di dalam rumah (yakni jangan berpisah tempat tidur melainkan di dalam rumah).” [1]

Engkau Memberinya Makan Apabila Engkau Makan.

Memberi makan merupakan istilah lain dari memberi nafkah. Memberi nafkah ini telah diwajibkan ketika sang suami akan melaksanakan ‘aqad nikah, yaitu dalam bentuk mahar, seperti yang tersurat dalam Al-Qur’an, surat al-Baqarah ayat 233.

Manfaat Menikah



Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menganjurkan kaum muda untuk menyegerakan menikah sehingga mereka tidak berkubang dalam kemaksiatan, menuruti hawa nafsu dan syahwatnya. Karena, banyak sekali keburukan akibat menunda pernikahan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah! Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa) karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” [1]
Anjuran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk segera menikah mengandung berbagai manfaat, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, di antaranya:
1. Melaksanakan perintah Allah Ta’ala.
2. Melaksanakan dan menghidupkan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
3. Dapat menundukkan pandangan.
4. Menjaga kehormatan laki-laki dan perempuan.
5. Terpelihara kemaluan dari beragam maksiat.

Rumah Tangga Yang Ideal


Menurut ajaran Islam, rumah tangga yang ideal adalah rumah tangga yang diliputi sakinah (ketentraman jiwa), mawaddah (rasa cinta) dan rahmah (kasih sayang). Allah Ta’ala berfirman.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” [Ar-Ruum : 21]

Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami atau isteri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajiban serta memahami tugas dan fungsinya masing-masing, serta melaksanakan tugasnya itu dengan penuh tanggung jawab, ikhlas serta mengharapkan ganjaran dan ridha dari Allah Ta’ala.

Sehingga, upaya untuk mewujudkan pernikahan dan rumah tangga yang mendapat keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla dapat menjadi kenyataan. Akan tetapi, mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tenteram dan bahagia mendadak dilanda “kemelut” perselisihan dan percekcokan.

Senin, 08 Oktober 2012

Tiga Faedah Besar Dari Muqadimah Shahih Muslim Terkait Dengan Ilmu Hadits



Diantara perkara yang penting didalam agama Islam dan tidak ada didalam agama lain adalah terdapatnya sanad didalam hadits Nabi shalallahu alahi wa sallam, tafsir, sejarah Islam dan yang selainnya, untuk membedakan antara kabar yang benar dengan kabar yang dusta.

Awal sekali yang memberikan perhatian kepada sanad hadits dalam makna musthahalah nya adalah Imam Muhammad bin Sirrin rahimahullah. ( wafat tahun 110 H ), telah berkata Imam Muslim didalam muqadimmah kitab shahihnya menukil ucapan Ibnu Sirrin :
لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنْ الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتْ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
" Kami tidak bertanya masalah sanad, akan tetapi ketika telah terjadi fitnah maka kami berkata : " Tunjukkan kepada kami rijal ( pembawa sanad - pent ) kalian." Maka dilihat apabila rijal tersebut dari ahlussunnah maka diambil haditsnya, apabila rijal tersebut dari ahlul bid'ah maka tidak diambil haditsnya."


Imam Ibnu Sirrin juga berkata :
 إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
" Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka hendaknya kalian memperhatikan dari mana kalian mengambil ilmu agama kalian."

Al Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
وابن سيرين - رضي الله عنه - هو أول من انتقد الرجال وميز الثقات من غيرهم، وقد روى عنه من غير وجه أنه قال:" إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم " وفي رواية عنه أنه قال:" إن هذا الحديث دين فلينظر الرجل عمن يأخذ دينه ".
" Dan Ibnu Sirrin radhiallahu anhu : adalah yang pertama mengkritik rijal dan membedakan antara yang tsiqah dengan yang selainnya, dan diriwayatkan darinya beliau berkata : " Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka hendaknya kalian memperhatikan dari mana kalian mengambil ilmu agama kalian." dan dalam riwayat yang lain beliau berkata : " Sesungguhnya hadits ini adalah agama, maka hendaklah kalian memperhatikan rijal yang mana kalian ambil ilmu agama ini darinya."

Kisah Nabi Nuh


Rasul Pertama; Pelajaran Tauhid dan Kesabaran Seorang Rasul


Beliau 'Alaihissalam bernama Nuh bin Lamak bin Mattusylikh bin Khanuk -beliau adalah Nabi Idris 'Alaihissalam- bin Yard bin Mahla'il bin Qainan bin Anusy bin Syits bin Adam Abul Basyar 'Alaihissalam. Beliau lahir 126 tahun setelah wafatnya Nabi Adam sebagaimana yang disebutkan Ibnu Jarir Ath-Thabari dan selainnya. Sementara menurut sejarah ahli kitab, jarak antara kelahiran Nuh dan kematian Adam adalah 146 tahun yaitu antara keduanya dipisahkan 10 abad. Hal ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Al-Hafizh Ibnu Hibban, dari sahabat Abu Umamah, ia berkata bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, "Wahai Rasul, apakah Adam itu termasuk seorang Nabi?" Beliau bersabda, "Benar." Laki-laki itu bertanya lagi, "Berapa jarak antara Adam dengan Nuh?" Rasulullah bersabda, "10 abad." Ibnu Hibban berkata bahwa riwayat ini sesuai syarat Imam Muslim namun ia tidak meriwayatkannya. [HR Ibnu Hibban no. 6190; Ath-Thabrani (Mu'jam Al-Kabir no. 5745); Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Ash-Shahihah no. 2668].

Disamping itu dalam Shahih Bukhari diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Antara Adam dan Nuh terdapat jarak 10 abad, semuanya (beragama) Islam." [Asy-Syaikh Abdullah At-Turki, pentahqiq kitab berkata bahwa ia tidak mengetahui riwayat ini dalam Shahih Bukhari, tetapi diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Tafsir (29/99) dari jalan Ikrimah]. Jika yang dimaksud abad disini adalah seratus tahun, maka jarak antara keduanya adalah seribu tahun tetapi tidak dapat dinafikan pula bahwa jaraknya lebih dari itu berlandaskan apa yang dikatakan Ibnu Abbas dengan menyertakan kata Islam dalam riwayat tersebut, yaitu bisa jadi ada jarak beberapa abad bahwa mereka tidak dalam keadaan Islam tetapi hadits Abu Umamah menandakan bahwa hanya terbatas pada 10 abad. Selain itu Ibnu Abbas menambahkan bahwa semuanya sudah memeluk Islam. Maka ini membantah perkataan ahli sejarah dan ahli kitab bahwa Qabil dan lainnya menyembah api. Dengan demikian, generasi sebelum Nuh berumur panjang. Allahu a'lam.

Pelanggaran-Pelanggaran Seputar Pernikahan



1. Pacaran
Sebelum melangsungkan pernikahan, sebagian besar orang biasanya ‘berpacaran’ terlebih dahulu. Hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu atau masa penjajagan atau dianggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.
Dengan adanya anggapan seperti ini, maka akan melahirkan konsensus di masyarakat bahwa masa pacaran adalah hal yang lumrah dan wajar, bahkan merupakan kebutuhan bagi orang-orang yang hendak memasuki jenjang pernikahan. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berdua-duaan antara dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh. Perbuatan ini sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari’at Islam.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ.
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita, kecuali si wanita itu bersama mahramnya.” [1]
Jadi, dalam Islam tidak ada kegiatan untuk berpacaran, dan berpacaran hukumnya haram.
Contoh lain yang juga merupakan pelanggaran, yaitu sangkaan sebagian orang bahwa kalau sudah tunangan (khitbah), maka laki-laki dan perempuan tersebut boleh jalan berdua-duaan, bergandengan tangan, bahkan ada yang sampai bercumbu layaknya pasangan suami-isteri yang sah. Anggapan ini adalah salah! Dan perbuatan ini adalah dosa dan akan membawa kepada perzinaan yang merupakan perbuatan dosa besar!

Malam Pertama Dan Adab Bersenggama


Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:
Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا (وَلْيُسَمِّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ) وَلْيَدْعُ لَهُ بِالْبَرَكَةِ، وَلْيَقُلْ: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ.
“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1]
Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat dan Tabi’in).
1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.
Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua...!’”[2]

Walimatul 'Urs

Walimatul 'urus (pesta pernikahan) hukumnya wajib [1] dan diusahakan sesederhana mungkin.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ.
”Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing” [2]
• Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan orang-orang yang mengadakan walimah agar tidak hanya mengundang orang-orang kaya saja, tetapi hendaknya diundang pula orang-orang miskin. Karena makanan yang dihidangkan untuk orang-orang kaya saja adalah sejelek-jelek hidangan.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ ويُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ، فَمَنْ لَمْ يَأْتِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ
“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” [3]
• Sebagai catatan penting, hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ
“Janganlah engkau bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang bertaqwa” [4]

Akad Nikah


Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu adanya:

1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai
2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul

• Wali
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman. [1]

Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali.” [2]

Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka. Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya.

Jumat, 05 Oktober 2012

Khitbah (Peminangan)



Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di antaranya adalah:

1. Khitbah (Peminangan)
Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ.

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.” [1]

Disunnahkan melihat wajah wanita yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahi wanita itu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا، فَلْيَفْعَلْ

“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” [2]

Tujuan Pernikahan



1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

2. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan.
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”[1]
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami

Pernikahan Yang Dilarang Dalam Syariat Islam




Allah tidak membiarkan para hamba-Nya hidup tanpa aturan. Bahkan dalam masalah pernikahan, Allah dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai pernikahan yang dilarang dilakukan. Oleh karenanya, wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk menjauhinya.
1. Nikah Syighar Definisi nikah ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: زَوِّجْنِي ابْنَتَكَ وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِي أَوْ زَوِّجْنِي أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخْتِي.
“Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu.” [1]
Dalam hadits lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ شِغَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ.
“Tidak ada nikah syighar dalam Islam.” [2] 
Hadits-hadits shahih di atas menjadi dalil atas haram dan tidak sahnya nikah syighar. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan, apakah nikah tersebut disebutkan mas kawin ataukah tidak.[3]
2. Nikah Tahlil Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa ‘iddah wanita itu selesai.
Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil [4] dan muhallala lahu.” [5][6]
3. Nikah Mut’ah Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara atau nikah terputus. Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam jangka waktu tertentu; satu hari, tiga hari, sepekan, sebulan, atau lebih.

Pernikahan Adalah Fitrah Manusia




Agama Islam adalah agama fitrah, dan manusia diciptakan Allah ‘Azza wa Jalla sesuai dengan fitrah ini. Oleh karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla menyuruh manusia untuk menghadapkan diri mereka ke agama fitrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan sehingga manusia tetap berjalan di atas fitrahnya.

Pernikahan adalah fitrah manusia, maka dari itu Islam menganjurkan untuk menikah karena nikah merupakan gharizah insaniyyah (naluri kemanusiaan). Apabila gharizah (naluri) ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah, yaitu pernikahan, maka ia akan mencari jalan-jalan syaitan yang menjerumuskan manusia ke lembah hitam.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai) fitrah Allah, disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Ar-Ruum : 30]

Rabu, 03 Oktober 2012

Kebodohan Dan Kezholiman Adalah Pangkal Segala Keburukan

Oleh: Ust. Sofyan Chalid


BismiLlah walhamduliLlah washsholatu wassalamu 'ala RasuliLlah.

Seorang sahabat yang mulia, seorang sahabat yang menghadapi banyak fitnah perselisihan di masanya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu berkata, "Andaikan orang yang tidak mengerti ilmu itu diam niscaya akan hilang perselisihan." [Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fdhlih, 2/207]

Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata, "Sungguh telah berani berbicara tentang ilmu, orang-orang yang sebetulnya jika mereka diam dari sebagian ucapan mereka adalah lebih baik dan lebih selamat bagi mereka insya Allah." [Ar-Risalah, hal. 41]

Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, "Tidak ada perusak ilmu dan ahlinya yang lebih berbahaya dari "Ad-Dukhala," para penyusup yang berani berbicara tentang ilmu padahal mereka bukan ahlinya. Mereka itu bodoh namun menganggap diri mereka berilmu, mereka berbuat kerusakan namun menganggap diri mereka berbuat perbaikan." [Al-Akhlaq was Siyar, hal. 4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Perselisihan yang tercela di antara kedua belah pihak terkadang sebabnya adalah rusaknya niat, yaitu terdapat dalam diri-diri mereka kezaliman, hasad, keinginan untuk meninggikan diri di muka bumi dan yang semisalnya."

Fiqh Qurban


 Oleh: Ust. Ari Wahyudi

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (QS. Al Kautsar: 2). Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied.” Pendapat ini dinukilkan dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534 Taudhihul Ahkaam, IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis)
Pengertian Udh-hiyah
Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)

Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)

Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah. (lih. Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521)

Asal-muasal Penyembahan Berhala di Jazirah Arab

Agama Islam diturunkan dengan bertujuan untuk memurnikan peribadatan hanya kepada Allah Ta'ala semata dan menafikan sesembahan lainnya. Banyak di antara kita yang telah mengetahui bahwa masyarakat Arab jahiliyah adalah masyarakat yang menyembah berhala. Salah satu tujuan mereka menyembah berhala-berhala itu antara lain adalah sebagai washilah yang akan mendekatkan diri mereka kepada Allah Ta'ala. Jadi, disamping mereka mengakui Allah Ta'ala sebagai pencipta, mereka juga mengakui sesembahan lain selain Allah yang mereka gunakan sebagai sarana taqarrub ilallah, dan mereka telah terjatuh kepada syirik akbar. Wal'iyadzubillah. Namun siapakah yang pertama kali memulai penyembahan berhala di jazirah Arab? Catatan singkat ini akan membahasnya. Dengan memohon izin dan taufiq Allah Azza wa Jalla.


Ibnu Ishaq berkata, Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin 'Amr bin Hazm berkata kepadaku dari ayahnya yang berkata, aku diberitahu bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Aku melihat 'Amr bin Luhai menyeret usus-ususnya di neraka. Aku bertanya kepadanya tentang manusia (yang hidup) antara aku dengannya, ia menjawab, "Mereka telah binasa." [Sanadnya mursal, Abu Bakar bin Muhammad bin 'Amr tidak pernah bertemu dengan Rasulullah. Hadits ini dikuatkan oleh hadits riwayat Imam Bukhari no. 4257 dari jalan Sa'id bin Al-Musayyib dari Abu Hurairah].

Amalan di Hari Tasyriq

Oleh : Ust. Muhammad Abduh Tuasikal S.T


 Bismillaahir Rohmaanir Rohiim

Hari Tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah) adalah hari penuh kemuliaan, hari di mana jamaah haji melaksanakan ritual melempar jumrah, dan hari dimana umat Islam di negeri lainnya sibuk dengan menyembelih kurban. Banyak keutamaan dan amalan mulia yang bisa dilaksanakan di hari Tasyrik. Tulisan yang sederhana ini akan menjelaskan beberapa di antaranya :

Hari ‘Id Kaum Muslimin
Hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari Tasyrik termasuk hari id kaum muslimin. Disebutkan dalam hadis,
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَهِىَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
Hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari-hari Tasyrik adalah ‘id kami -kaum muslimin-. Hari tersebut (Idul Adha dan hari Tasyrik) adalah hari menyantap makan dan minum.

Hari Idul Adha dan Hari Tasyrik Adalah Hari Yang Paling Mulia
Mengenai keutamaan hari Idul Adha dan hari Tasyrik (11, 12 ,dan 13 Dzulhijah) disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud,
إِنَّ أَعْظَمَ الأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ
“Sesungguhnya hari yang paling mulia di sisi Allah Tabaroka wa Ta’ala adalah hari Idul Adha dan yaumul qorr (hari Tasyrik).”
Hari Tasyrik disebut yaumul qor karena pada saat itu orang yang berhaji berdiam di Mina. Apabila dirinci mengenai keutamaan dari tiga hari Tasyrik ini, maka yang terbaik di antara tiga hari tersebut adalah hari Tasyrik yang pertama, kemudian yang kedua, dan yang terakhir adalah hari ketiga.

Selasa, 02 Oktober 2012

Seputar Bulan Dzulhijjah


Oleh: Ust.Dzulqarnain

 Bismillaahir Rohmaanir Rohiim

Keutamaan Hari Nahr

Dari Abdullah bin Qurath radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْظَمُ الأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ
“Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari An-Nahr kemudian hari Al-Qarr.” [1]
An-Nahr berarti penyembelihan. 10 Dzulhijjah disebut dengan hari An-Nahr sebab hari tersebut adalah permulaan syariat penyembelihan hewan qurban.
Hari Al-Qarr artinya hari menetap karena, pada 11 Dzulhijjah, orang-orang yang mengerjakan ibadah haji bermalam dan menetap di Mina.
Selain itu, 12 Dzulhijjah disebut dengan nama hari An-Nafar Al-Awwal karena jamaah haji keluar dari Mina pada hari ini.
13 Dzulhijjah disebut dengan nama hari An-Nafar Ats-Tsâny karena ini adalah hari terakhir di Mina bagi jamaah haji yang menginginkan hal yang lebih afdhal.
Hadits di atas menunjukkan bahwa hari An-Nahr adalah hari yang paling agung di sisi Allah Subhânahû wa Ta’âlâ. Hari An-Nahr adalah hari haji Akbar yang ­disebutkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam [2] dan termasuk hari ‘Id umat Isla­m sebagaimana keterangan yang telah berlalu dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallâhu ‘anhu.
Hari An-Nahr, atau ‘Id An-Nahr, lebih utama daripada ‘Idul Fitri. Hal ini karena, pada ‘Id An-Nahr, terdapat pelaksanaan shalat, penyembelihan, keutamaan dalam sepuluh hari Dzulhijjah, serta keutaman tempat dan waktu yang agung bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah haji, sedangkan, pada ‘Idul Fitri, hanya terdapat pelaksanaan shalat dan shadaqah saja. Tentunya, sembelihan lebih utama daripada shadaqah.
Terdapat sejumlah hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan ‘Id An-Nahr atau ‘Idul Adha yang, insya Allah, ­akan diuraikan dalam kesempatan lain.

[1] Hadits ini di atas diriwayatkan oleh Ahmad 4/350, Abu Dâwud no. 1765, An-Nasâ`iy dalam As-Sunan Al-Kubrâ` no. 4098, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahâd wal Matsâny no. 2407-2408, Ibnu Khuzaimah no. 2866, 2917, 2966, Al-Hâkim 4/246, dan Al-Baihaqy 5/241, 7/288, serta dishahih­kan oleh Al-Albâny dalam lrwâ’ul Ghalîl no. 1958.
[2] Sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry –secara mu’allaq-, Abu Dâwud, Ibnu Mâjah no. 3059, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqât 2/183-184, Ath-Thabarâny 2/377, Al-Hâkim 2/361, serta Al-Baihaqy 5/139 dan dalam Syu’abul Îmân 3/469. Dishahihkan oleh Al-Albâny rahimahullâh dalam beberapa buku beliau.

Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah