Oleh: Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
بسم الله الرحمن الرحيم
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah ditanya tentang qadar, maka
beliau menjawab dengan jawaban panjang lebar, yang berisi keyakinan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara umum mengenai masalah ini. Di antara
pernyataannya:
“Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenai masalah ini dan yang lainnya
ialah (sesuai dengan) apa yang ditunjukkan oleh al-Qur-an dan as-Sunnah
serta apa yang diikuti para as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin
dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik.
Yaitu, bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Rabb, dan Yang
menguasainya. Termasuk juga di dalamnya semua benda yang berdiri sendiri
dan sifat-sifatnya yang menyatu dengannya, berupa perbuatan-perbuatan
hamba dan selain perbuatan-perbuatan hamba.
Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak
dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Tidak ada sesuatu pun dalam wujud
ini melainkan terjadi dengan masyii-ah (kehendak) dan ke-kuasaan-Nya.
Tidak ada sesuatu pun yang menghalangi kehendak-Nya dan Dia Mahakuasa
atas segala sesuatu, bahkan Dia mengetahui apa yang telah terjadi, apa
yang akan terjadi, dan apa yang tidak akan terjadi, yang seandainya
terjadi, bagaimana terjadinya.
Termasuk dalam kategori hal itu ialah perbuatan-perbuatan para hamba dan
hal lainnya. Allah telah menetapkan ketentuan-ketentuan para makhluk
sebelum menciptakan mereka, Dia telah menentukan ajal, rizki, dan
perbuatan mereka, menuliskan hal itu, dan menuliskan perjalanan mereka
berupa kebahagiaan dan kesengsaraan. Mereka mengimani penciptaan dan
kekuasaan-Nya terhadap segala sesuatu, kehendak-Nya terhadap segala yang
telah terjadi, ilmu-Nya terhadap berbagai hal sebelum terjadi,
takdir-Nya untuknya, dan pencatatan-Nya terhadap berbagai hal tersebut
sebelum terjadinya.” [1]
Hingga beliau mengatakan, “Salaf umat dan para imamnya telah bersepakat
juga bahwa para hamba itu diperintahkan kepada apa yang diperintahkan
Allah kepada mereka dan dilarang terhadap apa yang mereka dilarang
terhadapnya, bersepakat atas keimanan kepada janji dan ancaman-Nya yang
terdapat dalam al-Qur-an dan as-Sunnah, dan bersepakat bahwa tidak ada
hujjah bagi seorang pun terhadap Allah dalam kewajiban yang
ditinggalkannya dan keharaman yang dilakukannya, bahkan Allah mempunyai
hujjah yang sempurna atas para hamba-Nya.” [2]
Beliau mengatakan, “Di antara yang disepakati para Salaf umat ini dan
para imamnya -di samping mereka beriman kepada qadha' dan qadar, bahwa
Allah adalah Pencipta segala sesuatu, apa yang dikehendaki-Nya pasti
terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, serta Dia
menyesatkan siapa yang dikehendaki dan menunjukkan siapa yang
dikehendaki-Nya- adalah, bahwa para hamba memiliki kehendak dan
kemampuan, mereka berbuat dengan kehendak dan kemampuan mereka yang
telah Allah tentukan, disertai pernyataan mereka, ‘Para hamba tidak
berkehendak kecuali bila Allah menghendaki,’ sebagaimana firman-Nya:
"Sekali-kali tidak demikian halnya. Sesungguhnya al-Qur-an itu adalah
peringatan. Maka barangsiapa menghendaki, niscaya dia mengambil
pelajaran daripadanya (al-Qur-an). Dan mereka tidak akan mengambil
pelajaran daripadanya kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dia (Allah)
adalah Rabb Yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi
ampun." [Al-Muddatstsir: 54-56]
[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia
Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd,
Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Footenotes
[1]. Majmuu’ul Fataawaa Syaikhul Islaam, (VIII/449-450).
[2]. Majmuu’ul Fataawaa Syaikhul Islaam, (VIII/452).
http://www.facebook.com/notes/abu-warda-mark-ii/keyakinan-ahlus-sunnah-wal-jamaah-secara-umum-tentang-qadar/290976054337078
Tidak ada komentar:
Posting Komentar