Jumat, 31 Agustus 2012

Hakekat Dakwah Salafiyah

Oleh: Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain
Bismillaahir  Rohmaanir Rohiim
Pertanyaan:
Berkembangnya dakwah Salafiyyah di kalangan masyarakat dengan pembinaan yang mengarah kepada perbaikan ummat di bawah tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa alihi wa sallam adalah suatu hal yang sangat disyukuri. Akan tetapi di sisi lain, orang-orang menyimpan dalam benak mereka persepsi yang berbeda-beda tentang pengertian Salafiyah itu sendiri sehingga bisa menimbulkan kebingunan bagi orang-orang yang mengamatinya, maka untuk itu dibutuhkan penjelasan yang jelas tentang hakikat Salafiyah itu. Mohon keterangannya!
Jawab (Cukup mewakili untuk membantah tuduhan bahwa dakwah salaf, salaf adalah muhdats, red):
Salafiyah adalah salah satu penamaan lain dari Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menunjukkan ciri dan kriteria mereka.

Syarat dan Hukum Aqad Nikah


Penulis: Al-Qodhi Asy-Syaikh Muhammad Ahmad Kan’an
A. SYARAT- SYARAT AQAD NIKAH
Telah kami sebutkan di awal bab satu tentang makna nikah dan hukumnya dan akan kami sebutkan dalam bab ini syarat-syarat syar’i yang harus dipenuhi untuk syahnya nikah serta hukum-hukum syar’i yang timbul darinya. Sesungguhnya aqad nikah itu suatu ungkapan dari ‘ijab’ dan ‘qobul’, yang memulai aqad disebut ‘al-mujib’ dan pihak yang lain disebut ‘qabil’. Dan mungkin adanya ‘ijab’ dari laki-laki atau wakilnya, dan bisa jadi dari wanita atau wakilnya, demikian pula ‘qobul’.
Dan lafadh yang shohih untuk ‘aqad nikah’ yang tidak ada khilaf padanya adalah : (… ‘zawwajtuka… ‘(saya kawinkan engkau…), atau (….`ankahtuka …’ (Aku nikahkan engkau…). Ketika seorang wanita berkata “Kukawinkan diriku ….” atau berkata wakilnya “Kukawinkan engkau…”, maka telah terwujud ‘ijab dari satu sisi. Bila di sisi lain telah berkata : (‘Qobiltu’(aku terima)), maka telah terjadilah ‘aqad nikah’, bila telah terpenuhi syarat-¬syaratnya. Antara lain :

Muqadimah Tafsir (3)

Oleh : Ust. Ari Wahyudi
Bismillahir Rohmaanir Rohiim

Mukadimah Ketiga
Dalam bagian ini, akan diterangkan mengenai:
  • Rujukan dalam menafsirkan al-Qur’an
  • Penunjukan makna dari suatu lafal/ungkapan
  • Metode pengambilan tafsir
  • Hukum menafsirkan al-Qur’an semata-mata dengan logika
  • Haruskah menguji hadits dengan al-Qur’an?
[1] Rujukan Dalam Menafsirkan al-Qur’an
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa penafsiran al-Qur’an dapat diperoleh dengan bersandar kepada hal-hal berikut:

Muqadimah Tafsir (2)

Oleh : Ust. Ari Wahyudi
Bismillaahir Rohmanir Rohiim

Mukadimah Kedua
Dalam bagian ini, akan diterangkan mengenai:
  • Kaitan ilmu tafsir dengan ilmu hadits dan ilmu fikih
  • Pengertian istilah hadits
  • Pengertian istilah fikih
  • Kaitan ilmu tafsir dengan ilmu tauhid
  • Kaitan surat al-Fatihah dengan ilmu tauhid
[1] Kaitan Antara Tafsir, Hadits, dan Fikih
Sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, bahwa poros ilmu agama adalah pada ketiga ilmu ini, yaitu: tafsir, hadits, dan fikih. Dan sebagaimana yang telah dipaparkan oleh para ulama juga bahwasanya hakikat ilmu tafsir adalah penjelasan terhadap kandungan ayat-ayat al-Qur'an. Dengan memadukan kedua pengertian ini dapatlah kita simpulkan bahwa sesungguhnya keberadaan ilmu hadits dan fikih juga memiliki fungsi yang sama, yaitu menjelaskan kandungan al-Qur'an. Dengan kata lain, pada dasarnya ilmu hadits dan fikih adalah bagian tak terpisahkan dari ilmu tafsir. Sehingga orang yang mempelajari hadits dan fikih pun pada hakikatnya sedang mempelajari tafsir.

Muqadimah Tafsir (1)

Oleh : Ust. Ari Wahyudi
Bismillaahir Rohmanir Rohiim

Mukadimah Pertama
Di dalam bagian ini, akan diterangkan mengenai:
- Makna istilah tafsir
- Penggunaan kata ta’wil dengan makna tafsir
- Tujuan mempelajari tafsir
- Kedudukan ilmu tafsir
- Dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu tafsir
[1] Makna Istilah Tafsir
Secara bahasa tafsir bermakna menyingkap sesuatu yang tertutupi. Adapun menurut istilah para ulama, yang dimaksud dengan tafsir adalah menerangkan kandungan makna al-Qur’an al-Karim (lihatUshul fi at-Tafsir, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, hal. 25)
[2] Ta’wil Dengan Makna Tafsir
Dalam Al-Qur’an, kata ta’wil terkadang bermakna tafsir. Misalnya firman Allah ta’ala (yang artinya),“Beritahukanlah kepada kami tentang ta’wilnya. Sesungguhnya kami melihat engkau (wahai Yusuf) termasuk orang yang pandai (mena’birkan mimpi).” (QS. Yusuf: 36)
Demikian pula halnya dalam hadits. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat mendoakan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, “Ya Allah, pahamkanlah dia dalam urusan agama dan ajarkanlah kepadanya ilmu ta’wil.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’, hadits no. 143, akan tetapi tambahan ‘ajarkanlah kepadanya ilmu ta’wil’ tidak terdapat dalam Shahihain, lihat Fath al-Bari [1/207])

Menguak Keutamaan Wudhu

Share on print

Wudhu’ ( الوضوء ) adalah sebuah syari’at kesucian yang Allah -Azza wa Jalla- tetapkan kepada kaum muslimin sebagai pendahuluan bagi sholat dan ibadah lainnya. Di dalamnya terkandung sebuah hikmah yang mengisyaratkan kepada kita bahwa hendaknya seorang muslim memulai ibadah dan kehidupannya dengan kesucian lahir dan batin. Sebab asal kata ini sendiri berasal dari kata yang mengandung makna kebersihan dan keindahan ( الحسن والنظافة ) sebagaimana yang dijelaskan para ahli bahasa Arab. [Lihat An-Nihayah (5/428), dan Ash-Shihhah (2/282)]

Syari’at Kesucian ini mengumpulkan banyak hikmah, faedah, dan fadhilah (keutamaan) yang menjelaskan urgensi dan kedudukannya di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Sebab suatu amalan jika memiliki banyak faedah dan fadhilah, maka tentunya karena memiliki makanah aliyah (kedudukan tinggi).

Wudhu’ disyari’atkan bukan hanya ketika kita hendak beribadah, bahkan juga disyari’atkan dalam seluruh kondisi. Oleh karena itu, seorang muslim dianjurkan agar selalu berada dalam kondisi bersuci (wudhu’) sebagaimana yang dahulu yang dilazimi oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya yang mulia. Mereka senantiasa berwudhu, baik dalam kondisi senang atau dalam kondisi susah dan kurang menyenangkan (seperti, saat musim hujan dan musim dingin). Kebiasaan berwudhu’ ini butuh kepada kesabaran tinggi, sebab kita terkadang terserang perasaan malas. Perasaan malas ini akan hilang –Insya Allah- saat kita mengetahui keutamaan wudhu’.

Pembaca yang budiman, keutamaan-keutamaan wudhu’ kali ini kami akan tuangkan di hadapan kalian agar menjadi penyemangat dan penggerak motor semangat yang selama ini dingin dan tak tergerak. Diantara keutamaan-keutamaan wudhu’ yang terdapat dalam Kitabullah dan Sunnahshohihah dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- :

  • Syarat Memasuki Sholat

Seorang ketika hendak memasuki sebuah rumah atau gedung, maka ia akan melewati pintu-pintu yang ada padanya. Pintu ini biasanya tak bisa dilewati, kecuali seseorang memiliki kunci untuk membuka pintu-pintu itu. Sebelum seseorang masuk ke dalam rumah tersebut, maka ada syarat yang harus dipenuhi. Demikianlah perumpamaan wudhu’ bagi sholat; seorang tak mungkin akan masuk dalam sebuah sholat, kecuali ia memenuhi syarat-syarat sholat, seperti wudhu’.

Oleh karena itu, Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki". (QS. Al-Maa’idah: 6)

Jadi, jika seseorang hendak sholat, maka syaratnya harus berwudhu’ sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah -Azza wa Jalla- dalam ayat ini dan diterangkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sunnahnya.

Bila seorang yang masuk dalam sholat, tanpa wudhu’, maka sholatnya tak akan diterima, bahkan tak sah, sebab wudhu’ adalah syarat sahnya wudhu’, dan tercapainya pahala sholat. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

"Tak akan diterima sholatnya orang yang ber-hadats sampai ia berwudhu’" . [HR. Al-Bukhoriy dalamShohih-nya (135 & 6954), dan Muslim dalam Shohih-nya (536)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan beberapa faedah dari hadits ini, "Hadits ini dijadikan dalil tentang batalnya sholat disebabkan oleh hadats (seperti, kentut, buang air, junub dan lainnya), baik hadats itu keluar karena pilihan (sadar), maupun terpaksa".[Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (1/309), tahqiq Ali Asy-Syibl, cet. Darus Salam, 1421 H]

  • Penghapus Dosa Kecil & Pengangkat Derajat

Wudhu adalah amalan ringan, tapi pengaruhnya ajaib dan luar biasa. Selain menghapuskan dosa kecil, wudhu’ juga mengangkat derajat dan kedudukan seseorang dalam surga. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَذَلِكُمْ الرِّبَاطُ

"Maukah kalian aku tunjukkan tentang sesuatu (amalan) yang dengannya Allah menghapuskan dosa-dosa, dan mengangkat derajat-derajat?" Mereka berkata, "Mau, wahai Rasulullah!!" Beliau bersabda, "(Amalan itu) adalah menyempurnakan wudhu’ di waktu yang tak menyenangkan, banyaknya langkah menuju masjid, dan menunggu sholat setelah menunaikan sholat. Itulah pos penjagaan". [HR. Muslim (586)]

Abul Hasan As-Sindiy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan amalan-amalan yang terdapat dalam hadits ini, "Amalan-amalan ini akan menutup pintu-pintu setan dari dirinya, menahan jiwanya dari nafsu syahwatnya, permusuhan jiwa, dan setan sebagaimana hal ini tak lagi samar. Inilah jihad akbar (besar) yang terdapat pada dirinya. Jadi, setan adalah musuh yang paling berat baginya".[Lihat Hasyiyah As-Sindiy ala Sunan An-Nasa'iy (1/114)]

Jadi, seorang yang melazimi amalan-amalan tersebut dianggap telah melakukan pertahanan untuk menutup pintu-pintu setan. Barangsiapa yang ingin dijauhkan dari setan, maka hendaknya ia melazimi wudhu’, menghadiri sholat jama’ah, dan bersabar menunggu sholat jama’ah lainnya.

  • Tanda Pengikut Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.

Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah mengabarkan kepada kita bahwa beliau akan mengenali ummatnya di Padang Mahsyar dengan adanya cahaya pada anggota tubuh mereka, karena pengaruh wudhu’ mereka ketika di dunia.

تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنْ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ يَبْلُغُ الْوَضُوءُ

"Perhiasan (cahaya) seorang mukmin akan mencapai tempat yang dicapai oleh wudhu’nya".[Muslim dalam Ath-Thoharoh, bab: Tablugh Al-Hilyah haits Yablugh Al-Wudhu' (585)]

Dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى الْمَقْبُرَةَ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا قَالُوا أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ فَقَالُوا كَيْفَ تَعْرِفُ مَنْ لَمْ يَأْتِ بَعْدُ مِنْ أُمَّتِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا لَهُ خَيْلٌ غُرٌّ مُحَجَّلَةٌ بَيْنَ ظَهْرَيْ خَيْلٍ دُهْمٍ بُهْمٍ أَلَا يَعْرِفُ خَيْلَهُ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِنَّهُمْ يَأْتُونَ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ الْوُضُوءِ وَأَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ أَلَا لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ أُنَادِيهِمْ أَلَا هَلُمَّ فَيُقَالُ إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا

"Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mendatangi pekuburan seraya bersabda, "Semoga keselamatan bagi kalian wahai rumah kaum mukminin. Aku sangat ingin melihat saudara-saudara kami". Mereka (para sahabat) berkata, "Bukankah kami adalah saudara-saudaramu wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Kalian adalah para sahabatku. Sedang saudara kami adalah orang-orang yang belum datang berikutnya". Mereka berkata, "Bagaimana anda mengenal orang-orang yang belum datang berikutnya dari kalangan umatmu wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Bagaimana pandanganmu jika seseorang memiliki seekor kuda yang putih wajah, dan kakinya diantara kuda yang hitam pekat. Bukankah ia bisa mengenal kudanya". Mereka berkata, "Betul, wahai Rasulullah". Beliau bersabda, "Sesungguhnya mereka (umat beliau) akan datang dalam keadaan putih wajah dan kakinya karena wudhu’. Sedang aku akan mendahului mereka menuju telaga. Ingatlah, sungguh akan terusir beberapa orang dari telagaku sebagaimana onta tersesat terusir. Aku memanggil mereka, "Ingat, kemarilah!!" Lalu dikatakan (kepadaku), "Sesungguhnya mereka melakukan perubahan setelahmu". Lalu aku katakan, "Semoga Allah menjauhkan mereka". [HR. Muslim dalam Ath-Thoharoh, bab: Istihbab Itholah Al-Ghurroh (583)]

Seorang muslim akan dikenali oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dengan cahaya pada wajah dan tangannya. Maka hendaknya setiap orang diantara kita menjaga cahaya ini dengan menjaga wudhu, dan sholat. Abdur Ra’uf Al-Munawiy -rahimahullah- berkata, "Barangsiapa yang lebih banyak sujudnya atau wudhu’nya di dunia, maka wajahnya nanti akan lebih bercahaya dan lebih berseri dibandingkan selain dirinya. Maka mereka (kaum mukminin) nanti disana akan bertingkat-tingkat sesuai besarnya cahaya". [Lihat Faidhul Qodir (2/232)]

  • Separuh Iman

Seorang tak akan meraih pahala sholat, selain ia melakukan wudhu’, lalu mengerjakan sholat. Jadi, wudhu’ ibaratnya separuh dari iman (yakni, sholat). Ini menunjukkan kepada kita tentang ketinggian nilai dan manzilah wudhu’ di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَآَنِ أَوْ تَمْلَأُ مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالصَّلَاةُ نُورٌ وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَايِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا

"Bersuci (wudhu’) adalah separuh iman. Alhamdulillah akan memenuhi mizan (timbangan). Subhanallah wal hamdulillah akan memenuhi antara langit dan bumi. Sholat adalah cahaya. Shodaqoh adalah tanda. Kesabaran adalah sinar. Al-Qur’an adalah hujjah (pembela) bagimu atau hujatan atasmu. Setiap orang keluar di waktu pagi; maka ada yang menjual dirinya, lalu membebaskannya atau membinasakannya". [Muslim dalam Ath-Thoharoh, bab: Fadhl Ath-Thoharoh (533)]

Al-Hafizh Ibnu Rojab -rahimahullah- berkata, "Jika wudhu’ bersama dua kalimat syahadat mengharuskan terbukanya pintu surga, maka wudhu menjadi separuh iman kepada Allah dan Rasul-Nya menurut tinjauan ini. Juga wudhu’ termasuk cabang-cabang keimanan yang tersembunyi yang tak akan dilazimi, kecuali seorang mukmin". [Lihat Iqozhul Himam (hal. 329)]

  • Jalan Menuju Surga

Jalan-jalan surga telah dimudahkan oleh Allah -Azza wa Jalla- bagi orang yang Allah berikan taufiq dan hidayah. Perhatikan Bilal bin Robah -radhiyallahu anhu-, beliau mendapatkan kabar gembira bahwa ia termasuk penduduk surga, sebab ia telah berusaha menapaki sebuah jalan diantara jalan-jalan surga. Dengarkan kisahnya dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-, ia berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالٍ عِنْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ

"Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda kepada Bilal ketika sholat Fajar, "Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amalan yang paling engkau harapkan yang pernah engkau amalkan dalam Islam, karena sungguh aku telah mendengarkan detak kedua sandalmu di depanku dalam surga". Bila berkata, "Aku tidaklah mengamalkan amalan yang paling aku harapkan di sisiku. Cuma saya tidaklah bersuci di waktu malam atau siang, kecuali aku sholat bersama wudhu’ itu sebagaimana yang telah ditetapkan bagiku". [HR. Al-Bukhoriy dalam Al-Jum'ah, Bab: Fadhl Ath-Thoharoh fil Lail wan Nahar (1149), dan Muslim (6274)]

Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa berwudhu’ lalu sholat sunnah setelahnya merupakan amalan yang berpahala besar. Ibnul Jauziy -rahimahullah- berkata, "Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk melakukan sholat usai berwudhu’ agar wudhu tidak kosong (terlepas) dari maksudnya". [Lihat Fathul Bari (4/45)]

  • Pelepas Ikatan Setan

Setan senantiasa mengintai dan mengawasi kita. Bahkan ia selalu mencari jalan untuk menjauhkan kita dari kebaikan yang telah digariskan oleh Allah dan rasul-Nya. Diantara makar setan, ia membuat buhul pada seorang diantara kita saat kita tidur agar kita berat bangun beribadah. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ فَإِنْ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ

"Setan membuat tiga ikatan pada tengkuk seorang diantara kalian jika ia tidur. Setan akan memukul setiap ikatan itu (seraya membisikkan), "Bagimu malam yang panjang, maka tidurlah". Jika ia bangun seraya menyebut Allah (berdzikir), maka terlepaslah sebuah ikatan. Jika ia berwudhu’, maka sebuah ikatan yang lain terlepas. Jika ia sholat, maka sebuah ikatan akan terlepas lagi. Lantaran itu, ia akan menjadi bersemangat lagi baik jiwanya. Jika tidak demikian, maka ia akan jelek jiwanya lagi malas". [HR. Al-Bukhoriy (1142 & 3269) dan Muslim (1816)]

Al-Qodhi Abul Walid Sulaiman bin Kholaf Al-Bajiy -rahimahullah- berkata, "Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- memaksudkan dengan hadits ini bahwa dengan dzikrullah, wudhu’, dan sholat, maka semua ikatan (buhul) setan akan terlepas, dan seorang muslim akan selamat dari makar setan, dan keburukan buhul-buhulnya. Lantaran itu, ia akan bersemangat di waktu pagi, (sedang ia telah terlepas darinya buhul-buhul yang telah membuat dirinya malas), dan jiwanya menjadi baik dengan sebab amalan kebajikan yang ia lakukan semalam". [Lihat Al-Muntaqo (1/434) karya Al-Bajiy]

Para pembaca budiman, inilah beberapa buah petikan fadhilah dan keutamaan wudhu. Semoga menjadi pendorong bagi kita semua untuk melazimi wudhu’ demi meraih keutamaann-keutamaan tersebut di atas. Kami memohon kepada Allah agar Dia menjadikan kita sebagai ummat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang dikenali dengan cahaya wudhu’.

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 115 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

http://almakassari.com/artikel-islam/fiqh/menguak-keutamaan-wudhu.html


Hikmah Penciptaan Manusia


بسم الله الرحمن الرحيم

Oleh : Al Ustadz Abu Umar Abdul Aziz

Sesungguhnya Allah tidak menciptakan makhluk dengan sia-sia, akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan mereka untuk suatu hikmah yang agung, di mana dibalik keberadaan itu semua terkandung rahasia-rahasia kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

“Maka apakah kamu mengira ,bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), Dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? “ ( Al Mu’minun : 115 )

Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan tentang maksud penciptaan jin dan manusia, bahwa mereka adalah makhluk yang diberi tugas, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surat Adz Dzariyat :

”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembahku.” ( Adz Dzariyat: 56 )

Ayat ini menuntun kita kepada hakekat yang lebih pasti, yaitu hakekat yang menjadikan landasan kehidupan. Demikian itu karena adanya tujuan yang tertentu dari keberadaan manusia dan jin, yaitu untuk merealisasikan suatu peran yang luhur, barang siapa memenuhinya berarti ia telah merealisasikan tujuan keberadaannya, dan barang siapa tidak memenuhinya, maka kehidupannya menjadi hampa dari tujuan tersebut dan hampa dari maknanya yang utama. Maksud yang telah ditentukan itu adalah beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata, yaitu sebagaimana yang telah di syariatkan kepada hamba-hamba-Nya untuk menyembah-Nya, dan tidaklah akan lurus kehidupan seorang hamba kecuali menjalankan peran ini dan dalam rangka merealisasikan tujuan ini.

Kebahagiaan hakiki di dunia maupun di akherat tergantung pada terealisasinya tujuan ini, dengan menempuh tuntunan Allah subhanahu wa ta’ala, baik berupa keyakinan maupun perbuatan, di samping mengendalikan nafsu dan menundukannya untuk tetap teguh menempuh tuntunan ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Kami berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (Al Baqarah : 38)

Perintah untuk mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dan beribadah kepada-Nya tidak dikhususkan kepada suatu umat tertentu saja, karena tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala mengutus para Rasul-Nya kepada manusia melainkan untuk menyeru mereka kepada pengesaan Allah subhanahu wa ta’ala dan beribadah kepada-Nya serta meninggalkan setiap yang disembah selain dari pada Allah subhanahu wa ta’ala. Bentuk-bentuk ibadah pada umat-umat terdahulu sesuai dengan masa dan kondisinya, namun ketika Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam datang, Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan kepadanya bentuk ibadah yang sempurna.

Adapun definisi ibadah, sebagaiman diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala adalah :

اسم جامع لكل ما يحبه الله و يرضاه من الأقوال و الأعمال الباطنة و الظاهرة

“Sebutan yang mencakup setiap apa yang apa yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala dan diridhai-Nya yang berupa perkataan dan perbuatan baik yang lahir maupun yang batin.”

Untuk merealisasikan makna ini,maka manusia harus menyembah Alloh berdasarkan tuntunan yang telah disyariatkan Allah subhanahu wa ta’ala dan dengan cara yang diridhai-Nya dengan tunduk dan patuh, peribadatan tersebut bukan rekaan manusia yang berdasarkan pada kecenderungan dan praduganya.

Pedoman itu semua adalah, hendaknya di dalam jiwa terdapat perasaan tentang makna peribadatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata, dan hendaknya seorang hamba menghadap kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan setiap gerak geriknya di dalam jiwa dan raganya, bahkan demikian seharusnya di dalam kehidupan ini, dan hendaknya pula berlepas diri dari setiap makna yang menyelisihi dari makna ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata.

Pengertian ibadah mencakup setiap lapangan kehidupan. Diwajibkan atas setiap hamba untuk tidak berpaling dari ketaatan pada penciptanya dalam segala sesuatu yang di perbuatnya sepanjang hidupnya. Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kepada nabi-Nya Muhammadshalallahu ‘alaihi wa sallam, dengan perintah yang mutlak untuk beribadah kepada-Nya setiap waktu, sebagaimana firman-Nya :

“Dan sembahlah Robmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (Al-Hijr: 99)

Islam telah menetapkan berbagai ibadah dan syi’ar yang membedakan umatnya dari umat lainnya, Islam telah menetapkan batasan-batasan, waktu, kadar dan ukuran serta tata caranya. Islam telah mewajibkan kepada manusia untuk melaksanakan ibadah-ibadah tersebut ketika terpenuhi syarat-syaratnya, artinya seseorang tidak boleh meninggalkannya atau menangguhkannya bila telah diwajibkan baginya suatu kewajiban.

Ibadah-ibadah itu berupa perealisasian perbuatan yang diyakini di dalam jiwanya sebagai bentuk ungkapan pengesaan Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu yang dijabarkan dengan rukun-rukun amaliah Islam dan kaidah-kaidah dasarnya.

Melaksanakan syiar-syiar Islam yang berupa sholat,puasa, zakat, haji harus sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu sesuai tuntunan penugasan (“lakukan” dan “ jangan lakukan”). Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan tuntunan ini dalam kitab-Nya yang mulia

“(dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.(An-Nahl: 89)

Dalam ayat lain disebutkan:

“Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (Al-An’am: 38)

Allah subhanahu wa ta’ala juga telah mengutus Rosul-Nya untuk menjelaskan ayat-ayat tersebut, termasuk hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,”(An-Nahl: 44).

Penjelasan yang dilakukan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mencakup penjelasan lafadz dan maknanya. Setelah adanya penjelasan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ini manusia bisa menyembah Rabb mereka berdasarkan ilmu yang benar, dan dengan demikian terputuslah alasan orang-orang yang mengagungkan selain Allah subhanahu wa ta’ala atau mereka yang menyembah Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara yang yang tidak diperintahkan, yaitu mereka memasukkan bid’ah dan kesesatan ke dalam ibadahnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

(mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (An Nisa : 165)

Jika seorang muslim memerlukan makan dan minum untuk menopang tulang punggungnya dan menguatkan tubuhnya, maka ia pun memerlukan sesuatu untuk dikonsumsi oleh jiwanya yaitu berupa pengenalan terhadap aqidah yang benar dan rahasia-rahasia ibadah, termasuk waktu-waktunya, kadar dan ukurannya serta tatacaranya, dan semuanya itu harus berdasarkan dalil yang shahih dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Dengan demikian dahaganya akan sirna, hatinya pun menjadi tenang dan jiwanya akan teguh dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan cara yang telah ditentukan.

Sesungguhnya risalah Allah subhanahu wa ta’ala telah diberlakukan, melalui para RasulNya dan telah diwariskan kepada para ulama’ umat ini dan telah menjadi milik kaum mukminin, hingga dibangkitkannya manusia guna menghadap Allah subhanahu wa ta’ala Tuhan semesta alam.

Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan para ulama sebagai sumber yang mengarahkan manusia, simbol petunjuk dan tuntunan. Mereka laksana pohon berbuah yang membutuhkan orang yang mau mengulurkan tangannya untuk memetik panennya, dan laksana bunga merekah yang membutuhkan orang hendak memanfaatkan keindahan dan aromanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui” (Al-Anbiya’: 7)

http://misykatulatsar.wordpress.com/2012/02/18/hikmah-penciptaan-manusia/