Selasa, 02 Oktober 2012

Seputar Bulan Dzulhijjah


Oleh: Ust.Dzulqarnain

 Bismillaahir Rohmaanir Rohiim

Keutamaan Hari Nahr

Dari Abdullah bin Qurath radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْظَمُ الأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ
“Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari An-Nahr kemudian hari Al-Qarr.” [1]
An-Nahr berarti penyembelihan. 10 Dzulhijjah disebut dengan hari An-Nahr sebab hari tersebut adalah permulaan syariat penyembelihan hewan qurban.
Hari Al-Qarr artinya hari menetap karena, pada 11 Dzulhijjah, orang-orang yang mengerjakan ibadah haji bermalam dan menetap di Mina.
Selain itu, 12 Dzulhijjah disebut dengan nama hari An-Nafar Al-Awwal karena jamaah haji keluar dari Mina pada hari ini.
13 Dzulhijjah disebut dengan nama hari An-Nafar Ats-Tsâny karena ini adalah hari terakhir di Mina bagi jamaah haji yang menginginkan hal yang lebih afdhal.
Hadits di atas menunjukkan bahwa hari An-Nahr adalah hari yang paling agung di sisi Allah Subhânahû wa Ta’âlâ. Hari An-Nahr adalah hari haji Akbar yang ­disebutkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam [2] dan termasuk hari ‘Id umat Isla­m sebagaimana keterangan yang telah berlalu dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallâhu ‘anhu.
Hari An-Nahr, atau ‘Id An-Nahr, lebih utama daripada ‘Idul Fitri. Hal ini karena, pada ‘Id An-Nahr, terdapat pelaksanaan shalat, penyembelihan, keutamaan dalam sepuluh hari Dzulhijjah, serta keutaman tempat dan waktu yang agung bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah haji, sedangkan, pada ‘Idul Fitri, hanya terdapat pelaksanaan shalat dan shadaqah saja. Tentunya, sembelihan lebih utama daripada shadaqah.
Terdapat sejumlah hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan ‘Id An-Nahr atau ‘Idul Adha yang, insya Allah, ­akan diuraikan dalam kesempatan lain.

[1] Hadits ini di atas diriwayatkan oleh Ahmad 4/350, Abu Dâwud no. 1765, An-Nasâ`iy dalam As-Sunan Al-Kubrâ` no. 4098, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahâd wal Matsâny no. 2407-2408, Ibnu Khuzaimah no. 2866, 2917, 2966, Al-Hâkim 4/246, dan Al-Baihaqy 5/241, 7/288, serta dishahih­kan oleh Al-Albâny dalam lrwâ’ul Ghalîl no. 1958.
[2] Sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry –secara mu’allaq-, Abu Dâwud, Ibnu Mâjah no. 3059, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqât 2/183-184, Ath-Thabarâny 2/377, Al-Hâkim 2/361, serta Al-Baihaqy 5/139 dan dalam Syu’abul Îmân 3/469. Dishahihkan oleh Al-Albâny rahimahullâh dalam beberapa buku beliau.

Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

Dalam Al-Qur`an Al-Karim, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَالْفَجْرِ. وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” [Al-Fajr: 1-2]
Setelah menyebutkan sejumlah ucapan ulama tafsir tentang ayat di atas, seorang mufassir ternama, lbnu Jarir rahimahullâh, dalam Tafsir-nya, menyimpulkan bahwa“malam yang sepuluh” tersebut adalah malam sepuluh Dzulhijjah berdasarkan kesepakatan para ulama tafsir tentang hal tersebut.[1]
Ibnu Katsir rahimahullâh juga menguatkan hal tersebut sembari berkata, “Yang dimaksud dengan “malam yang sepuluh”adalah sepuluh Dzulhijjah sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbâs, Ibnu Az-­Zubair, Mujahid, dan ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan) selain mereka ….”
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman pula,
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ. لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan ….” [Al-Hajj: 27-28]
Menurut lbnu Katsir rahimahullâh, yang dimaksud dengan “hari-hari yang telah ditentukan” dalam ayat di atas adalah sepuluh hari Dzulhijjah. Beliau menukil hal tersebut dari Ibnu ‘Abbâs, Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhumâ, Mujâhid, Qatâdah, ‘Athâ`, Sa’îd bin Jubair, Al-Hasan, Adh-Dhahhâk, ‘Athâ` Al-Khurasâny, dan lbrahim An-Nakha’iy, serta merupakan pendapat Madzhab Asy-Syâfi’iy dan yang masyhur dari Ahmad –semoga Allah merahmati mereka seluruhnya-.
Berdasarkan keterangan-keterangan dari dua ayat di atas, bisa disimpulkan bahwa sepuluh hari Dzulhijjah merupakan hari-hari yang memiliki fadhilah yang sangat besar bagi kaum muslimin.
Selain itu, bila kita memperhatikan berbagai ibadah yang disyariatkan pada sepuluh hari Dzulhijjah ini, akan tampak dengan jelas berbagai keistimewaan sepuluh hari tersebut. Al-­Hafizh Ibnu Hajar rahimahullâh berkata, “Yang tampak adalah bahwa keistimewaan sepuluh hari Dzulhijjah adalah karena (hari-hari itu merupakan) tempat berkumpulnya pokok-pokok ibadah, yaitu shalat, puasa, shadaqah dan haji, yang hal tersebut tidaklah terjadi pada (hari-hari) lain.”[2]
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan keutamaan sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Hal tersebut dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbâsradhiyallâhu ‘anhumâ bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ. فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَلاَ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
“Tiada suatu hari pun yang amal shalih pada hari-hari itu lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari ini. (Para shahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, tidak pula (dilebihi oleh) jihad di jalan Allah?’ Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘(Ya), tidak (pula) jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun dari hal tersebut.’.” [3]
Hadits di atas merupakan hadits pokok yang menjelaskan keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijjah yang mengandung beberapa pelajaran, di antaranya:
Pertama, menunjukkan keutamaan beramal kebaikan pada sepuluh hari awal Dzulhijjah sehingga keutamaan beramal pada hari-hari tersebut tidak terkalahkan oleh amalan apapun pada selain hari-hari itu, termasuk amalan jihad di jalan Allah yang tidak mengakibatkan seseorang mati syahid karenanya. Oleh karena itulah, para ulama salaf sangat mengagungkan hari-hari Dzulhijjah ini.
Abu Utsman An-Nahdy[4] rahimahullâh berkata, “Sesungguhnya mereka (shahabat dan tabi’in) mengagungkan tiga sepuluh: sepuluh (hari) terakhir dari Ramadhan, sepuluh (hari) awal dari Dzulhijjah, dan sepuluh (hari) awal dari Muharram.”[5] Oleh karena itu, ini adalah suatu nikmat dan anugerah Allah kepada kaum muslimin agar mereka memanfaatkan sepuluh hari Dzulhijjah tersebut dengan sebaik mungkin.
Kedua, keterangan bahwa amalan shalih pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah lebih utama daripada amalan shalih yang bukan pada hari-hari tersebut menunjukkan bahwa segala amalan shalih pada sepuluh hari tersebut pahalanya dilipatgandakan.
Ketiga, frasa “amal shalih” yang dimaksud adalah sebuah konteks umum yang meliputi segala jenis amalan shalih, baik amalan shalih yang syariat dan tuntunannya dalam bulan Dzulhijjah telah tetap, seperti pelaksanaan haji, puasa ‘Arafah, hari An-Nahr (‘Idul Adha), berqurban, berpuasa, dan memperbanyak takbir, maupun amalan shalih yang merupakan hal yang disyariatkan atas setiap muslim pada segala keadaan, seperti ibadah-ibadah wajib, ibadah sunnah, shalat malam, membaca Al-Qur`an, menyambung silaturahmi, dan berbakti kepada orang tua.
Keempat, dalam hal memperbandingkan antara sepuluh hari awal Dzulhijjah dan sepuluh malam akhir Ramadhan, terjadi silang pendapat di kalangan ulama tentang yang paling utama antara keduanya.
Ibnul Qayyim menukil dari gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh, bahwa Syaikhul Islam menyatakan, “Fashlul khithâb ‘pendapat yang menuntaskan perselisihan’ adalah bahwa malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan lebih utama daripada malam-malam sepuluh (hari) awal Dzulhijjah karena Rasulullahshallallâhu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam hal menunaikan ibadah pada malam-malam tersebut dengan kesungguhan yang tidak beliau lakukan terhadap malam-malam lain, sedangkan hari-hari sepuluh awal Dzulhijjah lebih utama daripada hari-hari sepuluh terakhir Ramadhan berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbâs ini dan sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam‘Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari An-Nahr’ [6] serta keutamaan yang datang dalam hari ‘Arafah[7].”[8]
Demikian pula keterangan Al-Mubarakfury rahimahullâh [9].
Dari Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim rahimahullâh juga menukil jawaban yang semakna, dengan redaksi yang lebih ringkas, sembari menyifatkan jawaban itu sebagai jawaban yang sangat memuaskan lagi mencukupi. Beliau juga menyatakan bahwa siapa saja yang menjawab bukan dengan rincian beliau, ia tidak mungkin membawakan argumen yang benar.[10]
Namun, Ibnu Rajab rahimahullâh memandang bahwa pendapat di atas adalah pendapat yang jauh dari kebenaran. Bagi beliau, hadits-hadits tentang lebih utamanya sepuluh hari awal Dzulhijjah berlaku umum untuk malam dan siang hari[11].
Wallâhu A’lam.

[1] Jâmi’ul Bayân 12/559.
[2] Fathul Bâry 2/460.
[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 969, Abu Dâwud no. 2438, At-Tirmidzy no. 756 (lafazh hadits adalah milik beliau), dan Ibnu Mâjah no. 1727.
[4] Beliau adalah Abdurrahman bin Mull, salah seorang ulama tabi’in yang wafat pada tahun 95 H.
[5] Diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dalam Ash-Shalâhsebagaimana dalam Ad-Durr Al-Mandzûr 8/502 karya As-Suyuthy. Baca pulalahLathâ’if Al-Ma’ârif hal. 31 karya Ibnu Rajab (cet. Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsiyah).
[6] Takhrîj-nya akan disebutkan.
[7] hadits tentang keutamaan hari ‘Arafah akan disebutkan.
[8] Demikian nash ucapan Ibnu Taimiyah yang dinukil oleh muridnya, Ibnul Qayyim, dalam Tahdzîb As-Sunan 6/315.
[9] Bacalah kitab beliau, Tuhfatul Ahwâdzy, pada penjelasan hadits no. 506 dariSunan At-Tirmidzy (Abwâb Ash-Shiyâm Bab fi Amal fi Ayyâm At-Tasyrîq).
[10] Bacalah Badâ`i’ul Fawâ`id 3/683.
[11] Bacalah keterangan beliau dalam Lathâ`if Al-Ma’ârif hal. 282.

Disyariatkannya Berpuasa Pada Bulan Dzulhijjah

Syariat berpuasa bisa dipahami dari hadits Ibnu ‘Abbâs yang telah lalu karena berpuasa juga termasuk “amal shalih” yang disyariatkan pada sepuluh awal Dzulhijjah dalam hadits tersebut.
Juga dari dasar tuntunan dalam hal ini adalah riwayat dari sebagian istri Nabiradhiyallâhu ‘anhâ, beliau berkata,
 أَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ يَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَتِسْعًا مِنْ ذِى الْحِجَّةِ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ
“Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyurâ, pada sembilan hari Dzulhijjah, dan pada tiga hari dalam sebulan: senin awal dari bulan (berjalan) dan dua kamis.” [1]
Hadits di atas merupakan dalil tegas tentang syariat berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah: delapan hari pada awal bulan[2] dan hari kesembilan yang dikenal dengan hari ‘Arafah.
Hadits di atas tidaklah bertentangan dengan hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâbahwa beliau bertutur,
 مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ صَائِمًا فِى الْعَشْرِ قَطُّ.
“Saya sama sekali tidak pernah melihat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh (hari awal Dzulhijjah).” [3] 
Keterangan Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ di atas dijelaskan oleh para ulama bahwa Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ mungkin saja tidak pernah melihat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan puasa tersebut, tetapi bukan berarti Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan puasa itu karena beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam mungkin saja berada di rumah Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ pada satu hari di antara hari-hari awal Dzulhijjah dan berada di rumah istri-istri beliau yang lain pada hari-hari lain. Atau, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mungkin mengerjakan sebagian puasa tersebut pada suatu tahun, mengerjakan sebagian puasa tersebut pada tahun lain, dan mengerjakan seluruh puasa itu pada tahun yang lain lagi. Atau, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam meninggalkan pelaksanaan puasa tersebut pada sebagian tahun karena suatu penghalang berupa safar, sakit, atau selainnya. Demikian makna keterangan Imam An-Nawawy rahimahullâh.[4]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullâh [5] berpandangan bahwa keterangan Aisyahradhiyallâhu ‘anhâ di atas mungkin saja sebagaimana zhahirnya –yaitu Nabishallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan puasa tersebut- karena beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam kadang meninggalkan suatu amalan, meskipun mencintai amalan tersebut, dibangun di atas kekhawatiran beliau bahwa amalan itu akan menjadi wajib terhadap umatnya.
Adapun Al-Baihaqy rahimahullâh [6] dan Ibnul Qayyim rahimahullâh [7], keduanya berpandangan bahwa hadits sebagian istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallamtersebut, yang menerangkan bahwa beliau berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah, lebih didahulukan dan lebih diterima daripada keterangan Aisyahradhiyallâhu ‘anhâ berdasarkan kaidah “Orang yang menetapkan lebih didahulukan daripada orang yang menafikan.”[8]
Demikianlah keterangan tentang sunnahnya[9] puasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah, dan puasa tersebut dikerjakan pada tanggal 1-9 Dzulhijjah. Adapun perbuatan sebagian orang yang mengkhususkan puasa hanya pada tanggal 7, 8, dan 9 Dzulhijjah, hal itu termasuk bentuk pengkhususan ibadah yang tidak memiliki dalil.

[1] Diriwayatkan oleh Ahmad 5/271, 6/288, 423, Abu Dâwud no. 2437, An-Nasâ`iy 4/205, 220-221, serta Al-Baihaqy 4/284 dan dalam Syu’abul Îmân 3/355 dari jalan Hunaidah bin Khâlid, dari istri (Hunaidah), dari sebagian istri Nabi, dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Shahîh Sunan Abi Dâwud. Walaupun terdapat sebagian perselisihan dalam periwayatannya, insya Allah, jalan di atas adalah jalan yang terkuat dan bisa dishahihkan. Dalam riwayat Abu Dâwud, diriwayatkan dengan konteks (والخميس), maksudnya adalah tiga hari dalam sebulan, yaitu awal senin, kamis, dan satu hari yang lain. Demikian keterangan Al-Baihaqy setelah membawa riwayatnya seperti riwayat Abu Dâwud.
[2] Dalam Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah pada pembahasan puasa sunnah, disebutkan bahwa puasa delapan hari awal adalah sunnah menurut kesepakatan para ulama ahli fiqih. Namun, dalam Lathâ`if Al-Ma’ârif hal. 277 (cet. Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsiyah), Ibnu Rajab hanya menyebutkan bahwa sunnahnya adalah merupakan pendapat kebanyakan para ulama.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1176, Abu Dâwud 2439, At-Tirmidy no. 755, dan selainnya.
[4] Bacalah Al-Majmû’ dan Syarh Muslim 8/71-72.
[5] Bacalah Fathul Bâry 2/460.
[6] Bacalah As-Sunan Al-Kubrâ` 4/285.
[7] Baca Zâdul Ma’âd 2/61.
[8] Penjelasan An-Nawawy, Al-Baihaqy, dan Ibnul Qayyim juga diterangkan oleh Ibnu Rajab dengan membawakan beberapa keterangan tambahan. Silakan membaca buku beliau, Lathâ`if Al-Ma’ârif, hal. 277-278 (cet. Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsiyah).
[9] Bahkan, menurut Imam An-Nawawy rahimahullâh, itu adalah puasa yang sangat disunnahkan. Bacalah Syarh Muslim 8/71.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar