Ustadz Kholid Syamhudi Lc.
Tidak dapat dipungkiri, meninggalkan syari’at islam akan
menimbulkan akibat buruk di dunia dan akhirat. Kaum muslimin jauh dari
ajaran agama mereka, menyebabkan mereka kehilangan kejayaan dan
kemuliaan. Diantara ajaran islam yang ditinggalkan dan dilupakan oleh
kaum muslimin adalah hukuman bagi pezina (Hadduz-Zinâ). Sebuah ketetapan
yang sangat efektif menghilangkan atau mengurangi masalah perzinahan.
Ketika hukuman ini tidak dilaksanakan, maka tentu akan menimbulkan
dampak atau implikasi buruk bagi pribadi dan masyarakat.
Realita dewasa ini mestinya sudah cukup menjadi pelajaran bagi kita untuk memahami dampak buruk ini.
Melihat realita ini, maka sangat perlu ada yang mengingatkan kaum
muslimin terhadap hukuman ini. Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan
kesadaran dan menguatkan keyakinan mereka akan kemuliaan dan keindahan
syari’at islam.
DEFINISI ZINA.
Istilah zina sudah masuk dalam bahasa Indonesia, namun untuk memahami
hukum syari’at tentang masalah ini kita perlu mengembalikannya ke
pengertian menurut bahasa Arab dan syari’at supaya pas dan benar.
Dalam bahasa arab, zina diambil dari kata : زَنَى يَزْنِي زِنىً ، وزِنَاءً yang artinya berbuat fajir (nista).[1]
Sedangkan dalam istilah syari’at zina adalah melakukan hubungan seksual
(jima’) di kemaluan tanpa pernikahan yang sah, kepemilikan budak dan
tidak juga karena syubhat.[2]
Ibnu Rusyd rahimahullah menyatakan: Zina adalah semua hubungan seksual
(jima’) diluar pernikahan yang sah dan tidak pada nikah syubhat dan
kepemilikan budak. (Definisi ini) secara umum sudah disepakati para
ulama islam, walaupun mereka masih berselisih tentang syubhat yang dapat
menggagalkan hukuman atau tidak ?[3]
HUKUM ZINA
Perbuatan zina diharamkan dalam syari’at islam, termasuk dosa besar, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk". [al-Isrâ/17:32]
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ
النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ
وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا
"Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan
tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan
(alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan
demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan
dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal
dalam azab itu, dalam keadaan terhina". [al-Furqân/25: 68-69]
Dalam hadits, Nabi juga mengharamkan zina seperti yang diriwayatkan dari
Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu 'anhu, beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّ
الذَّنْبِ أَعْظَمُ ؟، قَالَ: أَنْ تَجْعَلَ للَِّهِ نِداً وَهُوَ خَلَقَكَ
، قُلْتُ:ثُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ: أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ
يَطْعَمَ مَعَكَ ، قُلْتُ:ثُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ: أَنْ تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ
جَارِكَ
"Aku telah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
Dosa apakah yang paling besar ? Beliau menjawab : Engkau menjadikan
tandingan atau sekutu bagi Allah , padahal Allah Azza wa Jalla telah
menciptakanmu. Aku bertanya lagi : “Kemudian apa?” Beliau menjawab:
Membunuh anakmu karena takut dia akan makan bersamamu.” Aku bertanya
lagi : Kemudian apa ? Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab
lagi: Kamu berzina dengan istri tetanggamu".[4,5]
Sejak dahulu hingga sekarang, kaum muslimin sepakat bahwa perbuatan zina
itu haran. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullaht berkata : Saya tidak
tahu ada dosa yang lebih besar dari zina (selain) pembunuhan.[6]
HUKUMAN PEZINA.
Pelaku zina ada yang berstatus telah menikah (al-Muhshân) dan ada pula
yang belum menikah (al-Bikr). Keduanya memiliki hukuman berbeda.
Hukuman pezina diawal Islam berupa kurungan bagi yang telah menikah dan
ucapan kasar dan penghinaan kepada pezina yang belum menikah (al-Bikr).
Allah Azza wa Jalla berfirman : " Dan (terhadap) para wanita yang
mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara
kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai
mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain
kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di
antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika
keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang". [an-Nisâ`/
4:15-16]
Kemudian sanksi itu diganti dengan rajam (dilempar batu) bagi yang telah
menikah (al-Muhshân) dan dicambuk seratus kali bagi yang belum menikah
(al-Bikr) dan ditambah pengasingan setahun.
a. Pezina al-Muhshân
Pezina yang pernah menikah (al-Muhshân) dihukum rajam (dilempar dengan
batu) sampai mati. Hukuman ini berdasarkan al-Qur`an, hadits mutawatir
dan ijma’ kaum muslimin[7]. Ayat yang menjelaskan tentang hukuman rajam
dalam al-Qur`an meski telah dihapus lafadznya namun hukumnya masih tetap
diberlakukan. Umar bin Khatthab Radhiyallahu 'anh menjelaskan dalam
khuthbahnya :
إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ عَلَى نَبِيِّهِ الْقُرْآنَ وَكَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ
عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ فَقَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا
وَرَجَمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ وَ
أَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُوْلُوْا : لاَ نَجِدُ
الرَّجْمَ فِيْ كِتَابِ الله فَيَضِلُّوْا بِتَرْكِ فَرِيْضَةٍ أَنْزَلَهَا
اللهُ وَ ِإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ ثَابِتٌ فِيْ كِتَابِ اللهِ عَلَى مَنْ
زَنَا إِذَا أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَل أَوْ
الإِعْتِرَاف.
"Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur`an kepada NabiNya dan
diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat Rajam. Kami telah
membaca, memahami dan mengetahui ayat itu. Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah melaksanakan hukuman rajam dan kamipun telah
melaksanakannya setelah beliau. Aku khawatir apabila zaman telah berlalu
lama, akan ada orang-orang yang mengatakan: “Kami tidak mendapatkan
hukuman rajam dalam kitab Allah!” sehingga mereka sesat lantaran
meninggalkan kewajiban yang Allah Azza wa Jalla telah turunkan. Sungguh
(hukuman) rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah untuk orang yang
berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshân), bila telah terbukti
dengan pesaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri". [8]
Ini adalah persaksian khalifah Umar bin al-Khatthâb Radhiyallahu 'anhu
diatas mimbar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dihadiri
para sahabat sementara itu tidak ada seorangpun yang mengingkarinya [9].
Sedangkan lafadz ayat rajam tersebut diriwayatkan dalam Sunan Ibnu
Mâjah berbuny :
وَالشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوْهُمَا الْبَتَهْ نَكَلاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
"Syaikh lelaki dan perempuan apabila keduanya berzina maka rajamlah
keduanya sebagai balasan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Allah maha
perkasa lagi maha bijaksana [10].
Sedangkan dasar hukuman rajam yang berasal dari sunnah, maka ada riwayat
mutawatir dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik perkataan
maupun perbuatan yang menerangkan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah merajam pezina yang al-Muhshân (ats-Tsaib al-Zâni)[11]
Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Para ulama telah berijma’
(sepakat) bahwa orang yang dihukum rajam, terus menerus dilempari batu
sampai mati.[12]
Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: Kewajiban merajam pezina
al-muhshân baik lelaki atau perempuan adalah pendapat seluruh para ulama
dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama-ulama setelah mereka diseluruh
negeri islam dan kami tidak mengetahui ada khilaf (perbedaan pendapat
diantara para ulama) kecuali kaum Khawarij [13].
Meski demikian, hukuman rajam ini masih saja diingkari oleh orang-orang
Khawarij dan sebagian cendikiawan modern padahal mereka tidak memiliki
hujjah dan hanya mengikuti hawa nafsu serta nekat menyelisihi
dalil-dalil syar’i dan ijma’ kaum muslimin. Wallahul musta’an.
Hukuman rajam khusus diperuntukkan bagi pezina al-muhshân (yang sudah
menikah dengan sah-red) karena ia telah menikah dan tahu cara menjaga
kehormatannya dari kemaluan yang haram dan dia tidak butuh dengan
kemaluan yang diharamkan itu. Juga ia sendiri dapat melindungi dirinya
dari ancaman hukuman zina. Dengan demikian, udzurnya (alasan yang sesuai
syara’) terbantahkan dari semua sisi . dan dia telah mendapatkan
kenikmatan sempurna. Orang yang telah mendapatkan kenikmatan sempuna
(lalu masih berbuat kriminal) maka kejahatannya (jinayahnya) lebih keji,
sehingga ia berhak mendapatkan tambahan siksaan[15].
Syarat al-Muhshân.
Rajam tidak diwajibkan kecuali atas orang yang dihukumi al-Muhshân. Dari
keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa seorang dihukumi sebagai
al-Muhshaan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Pernah melakukan jima’ (hubungan seksual) langsung di kemaluan.
Dengan demikian, orang yang telah melakukan aqad pernikahan namun belum
melakukan jima’ , belum dianggap sebagai al-Muhshân.
2. Hubungan seksual (jima’) tersebut dilakukan berdasarkan pernikahan sah atau kepemilikan budak bukan hubungan diluar nikah
3. Pernikahannya tersebut adalah pernikahan yang sah.
4. Pelaku zina adalah orang yang baligh dan berakal.
5. Pelaku zina merdeka bukan budak belian.
Dengan demikian seorang dikatakan al-Muhshân, apabila kriteria diatas sudah terpenuhi.[16]
b. Pezina Yang Tidak al-Muhshân
Pelaku perbuatan zina yang belum memenuhi kriteria al-muhshân, maka
hukumannya adalah dicambuk sebanyak seratus kali. Ini adalah kesepakatan
para ulama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
(cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (cambuk)".
[An-Nûr/24:2]
Al-Wazîr rahimahullah menyatakan : “Para ulama sepakat bahwa pasangan
yang belum al-muhshân dan merdeka (bukan budak-red), apabila mereka
berzina maka keduanya dicambuk (dera), masing-masing seratus kali.
Hukuman mati (dengan dirajam-red) diringankan buat mereka menjadi
hukuman cambuk karena ada udzur (alasan syar’i-red) sehingga darahnya
masih dijaga. Mereka dibuat jera dengan disakiti seluruh tubuhnya dengan
cambukan. Kemudian ditambah dengan diasingkan selama setahun menurut
pendapat yang rajah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam :
خُذُوْا عَنِّيْ ، خُذُوْا عَنِّيْ ، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ
سَبِيْلاً ، الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جِلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبُ عَامٍ .
"Ambillah dariku! ambillah dariku! Sungguh Allah telah menjadikan bagi
mereka jalan, yang belum al-muhshaan dikenakan seratus dera dan
diasingkan setahun." [HR Muslim].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan : “Apabila tidak
muhshân , maka dicambuk seratus kali, berdasarkan al-Qur`an dan
diasingkan setahun dengan dasar sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. [17].
KEKHUSUSAN HUKUMAN PEZINA.
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan tiga karakteristik khusus bagi hukuman zina :
1. Hukuman yang keras, yaitu rajam untuk al-Muhshân dan itu adalah
hukuman mati yang paling mengenaskan dan sakitnya menyeluruh keseluruh
badan. Juga cambukan bagi yang belum al-muhshân merupakan siksaan
terhadap seluruh badan ditambah dengan pengasingan yang merupakan
siksaan batin.
2. Manusia dilarang merasa tidak tega dan kasihan terhadap pezina
3. Allah memerintahkan pelaksanaan hukuman ini dihadiri sekelompok
kaum mukminin. Ini demi kemaslahatan hukuman dan lebih membuat jera.
Hal ini disampaikan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya:
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang
yang beriman" [an-Nûr/24:2]
SYARAT PENERAPAN HUKUMAN ZINA.
Dalam penerapan hukuman zina diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Pelakunya adalah seorang mukallaf yaitu sudah baligh dan berakal (tidak gila).
2. Pelakunya berbuat tanpa ada paksaan.
3. Pelakunya mengetahui bahwa zina itu haram, walaupun belum tahu hukumannya.[18]
4. Jima’ (hubungan seksual) terjadi pada kemaluan.
5. Tidak adanya syubhat. Hukuman zina tidak wajib dilakukan apabila
masih ada syubhat seperti menzinahi wanita yang ia sangka istrinya atau
melakukan hubungan seksual karena pernikahan batil yang dianggap sah
atau diperkosa dan sebagainya.
Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan : “Semua para ulama yang saya
hafal ilmu dari mereka telah berijma’ (bersepakat) bahwa had (hukuman)
dihilangkan dengan sebab adanya syubhat.” [19]
6. Zina itu benar-benar terbukti dia lakukan. Pembuktian ini dengan dua perkara yang sudah disepakati para ulama yaitu:
6.1. Pengakuan dari pelaku zina yang mukallaf dengan jelas dan tidak
mencabut pengakuannya sampai hukuman tersebut akan dilaksanakan.
6.2. Persaksian empat saksi yang melihat langsung kejadian, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
لَوْلَا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
"Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu." [an-Nûr/24:13]
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi.…."
[An-Nûr/24:4]
Persaksian yang diberikan oleh para saksi ini akan diakui keabsahannya, apabila telah terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Mereka bersaksi pada satu majlis
b. Mereka bersaksi untuk satu kejadian perzinahan saja
c. Menceritakan perzinahan itu dengan jelas dan tegas yang dapat
menghilangkan kemungkinan lain atau menimbulkan penafsiran lain seperti
hanya melakukan hal-hal diluar jima’.
d. Para saksi adalah lelaki yang adil
e. Tidak ada yang menghalangi penglihatan mereka seperti buta atau lainnya.
Apabila syarat-syarat ini tidak sempurna, maka para saksi dihukum dengan
hukuman penuduh zina. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ
شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ
شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah
kamu terima keksaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah
orang-orang yang fasik" [an-Nûr/24:4]
Penetapan terjadinya perbuatan zina dan pemutusan saksi dengan
berdasarkan persaksian dan pengakuan si pelaku yang disebutkan diatas,
telah disepakati oleh para ulama. Dan para ulama masih berselisih
pendapat tentang hamil diluar nikah. Bisakah hal ini dijadikan sebagai
dasar untuk menetapkan bahwa telah terjadi perbuatan zina atau orang ini
telah melakukan perbuatan zina sehingga berhak mendapatkan sanksi ?
Para ulama berselisih menjadi dua pendapat :
Pertama : Pendapat jumhur yaitu madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan
Hambaliyah (hanabilah) menyatakan bahwa hukuman pezina tidak ditegakkan
atau dilaksanakan kecuali dengan pengakuan dan persaksian saja.
Kedua : Pendapat madzhab Malikiyah menyatakan hukuman pezina dapat ditegakkan dengan indikasi kehamilan.
Yang rajih dari dua pendapat diatas adalah pendapat madzhab Malikiyah
sebagaimana dirajihkan syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau
rahimahulllah menyatakan bahwa seorang wanita dihukum dengan hukuman
zina apabila ketahuan hamil dalam keadaan tidak memiliki suami, tidak
memiliki tuan (jika ia seorang budak-red) serta tidak mengklain adanya
syubhat dalam kehamilannya.[20]
Beliau rahimahullah pun menyatakan : “Inilah yang diriwayatkan dari para
khulafâ’ rasyidin dan ia lebih pas dengan pokok kaedah syari’at.[21]
Dalil beliau rahimahullah dan juga madzhab Malikiyah adalah pernyataan Umar bin Khatthab Radhiyallahu 'anhu dalam khutbahnya :
وَ ِإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ ثَابِتٌ فِيْ كِتَابِ اللهِ عَلَى مَنْ زَنَا
إِذَا أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَل أَوْ
الإِعْتِرَاف.
"Sungguh rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah atas orang yang
berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshaan), bila tegak padanya
persaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri" [22].
Jelaslah dari pernyataan Umar bin al-Khatthab Radhiyallahu 'anhu diatas
bahwa beliau menjadikan kehamilan sebagai indikasi perzinahan dan tidak
ada seorang sahabatpun waktu itu yang mengingkarinya.
al-Hâfidz Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari riwayat Umar Radhiyallahu
'anhu diatas dengan menyatakan: (Dalam pernyataan Umar diatas) ada
pernyataan bahwa wanita apabila didapati dalam keadaan hamil tanpa suami
dan juga tidak memiliki tuan, maka wajib ditegakkan padanya hukuman
zina kecuali bila dipastikan adanya keterangan lain tentang kehamilannya
atau akibat diperkosa.[23]
Demikianlah, mudah-mudahan bermanfaat.
Referensi:
1. Hâsyiyah ar-Raudh al-murbi’ syarh Zad al-Mustaqni’, Syaikh
Abdurrahman bin Muhammad bin Qâsim, cetakan ke-6 tahun 1417 H tanpa
penerbit.
2. al-Mulakhash al-Fiqhiy, Syaikh Shalih bin Fauzân ali Fauzân,
cetakan pertama tahun 1422 H, Ri’asah Idaarah al-Buhuts al-‘Ilmiyah wa
al-Ifta’.
3. Al-Mughni, Imam Ibnu Qudamah, Tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin at-Turki, cetakan kedua tahun 1413H, penerbit Hajar
4. Tas-hîlul-Ilmâm bi Fiqhi Lil Ahâdits Min Bulûgh al-Marâm, Syaikh
Shalih bin Fauzân ali Fauzân, cetakan pertama tahun 1427 H. tanpa
penerbit.
5. Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zâd al-Mustaqni’ , Syaikh Muhamad bin shâlih
al-Utsaimin, cetakan pertama tahun 1427 H, Dar ibnu al-Jauzi.
6. Taisîr al-Fiqhi al-Jâmi’ Li Ikhtiyârât al-Fiqhiyah Lisyaikh
al-Islam Ibnu Taimiyah, DR. Ahmad Muwâfi cetakan pertama tahun 1416 H,
Dar Ibnu al-Jauzi.
7. Fathul Bâri dll.
_______
Footnote
[1]. al Muhîth
[2]. Hâsyiayah ar-Raudh al-murbi’ 7/312
[3]. Bidâyah al-Mujtahid 2/529 dan lihat ar-Raudh al-Murbi’ syarh Zâd al-Mustaqni’ 7/312 dan al-Mulakhash al-Fiqh hal. 528
[4]. HR al-Bukhâri dalam kitab al-Adab, Bab Qatlul-Walad Khasy-yata ayya`kula ma’ahu 10/33 dan Muslim dalam kitab al-Iimân 2/80.
[5]. Lihat lebih lanjut kitab al-Mughni 12/308
[6]. ar-Raudh al-Murbi’ 7/312
[7]. Lihat Tashîlul-Ilmâm Bi Fiqhi Lil Ahâdîts Min Bulûgh al-Marâm, Shalih al-fauzân 5/230
[8]. HR al-Bukhâri dalam kitab al-Hudûd, Bab al-I’tirâf biz-Zinâ 1829 dan Muslim dalam kitab al-Hudûd no. 1691.
[9]. Dari pernyataan Syeikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhu al-Mumti’ 14/229.
[10]. HR Ibnu Mâjah kitab al-Hudûd Bab ar-Rajmu dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibnu Mâjah 2/81
[11]. Tas-hîlul-Ilmâm bi Fiqhi Lil Ahâdîts Min Bulûgh al-Marâm, Syaikh Shâlih al-Fauzân 5/230.
[12]. Dinukil dari al-Mughni 12/310.
[13]. Al-Mughni 12/309..
[14]. Cuplikan dari ar-Raudh al-Murbi’ 7/312.
[15]. Cuplikan dari al-Mulakhas al-Fiqhi 2/529.
[16]. Lihat penjelasan para ulama tentang hal ini dalam al-Mughni 12/314-318.
[17]. Majmû’ Fatâwâ 28/333 dinukil dari Taisîr al-Fiqhi al-Jâmi’ Li
Ikhtiyârât al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islâm Ibnu Taimiyah, DR. Ahmad Muwâfi
3/1445.
[18]. Syarhu al-Mumti’ 14/207-210
[19]. al-Mulakhas al-Fiqhiy, 530-531
[20]. Lihat Majmu’ Fatawa 28/334
[21]. ibid
[22]. HR al-Bukhaari dalam kitab al-Hudud, Bab al-I’tiraf biz-Zinaa 1829 dan Muslim dalam kitab al-Hudud no. 1691.
[23]. Fathu al-Baari 12/160
https://www.facebook.com/notes/new-abu-warda/hukuman-untuk-pezina/291230030998002
Pertanyaan
Seorang gadis –yang karena kekhilafannya- berzina dengan seorang
laki-laki. Tetapi kemudian menyatakan sungguh-sungguh bertaubat dan
memahami konsekwensi hukum dari perzinahan, yaitu dirajam. Sementara
itu, dua tahun kemudian ada seorang laki-laki lain yang ingin
menikahinya. Yang menjadi pertanyaan :
1. Apa yang dimaksud dengan hukum rajam bagi pezina?
2. Siapakah yang berhak melakukan hukum rajam?
3. Bila sudah bertaubat dengan sebenar-benarnya, haruskah tetap menjalani hukum rajam?
4. Jika melangsungkan pernikahan dengan laki-laki lain, haruskah menceritakan tentang masa lalunya kepada calon suaminya?
5. Apakah gadis ini, masih dibolehkan berdakwah?
6. Bagaimana jika masyarakat mengetahui perihal masa lalunya yang telah ditutupinya itu?
7. Amalan apakah yang bisa menghapuskan dosa masa lalu (seperti zina ini)?
Yang masih menjadi kebingungan, apakah gadis itu tetap melangsungkan pernikahan dengan calon suaminya, atau bagaimana?
Jawaban
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan Saudari, perlu kami tegaskan,
hendaklah setiap muslimah selalu menjaga kehormatannya. Memperhatikan
batasan pergaulan yang telah ditetapkan syariat, baik di dalam maupun di
luar rumah. Jangan sampai terlalu percaya diri, lalu bergaul bebas dan
bercampur baur dengan lawan jenisnya, baik ikhtilat atau ber-khalwat.
Karena hal ini merupakan jalan-jalan menuju perzinahan. Allah telah
melarang hal tersebut dalam firmanNya,
وَلاَتَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلاً
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. [Al Isra’:32].
Larangan ini seharusnya membuat kita selalu berhati-hati terhadap
perzinaan dan hal-hal yang mengantar kepadanya. Sehingga kita terhindar
dari perkara yang menimpa saudari kita tersebut.
Sedangkan kepada gadis tersebut, hendaklah ia tetap melanjutkan
pernikahan yang telah direncanakannya, dan jangan menceritakan keburukan
masa lalunya kepada suami (calon suami) atau orang lain. Adapun
perincian jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat Saudari
ikuti penjelasan di bawah ini.
Pertama . Maksud Hukum Rajam Dan Cambuk Bagi Pezina.
Zina merupakan dosa besar. Barangsiapa berbuat zina, maka hukumannya menurut agama Islam ialah sebagai berikut:
1. Jika pelakunya muhshan (pernah berjima’ dengan nikah yang sah),
mukallaf (sudah baligh dan berakal), suka rela (tidak dipaksa, tidak
diperkosa), maka dia dicambuk 100 kali, kemudian dirajam, berdasarkan
keumuman ayat 2 surat An Nur, dan perbuatan Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu 'anhu. Atau cukup dirajam, tanpa didera, dan ini lebih
baik, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu 'anhu dan Umar bin Al
Khaththab Radhiyallahu 'anhu.
2. Jika pelakunya belum menikah, maka dia didera (dicambuk) 100 kali. Kemudian diasingkan selama setahun. [1]
Dirajam yaitu dilempari batu sampai mati. Caranya, orangnya ditanam
berdiri di dalam tanah sampai dadanya, lalu dilempari batu sampai mati.
Berikut ini diantara dalil tentang hukum dera (cambuk) dan rajam ini:
Allah Subhanahu wa Ta'alal berfirman
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ
جَلْدَةٍ وَلاَتَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِن كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا
طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang
yang beriman. [An Nur : 2]
Hal ini juga disebutkan dalam banyak hadits. Antara lain :
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا
الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ
بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan
yang lain kepada mereka, [2] yaitu orang yang belum menikah (berzina)
dengan orang yang belum menikah, (hukumnya) dera 100 kali dan diasingkan
setahun. Adapun orang yang sudah menikah (berzina) dengan orang yang
sudah menikah (hukumnya) dera 100 kali dan rajam. [3]
Juga hadits di bawah ini:
عَنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ يَقُولُ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ
وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا
أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ قَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا
وَعَقَلْنَاهَا فَرَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ
أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ مَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ
فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ وَإِنَّ الرَّجْمَ فِي
كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أَحْصَنَ مِنَ الرِّجَالِ
وَالنِّسَاءِ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوِ
الِاعْتِرَافُ
Dari Abdullah bin ‘Abbas, dia berkata, Umar bin Al Khaththab berkata,
-sedangkan beliau duduk di atas mimbar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam-, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam dengan membawa al haq, dan menurunkan Al Kitab (Al
Qur’an) kepadanya. Kemudian diantara yang diturunkan kepada beliau
adalah ayat rajam. Kita telah membacanya, menghafalnya, dan memahaminya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melaksanakan (hukum)
rajam, kitapun telah melaksanakan (hukum) rajam setelah beliau (wafat).
Aku khawatir jika zaman telah berlalu lama terhadap manusia, akan ada
seseorang yang berkata, ‘Kita tidak dapati (hukum) rajam di dalam kitab
Allah’, sehingga mereka akan sesat dengan sebab meninggalkan satu
kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Sesungguhnya (hukum) rajam
benar-benar ada di dalam kitab Allah terhadap orang yang berzina,
padahal dia telah menikah, dari kalangan laki-laki dan wanita, jika
bukti telah tegak (nyata dengan empat saksi, red.), atau terbukti hamil,
atau pengakuan.” [4]
Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata dalam kitab Duraril Bahiyyah,“Dan
digalikan (liang) untuk orang yang dirajam sampai dada.”
Kemudian Imam Shiddiq Hasan Khan rahimahullah mengomentari perkataan di
atas,“Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan
membuat lubang untuk seorang wanita suku Ghomidi yang (dirajam) sampai
dadanya. Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim. Dan lainnya : Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat lubang untuk Ma’iz, kemudian
beliau memerintahkan sehingga dia dirajam, sebagaimana dalam hadits
Abdullah bin Buraidah dalam kisah Ma’iz.” [5]
Kedua : Yang Melaksanakan Rajam.
Adapun yang berhak melaksanakan hukum di atas (cambuk dan rajam bagi
pezina) ialah penguasa kaum muslimin, penguasa yang mampu menegakkan
syari’at Allah. Karena hukum tersebut termasuk hudud [6], yang merupakan
kewajiban penguasa. Jadi bukan hak sembarang orang.
Syeikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhawayyan rahimahullah
berkata,“Tidak (berhak) menegakkan had, kecuali imam (penguasa kaum
muslimin) atau wakilnya; sama saja, apakah had itu karena hak Allah,
seperti had zina. Atau karena hak manusia, seperti had tuduhan. Karena
hal itu membutuhkan ijtihad dan tidak aman dari penyimpangan, maka wajib
diserahkan kepadanya. Pada masa hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa
salalm, beliaulah yang menegakkan hudud. Demikian juga para khalifah
setelahnya. Dan wakil imam (haknya) seperti imam, berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam,’… Hai Unais, pergilah kepada wanita itu.
Jika dia mengaku (berzina), rajamlah!’. Kemudian wanita itu mengaku
(berzina), maka dia merajamnya. Beliau juga memerintahkan merajam Ma’iz,
tetapi beliau tidak menghadirinya.” [7].
Menegakkan hudud merupakan hak imam. Ini merupakan ijma’ para ulama kaum
muslimin. Akan tetapi terdapat pengecualian, yaitu bagi seorang tuan
yang menegakkan had terhadap budaknya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,
إِذَا زَنَتِ الْأَمَةُ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا فَلْيَجْلِدْهَا وَلَا
يُثَرِّبْ ثُمَّ إِنْ زَنَتْ فَلْيَجْلِدْهَا وَلَا يُثَرِّبْ ثُمَّ إِنْ
زَنَتِ الثَّالِثَةَ فَلْيَبِعْهَا وَلَوْ بِحَبْلٍ مِنْ شَعَرٍ
Jika seorang budak wanita telah berzina, dan telah nyata zinanya, maka
hendaknya (tuannya) mendera (mencambuknya), dan janganlah dia
menjelak-jelekannya. Jika dia berzina lagi, maka hendaknya (tuannya)
menderanya, dan janganlah dia menjelak-jelekannya. Jika dia berzina yang
ketiga kali, hendaklah (tuannya) menjualnya, walaupun dengan seutas
tali terbuat dari rambut. [8]
Namun bagaimanakah jika penguasa tidak menegakkan hudud?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimauhllah menyatakan,“Perkataan orang
yang berkata,’Tidak berhak menegakkan hudud kecuali sulthan (penguasa)
dan wakil-wakilnya’, adalah jika mereka berkuasa, melaksanakan keadilan…
Demikian juga jika amir (penguasa) menyia-nyiakan hudud, atau tidak
mampu menegakkannya. Maka tidak wajib menyerahkan hudud kepadanya, jika
memungkinkan menegakkannya tanpa penguasa.
Yang pokok, sesungguhnya kewajiban-kewajiban ini ditegakkan
sebaik-baiknya. Jika memungkinkan ditegakkan oleh satu amir (penguasa),
maka tidak membutuhkan kepada dua amir. Dan apabila tidak dapat
ditegakkan, kecuali dengan banyak orang dan dengan tanpa sulthan
(penguasa), maka hal itu (dapat) ditegakkan, jika menegakkannya itu
tidak menimbulkan kerusakkan yang lebih besar daripada tidak
menegakkannya. Karena hal itu termasuk amar ma’ruf nahi mungkar. Maka,
jika menegakkannya itu menimbulkan kerusakan yang lebih besar pada
penguasa maupun rakyat daripada tidak ditegakkan, maka kerusakan itu
tidak dilawan dengan kerusakan yang lebih besar.” [9]
Dari perkataan Syaikhul Islam tersebut, beliau membolehkan ditegakkannya
hudud oleh selain penguasa dengan tiga syarat. Pertama, penguasa tidak
melaksanakan, atau tidak mampu. Kedua, orang yang menegakkannya mampu
melakukan. Jika cukup satu orang, maka tidak membutuhkan dua orang. Jika
membutuhkan lebih, maka ditegakkan oleh secara bersama. Ketiga, dalam
menegakkan hudud, tidak boleh menimbulkan kerusakan yang lebih besar
daripada tidak ditegakkannya.
Perkataan Syaikhul Islam ini dapat difahami sebagai berikut:
1. Hal itu jika dalam keadaan imam atau amir itu banyak. Maka, setiap
imam (amir) itu wajib menegakkan hudud atas para pengikutnya
(rakyatnya), tanpa melihat siapa yang paling berkuasa. Inilah yang dapat
diterima, insya Allah.
2. Bahwa setiap orang berhak menegakkan hudud dan melakukan qishash.
Tetapi, kemungkinan ini tidak dapat diterima. Karena bertentangan dengan
ijma’ ulama, bahwa hudud diserahkan kepada penguasa. Dan hal itu akan
menimbulkan kekacauan serta kerusakan yang lebih besar. Sehingga syarat
ketiga sebagaimana tersebut di atas tidak terpenuhi.
Oleh karena itu, mengomentari perkataan yang diriwayatkan Al Qaffal yang
berbunyi: Tiap-tiap orang boleh melakukan hudud, maka Imam Nawawi
rahimahullah mengatakan,“Ini tidak ada apa-apanya.” [10]
Ketiga :Bila sudah bertaubat dari zina, apakah tetap harus dirajam?
Jika seseorang sudah bertaubat dari zina (atau pencurian, minum khamr,
dan lainnya), dan urusannya belum sampai kepada penguasa Islam yang
menegakkan syari’at, maka had zina (cambuk atau rajam) gugur dari orang
yang bertaubat tersebut. Hal ini dengan dalil-dalil sebagai berikut:
Firman Allah.
وَالَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنكُمْ فَئَاذُوهُمَا فَإِن تَابَا
وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَآ إِنَّ اللهَ كَانَ تَوَّابًا رَّحِيمًا
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji diantara kamu, maka
berilah hukuman kepada keduanya. Kemudian jika keduanya bertaubat dan
memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [An Nisa’:16].
فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ
Maka barangsiapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu) sesudah
melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah
menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. [Al Maidah:39]
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
Orang yang bertaubat dari semua dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa. [11]
Hadits dari Nu’aim bin Hazzal,
كَانَ مَاعِزُ بْنُ مَالِكٍ يَتِيمًا فِي حِجْرِ أَبِي فَأَصَابَ جَارِيَةً
مِنَ الْحَيِّ فَقَالَ لَهُ أَبِي ائْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبِرْهُ بِمَا صَنَعْتَ لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ
لَكَ وَإِنَّمَا يُرِيدُ بِذَلِكَ رَجَاءَ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَخْرَجًا
فَأَتَاهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَقِمْ عَلَيَّ
كِتَابَ اللَّهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَعَادَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنِّي زَنَيْتُ فَأَقِمْ عَلَيَّ كِتَابَ اللَّهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ
فَعَادَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَقِمْ عَلَيَّ
كِتَابَ اللَّهِ حَتَّى قَالَهَا أَرْبَعَ مِرَارٍ قَالَ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ قَدْ قُلْتَهَا أَرْبَعَ مَرَّاتٍ فَبِمَنْ
قَالَ بِفُلَانَةٍ فَقَالَ هَلْ ضَاجَعْتَهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ هَلْ
بَاشَرْتَهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ هَلْ جَامَعْتَهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ
فَأَمَرَ بِهِ أَنْ يُرْجَمَ فَأُخْرِجَ بِهِ إِلَى الْحَرَّةِ فَلَمَّا
رُجِمَ فَوَجَدَ مَسَّ الْحِجَارَةِ جَزِعَ فَخَرَجَ يَشْتَدُّ فَلَقِيَهُ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُنَيْسٍ وَقَدْ عَجَزَ أَصْحَابُهُ فَنَزَعَ لَهُ
بِوَظِيفِ بَعِيرٍ فَرَمَاهُ بِهِ فَقَتَلَهُ ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ هَلَّا
تَرَكْتُمُوهُ لَعَلَّهُ أَنْ يَتُوبَ فَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَيْهِ
Dahulu Ma’iz bin Malik adalah seorang yatim di bawah asuhan bapakku.
Lalu dia menzinahi seorang budak dari suku itu. Maka, bapakku berkata
kepadanya,“Pergilah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
lalu beritahukan kepada beliau apa yang telah engkau lakukan. Semoga
beliau memohonkan ampun untukmu.” Bapakku menghendaki hal itu karena
berharap agar Ma’iz memperoleh solusi. Maka Ma’iz mendatangi beliau dan
berkata,“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina. Maka
tegakkanlah kitab Allah atasku.” Lalu beliau berpaling darinya. Kemudian
Ma’iz mengulangi dan berkata,“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah
berzina. Maka, tegakkanlah kitab Allah atasku.” Maka beliau berpaling
darinya. Kemudian Ma’iz mengulangi dan berkata,“Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku telah berzina. Maka tegakkanlah kitab Allah atasku.”
Sampai dia mengulanginya empat kali. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,“Engkau telah mengatakannya empat kali. Lalu, dengan
siapa?” Dia menjawab,“Dengan Si Fulanah.” Lalu beliau bersabda,“Apakah
engkau berbaring dengannya?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu beliau
bersabda,“Apakah engkau menyentuh kulitnya?” Dia menjawab, “Ya.” Lalu
beliau bersabda,“Apakah engkau bersetubuh dengannya?” Dia menjawab,“Ya.”
Maka beliau memerintahkan untuk merajamnya. Kemudian dia dibawa keluar
ke Harrah. [12] Tatkala dia dirajam, lalu merasakan lemparan batu. Dia
berkeluh-kesah, lalu dia keluar dan berlari. Maka Abdullah bin Unais
menyusulnya. Sedangkan sahabat-sahabatnya yang lain telah lelah.
Kemudian Abdullah mengambil tulang betis onta, lalu melemparkannya,
sehingga dia membunuhnya. Lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dan menceritakannya kepada beliau. Maka beliau
bersabda,“Tidakkah kamu membiarkannya, kemungkinan dia bertaubat, lalu
Allah menerima taubatnya!?” [13]
Dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Tidakkah kamu
membiarkannya, kemungkinan dia bertaubat, lalu Allah menerima
taubatnya?”, menunjukkan gugurnya had dari orang yang bertaubat.
Adapun jika seseorang telah bertaubat, lalu mendatangi penguasa Islam
yang menegakkan had dan mengaku berbuat zina, serta memilih ditegakkan
had padanya, maka had boleh ditegakkan (walaupun tidak wajib). Jika
tidak, maka tidak ditegakkan. [14]
Keempat. : Wajibkah menceritakan tentang masa lalu kepada suami?
Tidak wajib. Bahkan jangan diceritakan keburukan masa lalu tersebut.
Karena hal itu sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ
الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ
يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ
الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ
يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
Seluruh umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang melakukan dosa
secara terang-terangan. Dan sesungguhnya termasuk (hukum) melakukan dosa
secara terang-terangan, yaitu seseoran yang melakukan perbuatan (dosa)
pada waktu malam, dan Allah telah menutupinya, kemudian pada waktu pagi
dia mengatakan,“Hai Fulan, tadi malam aku telah melakukan ini dan itu,”
padahal Rabb-nya telah menutupinya pada waktu malam, tetapi pada waktu
pagi dia membuka tabir Allah terhadapnya. [15]
Kelima : Berdakwah setelah berzina.
Tidak mengapa. Karena setelah bertaubat, maka seseorang itu seperti
tidak memiliki dosa. Dan untuk berdakwah tidak disyaratkan bersih dari
dosa.
Keenam : Bagaimana jika mereka mengetahui masa lalu tersebut?
Hendaklah bersabar, karena itu termasuk musibah.
Ketujuh : Amalan yang dapat menghapus dosa zina tanpa rajam.
Taubat, sebagaimana kami jelaskan di atas.
Wallahu a’lam.
_______
Footnote
[1]. Lihat kitab At Ta’liqat Ar Radhiyyah ‘Ala Ar Raudhah An
Nadiyyah, 3/270, karya Syaikh Al Albani, tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan.
Juga kitab Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, 2/431-433.
[2]. Isyarat terhadap firman Allah surat An Nisa’ ayat 15, yaitu :
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah
ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian
apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau
sampai Allah memberi jalan yang lain kepada mereka
[3]. HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari ‘Ubadah bin Ash Shamit
[4]. HR Bukhari, Muslim, dan lainnya
[5]. Lihat kitab At Ta’liqat Ar Radhiyyah ‘Ala Ar Raudhah An Nadiyyah, 3/278
[6]. Hudud, jama’ dari had. Yaitu : hukuman-hukuman yang telah
ditetapkan syari’at dalam perkara kemaksiatan-kemaksiatan, untuk
mencegah terulangnya kemaksitan-kemaksiatan tersebut. Seperti had zina,
mabok, tuduhan, pencurian, dan lainnya
[7]. Manarus Sabil Fi Syarhid Dalil 2/324-325, Jum’iyyah Ihyaut Turats Al Islami.
[8]. HR Bukhari no. 6839; Muslim no. 1703; dari Abu Hurairah
[9]. Majmu’ Fatawa 34/176.
[10]. Lihat Taisirul Fiqh Al Jami’ Lil Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li
Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, Juz 3, hal. 1431-1441, karya Dr. Ahmad
Muwafi
[11]. HR Ibnu Majah no. 4250; dan lainnya, dari Abdullah bin Mas’ud
[12]. Nama tempat di luar kota Madinah.
[13]. HR Muslim, dan lainnya.
[14]. Lihat Majmu’ Fatawa 16/31
[15]. HR Bukhari dan Muslim
https://www.facebook.com/notes/new-abu-warda/hukum-razam-bagi-pezina/291990287588643
Tidak ada komentar:
Posting Komentar