Jumat, 30 November 2012

Hukuman Bagi Pezina


Ustadz Kholid Syamhudi Lc.


Tidak dapat dipungkiri, meninggalkan syari’at islam akan menimbulkan akibat buruk di dunia dan akhirat. Kaum muslimin jauh dari ajaran agama mereka, menyebabkan mereka kehilangan kejayaan dan kemuliaan. Diantara ajaran islam yang ditinggalkan dan dilupakan oleh kaum muslimin adalah hukuman bagi pezina (Hadduz-Zinâ). Sebuah ketetapan yang sangat efektif menghilangkan atau mengurangi masalah perzinahan. Ketika hukuman ini tidak dilaksanakan, maka tentu akan menimbulkan dampak atau implikasi buruk bagi pribadi dan masyarakat. 

Realita dewasa ini mestinya sudah cukup menjadi pelajaran bagi kita untuk memahami dampak buruk ini. 

Melihat realita ini, maka sangat perlu ada yang mengingatkan kaum muslimin terhadap hukuman ini. Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kesadaran dan menguatkan keyakinan mereka akan kemuliaan dan keindahan syari’at islam.

DEFINISI ZINA.
Istilah zina sudah masuk dalam bahasa Indonesia, namun untuk memahami hukum syari’at tentang masalah ini kita perlu mengembalikannya ke pengertian menurut bahasa Arab dan syari’at supaya pas dan benar.

Dalam bahasa arab, zina diambil dari kata : زَنَى يَزْنِي زِنىً ، وزِنَاءً yang artinya berbuat fajir (nista).[1]

Sedangkan dalam istilah syari’at zina adalah melakukan hubungan seksual (jima’) di kemaluan tanpa pernikahan yang sah, kepemilikan budak dan tidak juga karena syubhat.[2]

Ibnu Rusyd rahimahullah menyatakan: Zina adalah semua hubungan seksual (jima’) diluar pernikahan yang sah dan tidak pada nikah syubhat dan kepemilikan budak. (Definisi ini) secara umum sudah disepakati para ulama islam, walaupun mereka masih berselisih tentang syubhat yang dapat menggagalkan hukuman atau tidak ?[3] 

HUKUM ZINA
Perbuatan zina diharamkan dalam syari’at islam, termasuk dosa besar, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk". [al-Isrâ/17:32]

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا

"Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina". [al-Furqân/25: 68-69]

Dalam hadits, Nabi juga mengharamkan zina seperti yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu 'anhu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:

سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ ؟، قَالَ: أَنْ تَجْعَلَ للَِّهِ نِداً وَهُوَ خَلَقَكَ ، قُلْتُ:ثُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ: أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ ، قُلْتُ:ثُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ: أَنْ تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ جَارِكَ 

"Aku telah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : Dosa apakah yang paling besar ? Beliau menjawab : Engkau menjadikan tandingan atau sekutu bagi Allah , padahal Allah Azza wa Jalla telah menciptakanmu. Aku bertanya lagi : “Kemudian apa?” Beliau menjawab: Membunuh anakmu karena takut dia akan makan bersamamu.” Aku bertanya lagi : Kemudian apa ? Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab lagi: Kamu berzina dengan istri tetanggamu".[4,5]

Sejak dahulu hingga sekarang, kaum muslimin sepakat bahwa perbuatan zina itu haran. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullaht berkata : Saya tidak tahu ada dosa yang lebih besar dari zina (selain) pembunuhan.[6] 

HUKUMAN PEZINA.
Pelaku zina ada yang berstatus telah menikah (al-Muhshân) dan ada pula yang belum menikah (al-Bikr). Keduanya memiliki hukuman berbeda.

Hukuman pezina diawal Islam berupa kurungan bagi yang telah menikah dan ucapan kasar dan penghinaan kepada pezina yang belum menikah (al-Bikr). Allah Azza wa Jalla berfirman : " Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang". [an-Nisâ`/ 4:15-16]

Kemudian sanksi itu diganti dengan rajam (dilempar batu) bagi yang telah menikah (al-Muhshân) dan dicambuk seratus kali bagi yang belum menikah (al-Bikr) dan ditambah pengasingan setahun.

a. Pezina al-Muhshân
Pezina yang pernah menikah (al-Muhshân) dihukum rajam (dilempar dengan batu) sampai mati. Hukuman ini berdasarkan al-Qur`an, hadits mutawatir dan ijma’ kaum muslimin[7]. Ayat yang menjelaskan tentang hukuman rajam dalam al-Qur`an meski telah dihapus lafadznya namun hukumnya masih tetap diberlakukan. Umar bin Khatthab Radhiyallahu 'anh menjelaskan dalam khuthbahnya :

إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ عَلَى نَبِيِّهِ الْقُرْآنَ وَكَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ فَقَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا وَرَجَمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ وَ أَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُوْلُوْا : لاَ نَجِدُ الرَّجْمَ فِيْ كِتَابِ الله فَيَضِلُّوْا بِتَرْكِ فَرِيْضَةٍ أَنْزَلَهَا اللهُ وَ ِإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ ثَابِتٌ فِيْ كِتَابِ اللهِ عَلَى مَنْ زَنَا إِذَا أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَل أَوْ الإِعْتِرَاف.

"Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur`an kepada NabiNya dan diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat Rajam. Kami telah membaca, memahami dan mengetahui ayat itu. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melaksanakan hukuman rajam dan kamipun telah melaksanakannya setelah beliau. Aku khawatir apabila zaman telah berlalu lama, akan ada orang-orang yang mengatakan: “Kami tidak mendapatkan hukuman rajam dalam kitab Allah!” sehingga mereka sesat lantaran meninggalkan kewajiban yang Allah Azza wa Jalla telah turunkan. Sungguh (hukuman) rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah untuk orang yang berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshân), bila telah terbukti dengan pesaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri". [8]

Ini adalah persaksian khalifah Umar bin al-Khatthâb Radhiyallahu 'anhu diatas mimbar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dihadiri para sahabat sementara itu tidak ada seorangpun yang mengingkarinya [9]. Sedangkan lafadz ayat rajam tersebut diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Mâjah berbuny :

وَالشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوْهُمَا الْبَتَهْ نَكَلاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

"Syaikh lelaki dan perempuan apabila keduanya berzina maka rajamlah keduanya sebagai balasan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana [10]. 

Sedangkan dasar hukuman rajam yang berasal dari sunnah, maka ada riwayat mutawatir dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik perkataan maupun perbuatan yang menerangkan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah merajam pezina yang al-Muhshân (ats-Tsaib al-Zâni)[11] 

Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Para ulama telah berijma’ (sepakat) bahwa orang yang dihukum rajam, terus menerus dilempari batu sampai mati.[12]

Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: Kewajiban merajam pezina al-muhshân baik lelaki atau perempuan adalah pendapat seluruh para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama-ulama setelah mereka diseluruh negeri islam dan kami tidak mengetahui ada khilaf (perbedaan pendapat diantara para ulama) kecuali kaum Khawarij [13].

Meski demikian, hukuman rajam ini masih saja diingkari oleh orang-orang Khawarij dan sebagian cendikiawan modern padahal mereka tidak memiliki hujjah dan hanya mengikuti hawa nafsu serta nekat menyelisihi dalil-dalil syar’i dan ijma’ kaum muslimin. Wallahul musta’an.

Hukuman rajam khusus diperuntukkan bagi pezina al-muhshân (yang sudah menikah dengan sah-red) karena ia telah menikah dan tahu cara menjaga kehormatannya dari kemaluan yang haram dan dia tidak butuh dengan kemaluan yang diharamkan itu. Juga ia sendiri dapat melindungi dirinya dari ancaman hukuman zina. Dengan demikian, udzurnya (alasan yang sesuai syara’) terbantahkan dari semua sisi . dan dia telah mendapatkan kenikmatan sempurna. Orang yang telah mendapatkan kenikmatan sempuna (lalu masih berbuat kriminal) maka kejahatannya (jinayahnya) lebih keji, sehingga ia berhak mendapatkan tambahan siksaan[15]. 

Syarat al-Muhshân.
Rajam tidak diwajibkan kecuali atas orang yang dihukumi al-Muhshân. Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa seorang dihukumi sebagai al-Muhshaan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Pernah melakukan jima’ (hubungan seksual) langsung di kemaluan. Dengan demikian, orang yang telah melakukan aqad pernikahan namun belum melakukan jima’ , belum dianggap sebagai al-Muhshân.
2. Hubungan seksual (jima’) tersebut dilakukan berdasarkan pernikahan sah atau kepemilikan budak bukan hubungan diluar nikah
3. Pernikahannya tersebut adalah pernikahan yang sah.
4. Pelaku zina adalah orang yang baligh dan berakal.
5. Pelaku zina merdeka bukan budak belian.

Dengan demikian seorang dikatakan al-Muhshân, apabila kriteria diatas sudah terpenuhi.[16]

b. Pezina Yang Tidak al-Muhshân
Pelaku perbuatan zina yang belum memenuhi kriteria al-muhshân, maka hukumannya adalah dicambuk sebanyak seratus kali. Ini adalah kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah (cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (cambuk)". [An-Nûr/24:2]

Al-Wazîr rahimahullah menyatakan : “Para ulama sepakat bahwa pasangan yang belum al-muhshân dan merdeka (bukan budak-red), apabila mereka berzina maka keduanya dicambuk (dera), masing-masing seratus kali.

Hukuman mati (dengan dirajam-red) diringankan buat mereka menjadi hukuman cambuk karena ada udzur (alasan syar’i-red) sehingga darahnya masih dijaga. Mereka dibuat jera dengan disakiti seluruh tubuhnya dengan cambukan. Kemudian ditambah dengan diasingkan selama setahun menurut pendapat yang rajah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

خُذُوْا عَنِّيْ ، خُذُوْا عَنِّيْ ، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيْلاً ، الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جِلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبُ عَامٍ .

"Ambillah dariku! ambillah dariku! Sungguh Allah telah menjadikan bagi mereka jalan, yang belum al-muhshaan dikenakan seratus dera dan diasingkan setahun." [HR Muslim].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan : “Apabila tidak muhshân , maka dicambuk seratus kali, berdasarkan al-Qur`an dan diasingkan setahun dengan dasar sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. [17]. 

KEKHUSUSAN HUKUMAN PEZINA.
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan tiga karakteristik khusus bagi hukuman zina :
1. Hukuman yang keras, yaitu rajam untuk al-Muhshân dan itu adalah hukuman mati yang paling mengenaskan dan sakitnya menyeluruh keseluruh badan. Juga cambukan bagi yang belum al-muhshân merupakan siksaan terhadap seluruh badan ditambah dengan pengasingan yang merupakan siksaan batin.
2. Manusia dilarang merasa tidak tega dan kasihan terhadap pezina
3. Allah memerintahkan pelaksanaan hukuman ini dihadiri sekelompok kaum mukminin. Ini demi kemaslahatan hukuman dan lebih membuat jera.
Hal ini disampaikan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya: "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman" [an-Nûr/24:2]

SYARAT PENERAPAN HUKUMAN ZINA.
Dalam penerapan hukuman zina diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Pelakunya adalah seorang mukallaf yaitu sudah baligh dan berakal (tidak gila). 
2. Pelakunya berbuat tanpa ada paksaan.
3. Pelakunya mengetahui bahwa zina itu haram, walaupun belum tahu hukumannya.[18] 
4. Jima’ (hubungan seksual) terjadi pada kemaluan. 
5. Tidak adanya syubhat. Hukuman zina tidak wajib dilakukan apabila masih ada syubhat seperti menzinahi wanita yang ia sangka istrinya atau melakukan hubungan seksual karena pernikahan batil yang dianggap sah atau diperkosa dan sebagainya. 
Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan : “Semua para ulama yang saya hafal ilmu dari mereka telah berijma’ (bersepakat) bahwa had (hukuman) dihilangkan dengan sebab adanya syubhat.” [19] 
6. Zina itu benar-benar terbukti dia lakukan. Pembuktian ini dengan dua perkara yang sudah disepakati para ulama yaitu:

6.1. Pengakuan dari pelaku zina yang mukallaf dengan jelas dan tidak mencabut pengakuannya sampai hukuman tersebut akan dilaksanakan. 
6.2. Persaksian empat saksi yang melihat langsung kejadian, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

لَوْلَا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ

"Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu." [an-Nûr/24:13]

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ

"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi.…." [An-Nûr/24:4]

Persaksian yang diberikan oleh para saksi ini akan diakui keabsahannya, apabila telah terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Mereka bersaksi pada satu majlis
b. Mereka bersaksi untuk satu kejadian perzinahan saja
c. Menceritakan perzinahan itu dengan jelas dan tegas yang dapat menghilangkan kemungkinan lain atau menimbulkan penafsiran lain seperti hanya melakukan hal-hal diluar jima’.
d. Para saksi adalah lelaki yang adil 
e. Tidak ada yang menghalangi penglihatan mereka seperti buta atau lainnya.

Apabila syarat-syarat ini tidak sempurna, maka para saksi dihukum dengan hukuman penuduh zina. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima keksaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik" [an-Nûr/24:4]

Penetapan terjadinya perbuatan zina dan pemutusan saksi dengan berdasarkan persaksian dan pengakuan si pelaku yang disebutkan diatas, telah disepakati oleh para ulama. Dan para ulama masih berselisih pendapat tentang hamil diluar nikah. Bisakah hal ini dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan bahwa telah terjadi perbuatan zina atau orang ini telah melakukan perbuatan zina sehingga berhak mendapatkan sanksi ? 

Para ulama berselisih menjadi dua pendapat :
Pertama : Pendapat jumhur yaitu madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah (hanabilah) menyatakan bahwa hukuman pezina tidak ditegakkan atau dilaksanakan kecuali dengan pengakuan dan persaksian saja. 

Kedua : Pendapat madzhab Malikiyah menyatakan hukuman pezina dapat ditegakkan dengan indikasi kehamilan.

Yang rajih dari dua pendapat diatas adalah pendapat madzhab Malikiyah sebagaimana dirajihkan syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau rahimahulllah menyatakan bahwa seorang wanita dihukum dengan hukuman zina apabila ketahuan hamil dalam keadaan tidak memiliki suami, tidak memiliki tuan (jika ia seorang budak-red) serta tidak mengklain adanya syubhat dalam kehamilannya.[20]

Beliau rahimahullah pun menyatakan : “Inilah yang diriwayatkan dari para khulafâ’ rasyidin dan ia lebih pas dengan pokok kaedah syari’at.[21]

Dalil beliau rahimahullah dan juga madzhab Malikiyah adalah pernyataan Umar bin Khatthab Radhiyallahu 'anhu dalam khutbahnya :

وَ ِإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ ثَابِتٌ فِيْ كِتَابِ اللهِ عَلَى مَنْ زَنَا إِذَا أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَل أَوْ الإِعْتِرَاف.

"Sungguh rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah atas orang yang berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshaan), bila tegak padanya persaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri" [22]. 

Jelaslah dari pernyataan Umar bin al-Khatthab Radhiyallahu 'anhu diatas bahwa beliau menjadikan kehamilan sebagai indikasi perzinahan dan tidak ada seorang sahabatpun waktu itu yang mengingkarinya.

al-Hâfidz Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari riwayat Umar Radhiyallahu 'anhu diatas dengan menyatakan: (Dalam pernyataan Umar diatas) ada pernyataan bahwa wanita apabila didapati dalam keadaan hamil tanpa suami dan juga tidak memiliki tuan, maka wajib ditegakkan padanya hukuman zina kecuali bila dipastikan adanya keterangan lain tentang kehamilannya atau akibat diperkosa.[23]

Demikianlah, mudah-mudahan bermanfaat.

Referensi:
1. Hâsyiyah ar-Raudh al-murbi’ syarh Zad al-Mustaqni’, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qâsim, cetakan ke-6 tahun 1417 H tanpa penerbit.
2. al-Mulakhash al-Fiqhiy, Syaikh Shalih bin Fauzân ali Fauzân, cetakan pertama tahun 1422 H, Ri’asah Idaarah al-Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Ifta’.
3. Al-Mughni, Imam Ibnu Qudamah, Tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin at-Turki, cetakan kedua tahun 1413H, penerbit Hajar 
4. Tas-hîlul-Ilmâm bi Fiqhi Lil Ahâdits Min Bulûgh al-Marâm, Syaikh Shalih bin Fauzân ali Fauzân, cetakan pertama tahun 1427 H. tanpa penerbit.
5. Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zâd al-Mustaqni’ , Syaikh Muhamad bin shâlih al-Utsaimin, cetakan pertama tahun 1427 H, Dar ibnu al-Jauzi.
6. Taisîr al-Fiqhi al-Jâmi’ Li Ikhtiyârât al-Fiqhiyah Lisyaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, DR. Ahmad Muwâfi cetakan pertama tahun 1416 H, Dar Ibnu al-Jauzi.
7. Fathul Bâri dll.

_______
Footnote
[1]. al Muhîth 
[2]. Hâsyiayah ar-Raudh al-murbi’ 7/312
[3]. Bidâyah al-Mujtahid 2/529 dan lihat ar-Raudh al-Murbi’ syarh Zâd al-Mustaqni’ 7/312 dan al-Mulakhash al-Fiqh hal. 528
[4]. HR al-Bukhâri dalam kitab al-Adab, Bab Qatlul-Walad Khasy-yata ayya`kula ma’ahu 10/33 dan Muslim dalam kitab al-Iimân 2/80.
[5]. Lihat lebih lanjut kitab al-Mughni 12/308
[6]. ar-Raudh al-Murbi’ 7/312
[7]. Lihat Tashîlul-Ilmâm Bi Fiqhi Lil Ahâdîts Min Bulûgh al-Marâm, Shalih al-fauzân 5/230
[8]. HR al-Bukhâri dalam kitab al-Hudûd, Bab al-I’tirâf biz-Zinâ 1829 dan Muslim dalam kitab al-Hudûd no. 1691.
[9]. Dari pernyataan Syeikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhu al-Mumti’ 14/229.
[10]. HR Ibnu Mâjah kitab al-Hudûd Bab ar-Rajmu dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibnu Mâjah 2/81 
[11]. Tas-hîlul-Ilmâm bi Fiqhi Lil Ahâdîts Min Bulûgh al-Marâm, Syaikh Shâlih al-Fauzân 5/230.
[12]. Dinukil dari al-Mughni 12/310.
[13]. Al-Mughni 12/309..
[14]. Cuplikan dari ar-Raudh al-Murbi’ 7/312.
[15]. Cuplikan dari al-Mulakhas al-Fiqhi 2/529.
[16]. Lihat penjelasan para ulama tentang hal ini dalam al-Mughni 12/314-318.
[17]. Majmû’ Fatâwâ 28/333 dinukil dari Taisîr al-Fiqhi al-Jâmi’ Li Ikhtiyârât al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islâm Ibnu Taimiyah, DR. Ahmad Muwâfi 3/1445. 
[18]. Syarhu al-Mumti’ 14/207-210 
[19]. al-Mulakhas al-Fiqhiy, 530-531
[20]. Lihat Majmu’ Fatawa 28/334
[21]. ibid
[22]. HR al-Bukhaari dalam kitab al-Hudud, Bab al-I’tiraf biz-Zinaa 1829 dan Muslim dalam kitab al-Hudud no. 1691.
[23]. Fathu al-Baari 12/160 

https://www.facebook.com/notes/new-abu-warda/hukuman-untuk-pezina/291230030998002

Pertanyaan

Seorang gadis –yang karena kekhilafannya- berzina dengan seorang laki-laki. Tetapi kemudian menyatakan sungguh-sungguh bertaubat dan memahami konsekwensi hukum dari perzinahan, yaitu dirajam. Sementara itu, dua tahun kemudian ada seorang laki-laki lain yang ingin menikahinya. Yang menjadi pertanyaan :
1. Apa yang dimaksud dengan hukum rajam bagi pezina?
2. Siapakah yang berhak melakukan hukum rajam?
3. Bila sudah bertaubat dengan sebenar-benarnya, haruskah tetap menjalani hukum rajam?
4. Jika melangsungkan pernikahan dengan laki-laki lain, haruskah menceritakan tentang masa lalunya kepada calon suaminya?
5. Apakah gadis ini, masih dibolehkan berdakwah?
6. Bagaimana jika masyarakat mengetahui perihal masa lalunya yang telah ditutupinya itu?
7. Amalan apakah yang bisa menghapuskan dosa masa lalu (seperti zina ini)?
Yang masih menjadi kebingungan, apakah gadis itu tetap melangsungkan pernikahan dengan calon suaminya, atau bagaimana? 

Jawaban

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan Saudari, perlu kami tegaskan, hendaklah setiap muslimah selalu menjaga kehormatannya. Memperhatikan batasan pergaulan yang telah ditetapkan syariat, baik di dalam maupun di luar rumah. Jangan sampai terlalu percaya diri, lalu bergaul bebas dan bercampur baur dengan lawan jenisnya, baik ikhtilat atau ber-khalwat. Karena hal ini merupakan jalan-jalan menuju perzinahan. Allah telah melarang hal tersebut dalam firmanNya,
وَلاَتَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلاً
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. [Al Isra’:32].

Larangan ini seharusnya membuat kita selalu berhati-hati terhadap perzinaan dan hal-hal yang mengantar kepadanya. Sehingga kita terhindar dari perkara yang menimpa saudari kita tersebut.
Sedangkan kepada gadis tersebut, hendaklah ia tetap melanjutkan pernikahan yang telah direncanakannya, dan jangan menceritakan keburukan masa lalunya kepada suami (calon suami) atau orang lain. Adapun perincian jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat Saudari ikuti penjelasan di bawah ini.
Pertama . Maksud Hukum Rajam Dan Cambuk Bagi Pezina.
Zina merupakan dosa besar. Barangsiapa berbuat zina, maka hukumannya menurut agama Islam ialah sebagai berikut:
1. Jika pelakunya muhshan (pernah berjima’ dengan nikah yang sah), mukallaf (sudah baligh dan berakal), suka rela (tidak dipaksa, tidak diperkosa), maka dia dicambuk 100 kali, kemudian dirajam, berdasarkan keumuman ayat 2 surat An Nur, dan perbuatan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Atau cukup dirajam, tanpa didera, dan ini lebih baik, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu 'anhu dan Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu.
2. Jika pelakunya belum menikah, maka dia didera (dicambuk) 100 kali. Kemudian diasingkan selama setahun. [1]
Dirajam yaitu dilempari batu sampai mati. Caranya, orangnya ditanam berdiri di dalam tanah sampai dadanya, lalu dilempari batu sampai mati.
Berikut ini diantara dalil tentang hukum dera (cambuk) dan rajam ini:
Allah Subhanahu wa Ta'alal berfirman
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَتَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. [An Nur : 2]
Hal ini juga disebutkan dalam banyak hadits. Antara lain :
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang lain kepada mereka, [2] yaitu orang yang belum menikah (berzina) dengan orang yang belum menikah, (hukumnya) dera 100 kali dan diasingkan setahun. Adapun orang yang sudah menikah (berzina) dengan orang yang sudah menikah (hukumnya) dera 100 kali dan rajam. [3]
Juga hadits di bawah ini:
عَنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ يَقُولُ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ قَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا فَرَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ مَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ وَإِنَّ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أَحْصَنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوِ الِاعْتِرَافُ
Dari Abdullah bin ‘Abbas, dia berkata, Umar bin Al Khaththab berkata, -sedangkan beliau duduk di atas mimbar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam-, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa al haq, dan menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepadanya. Kemudian diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat rajam. Kita telah membacanya, menghafalnya, dan memahaminya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melaksanakan (hukum) rajam, kitapun telah melaksanakan (hukum) rajam setelah beliau (wafat). Aku khawatir jika zaman telah berlalu lama terhadap manusia, akan ada seseorang yang berkata, ‘Kita tidak dapati (hukum) rajam di dalam kitab Allah’, sehingga mereka akan sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Sesungguhnya (hukum) rajam benar-benar ada di dalam kitab Allah terhadap orang yang berzina, padahal dia telah menikah, dari kalangan laki-laki dan wanita, jika bukti telah tegak (nyata dengan empat saksi, red.), atau terbukti hamil, atau pengakuan.” [4]
Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata dalam kitab Duraril Bahiyyah,“Dan digalikan (liang) untuk orang yang dirajam sampai dada.”
Kemudian Imam Shiddiq Hasan Khan rahimahullah mengomentari perkataan di atas,“Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan membuat lubang untuk seorang wanita suku Ghomidi yang (dirajam) sampai dadanya. Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim. Dan lainnya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat lubang untuk Ma’iz, kemudian beliau memerintahkan sehingga dia dirajam, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Buraidah dalam kisah Ma’iz.” [5]
Kedua : Yang Melaksanakan Rajam.
Adapun yang berhak melaksanakan hukum di atas (cambuk dan rajam bagi pezina) ialah penguasa kaum muslimin, penguasa yang mampu menegakkan syari’at Allah. Karena hukum tersebut termasuk hudud [6], yang merupakan kewajiban penguasa. Jadi bukan hak sembarang orang.
Syeikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhawayyan rahimahullah berkata,“Tidak (berhak) menegakkan had, kecuali imam (penguasa kaum muslimin) atau wakilnya; sama saja, apakah had itu karena hak Allah, seperti had zina. Atau karena hak manusia, seperti had tuduhan. Karena hal itu membutuhkan ijtihad dan tidak aman dari penyimpangan, maka wajib diserahkan kepadanya. Pada masa hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm, beliaulah yang menegakkan hudud. Demikian juga para khalifah setelahnya. Dan wakil imam (haknya) seperti imam, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,’… Hai Unais, pergilah kepada wanita itu. Jika dia mengaku (berzina), rajamlah!’. Kemudian wanita itu mengaku (berzina), maka dia merajamnya. Beliau juga memerintahkan merajam Ma’iz, tetapi beliau tidak menghadirinya.” [7].
Menegakkan hudud merupakan hak imam. Ini merupakan ijma’ para ulama kaum muslimin. Akan tetapi terdapat pengecualian, yaitu bagi seorang tuan yang menegakkan had terhadap budaknya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا زَنَتِ الْأَمَةُ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا فَلْيَجْلِدْهَا وَلَا يُثَرِّبْ ثُمَّ إِنْ زَنَتْ فَلْيَجْلِدْهَا وَلَا يُثَرِّبْ ثُمَّ إِنْ زَنَتِ الثَّالِثَةَ فَلْيَبِعْهَا وَلَوْ بِحَبْلٍ مِنْ شَعَرٍ
Jika seorang budak wanita telah berzina, dan telah nyata zinanya, maka hendaknya (tuannya) mendera (mencambuknya), dan janganlah dia menjelak-jelekannya. Jika dia berzina lagi, maka hendaknya (tuannya) menderanya, dan janganlah dia menjelak-jelekannya. Jika dia berzina yang ketiga kali, hendaklah (tuannya) menjualnya, walaupun dengan seutas tali terbuat dari rambut. [8]
Namun bagaimanakah jika penguasa tidak menegakkan hudud?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimauhllah menyatakan,“Perkataan orang yang berkata,’Tidak berhak menegakkan hudud kecuali sulthan (penguasa) dan wakil-wakilnya’, adalah jika mereka berkuasa, melaksanakan keadilan… Demikian juga jika amir (penguasa) menyia-nyiakan hudud, atau tidak mampu menegakkannya. Maka tidak wajib menyerahkan hudud kepadanya, jika memungkinkan menegakkannya tanpa penguasa.
Yang pokok, sesungguhnya kewajiban-kewajiban ini ditegakkan sebaik-baiknya. Jika memungkinkan ditegakkan oleh satu amir (penguasa), maka tidak membutuhkan kepada dua amir. Dan apabila tidak dapat ditegakkan, kecuali dengan banyak orang dan dengan tanpa sulthan (penguasa), maka hal itu (dapat) ditegakkan, jika menegakkannya itu tidak menimbulkan kerusakkan yang lebih besar daripada tidak menegakkannya. Karena hal itu termasuk amar ma’ruf nahi mungkar. Maka, jika menegakkannya itu menimbulkan kerusakan yang lebih besar pada penguasa maupun rakyat daripada tidak ditegakkan, maka kerusakan itu tidak dilawan dengan kerusakan yang lebih besar.” [9]
Dari perkataan Syaikhul Islam tersebut, beliau membolehkan ditegakkannya hudud oleh selain penguasa dengan tiga syarat. Pertama, penguasa tidak melaksanakan, atau tidak mampu. Kedua, orang yang menegakkannya mampu melakukan. Jika cukup satu orang, maka tidak membutuhkan dua orang. Jika membutuhkan lebih, maka ditegakkan oleh secara bersama. Ketiga, dalam menegakkan hudud, tidak boleh menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada tidak ditegakkannya.
Perkataan Syaikhul Islam ini dapat difahami sebagai berikut:
1. Hal itu jika dalam keadaan imam atau amir itu banyak. Maka, setiap imam (amir) itu wajib menegakkan hudud atas para pengikutnya (rakyatnya), tanpa melihat siapa yang paling berkuasa. Inilah yang dapat diterima, insya Allah.
2. Bahwa setiap orang berhak menegakkan hudud dan melakukan qishash.
Tetapi, kemungkinan ini tidak dapat diterima. Karena bertentangan dengan ijma’ ulama, bahwa hudud diserahkan kepada penguasa. Dan hal itu akan menimbulkan kekacauan serta kerusakan yang lebih besar. Sehingga syarat ketiga sebagaimana tersebut di atas tidak terpenuhi.
Oleh karena itu, mengomentari perkataan yang diriwayatkan Al Qaffal yang berbunyi: Tiap-tiap orang boleh melakukan hudud, maka Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,“Ini tidak ada apa-apanya.” [10]
Ketiga :Bila sudah bertaubat dari zina, apakah tetap harus dirajam?
Jika seseorang sudah bertaubat dari zina (atau pencurian, minum khamr, dan lainnya), dan urusannya belum sampai kepada penguasa Islam yang menegakkan syari’at, maka had zina (cambuk atau rajam) gugur dari orang yang bertaubat tersebut. Hal ini dengan dalil-dalil sebagai berikut:
Firman Allah.
وَالَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنكُمْ فَئَاذُوهُمَا فَإِن تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَآ إِنَّ اللهَ كَانَ تَوَّابًا رَّحِيمًا
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji diantara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya. Kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [An Nisa’:16].
فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ
Maka barangsiapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Maidah:39]
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
Orang yang bertaubat dari semua dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa. [11]
Hadits dari Nu’aim bin Hazzal,
كَانَ مَاعِزُ بْنُ مَالِكٍ يَتِيمًا فِي حِجْرِ أَبِي فَأَصَابَ جَارِيَةً مِنَ الْحَيِّ فَقَالَ لَهُ أَبِي ائْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبِرْهُ بِمَا صَنَعْتَ لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ لَكَ وَإِنَّمَا يُرِيدُ بِذَلِكَ رَجَاءَ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَخْرَجًا فَأَتَاهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَقِمْ عَلَيَّ كِتَابَ اللَّهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَعَادَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَقِمْ عَلَيَّ كِتَابَ اللَّهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَعَادَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَقِمْ عَلَيَّ كِتَابَ اللَّهِ حَتَّى قَالَهَا أَرْبَعَ مِرَارٍ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ قَدْ قُلْتَهَا أَرْبَعَ مَرَّاتٍ فَبِمَنْ قَالَ بِفُلَانَةٍ فَقَالَ هَلْ ضَاجَعْتَهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ هَلْ بَاشَرْتَهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ هَلْ جَامَعْتَهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَمَرَ بِهِ أَنْ يُرْجَمَ فَأُخْرِجَ بِهِ إِلَى الْحَرَّةِ فَلَمَّا رُجِمَ فَوَجَدَ مَسَّ الْحِجَارَةِ جَزِعَ فَخَرَجَ يَشْتَدُّ فَلَقِيَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُنَيْسٍ وَقَدْ عَجَزَ أَصْحَابُهُ فَنَزَعَ لَهُ بِوَظِيفِ بَعِيرٍ فَرَمَاهُ بِهِ فَقَتَلَهُ ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ هَلَّا تَرَكْتُمُوهُ لَعَلَّهُ أَنْ يَتُوبَ فَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَيْهِ
Dahulu Ma’iz bin Malik adalah seorang yatim di bawah asuhan bapakku. Lalu dia menzinahi seorang budak dari suku itu. Maka, bapakku berkata kepadanya,“Pergilah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beritahukan kepada beliau apa yang telah engkau lakukan. Semoga beliau memohonkan ampun untukmu.” Bapakku menghendaki hal itu karena berharap agar Ma’iz memperoleh solusi. Maka Ma’iz mendatangi beliau dan berkata,“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina. Maka tegakkanlah kitab Allah atasku.” Lalu beliau berpaling darinya. Kemudian Ma’iz mengulangi dan berkata,“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina. Maka, tegakkanlah kitab Allah atasku.” Maka beliau berpaling darinya. Kemudian Ma’iz mengulangi dan berkata,“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina. Maka tegakkanlah kitab Allah atasku.” Sampai dia mengulanginya empat kali. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Engkau telah mengatakannya empat kali. Lalu, dengan siapa?” Dia menjawab,“Dengan Si Fulanah.” Lalu beliau bersabda,“Apakah engkau berbaring dengannya?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu beliau bersabda,“Apakah engkau menyentuh kulitnya?” Dia menjawab, “Ya.” Lalu beliau bersabda,“Apakah engkau bersetubuh dengannya?” Dia menjawab,“Ya.”
Maka beliau memerintahkan untuk merajamnya. Kemudian dia dibawa keluar ke Harrah. [12] Tatkala dia dirajam, lalu merasakan lemparan batu. Dia berkeluh-kesah, lalu dia keluar dan berlari. Maka Abdullah bin Unais menyusulnya. Sedangkan sahabat-sahabatnya yang lain telah lelah. Kemudian Abdullah mengambil tulang betis onta, lalu melemparkannya, sehingga dia membunuhnya. Lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menceritakannya kepada beliau. Maka beliau bersabda,“Tidakkah kamu membiarkannya, kemungkinan dia bertaubat, lalu Allah menerima taubatnya!?” [13]
Dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Tidakkah kamu membiarkannya, kemungkinan dia bertaubat, lalu Allah menerima taubatnya?”, menunjukkan gugurnya had dari orang yang bertaubat.
Adapun jika seseorang telah bertaubat, lalu mendatangi penguasa Islam yang menegakkan had dan mengaku berbuat zina, serta memilih ditegakkan had padanya, maka had boleh ditegakkan (walaupun tidak wajib). Jika tidak, maka tidak ditegakkan. [14]
Keempat. : Wajibkah menceritakan tentang masa lalu kepada suami?
Tidak wajib. Bahkan jangan diceritakan keburukan masa lalu tersebut. Karena hal itu sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
Seluruh umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang melakukan dosa secara terang-terangan. Dan sesungguhnya termasuk (hukum) melakukan dosa secara terang-terangan, yaitu seseoran yang melakukan perbuatan (dosa) pada waktu malam, dan Allah telah menutupinya, kemudian pada waktu pagi dia mengatakan,“Hai Fulan, tadi malam aku telah melakukan ini dan itu,” padahal Rabb-nya telah menutupinya pada waktu malam, tetapi pada waktu pagi dia membuka tabir Allah terhadapnya. [15]
Kelima : Berdakwah setelah berzina.
Tidak mengapa. Karena setelah bertaubat, maka seseorang itu seperti tidak memiliki dosa. Dan untuk berdakwah tidak disyaratkan bersih dari dosa.
Keenam : Bagaimana jika mereka mengetahui masa lalu tersebut?
Hendaklah bersabar, karena itu termasuk musibah.
Ketujuh : Amalan yang dapat menghapus dosa zina tanpa rajam.
Taubat, sebagaimana kami jelaskan di atas.
Wallahu a’lam.  
_______
Footnote
[1]. Lihat kitab At Ta’liqat Ar Radhiyyah ‘Ala Ar Raudhah An Nadiyyah, 3/270, karya Syaikh Al Albani, tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan. Juga kitab Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, 2/431-433.
[2]. Isyarat terhadap firman Allah surat An Nisa’ ayat 15, yaitu : Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepada mereka
[3]. HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari ‘Ubadah bin Ash Shamit
[4]. HR Bukhari, Muslim, dan lainnya
[5]. Lihat kitab At Ta’liqat Ar Radhiyyah ‘Ala Ar Raudhah An Nadiyyah, 3/278
[6]. Hudud, jama’ dari had. Yaitu : hukuman-hukuman yang telah ditetapkan syari’at dalam perkara kemaksiatan-kemaksiatan, untuk mencegah terulangnya kemaksitan-kemaksiatan tersebut. Seperti had zina, mabok, tuduhan, pencurian, dan lainnya
[7]. Manarus Sabil Fi Syarhid Dalil 2/324-325, Jum’iyyah Ihyaut Turats Al Islami.
[8]. HR Bukhari no. 6839; Muslim no. 1703; dari Abu Hurairah
[9]. Majmu’ Fatawa 34/176.
[10]. Lihat Taisirul Fiqh Al Jami’ Lil Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, Juz 3, hal. 1431-1441, karya Dr. Ahmad Muwafi
[11]. HR Ibnu Majah no. 4250; dan lainnya, dari Abdullah bin Mas’ud
[12]. Nama tempat di luar kota Madinah.
[13]. HR Muslim, dan lainnya.
[14]. Lihat Majmu’ Fatawa 16/31
[15]. HR Bukhari dan Muslim
https://www.facebook.com/notes/new-abu-warda/hukum-razam-bagi-pezina/291990287588643

Tidak ada komentar:

Posting Komentar