Oleh : Ust. Dzulqarnain Makassar
Bismillaahir Rohmaanir Rohiim
Dewasa ini marak pengakuan dari berbagai pihak yang mengklaim dirinya
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sehingga menyebabkan adanya kerancuan dan
kebingungan dalam persepsi banyak orang tentang Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah, siapakah sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah itu ?
Jawab :
Mengetahui siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah perkara yang sangat
penting dan salah satu bekal yang harus ada pada setiap muslim yang
menghendaki kebenaran sehingga dalam perjalanannya di muka bumi ia
berada di atas pijakan yang benar dan jalan yang lurus dalam menyembah
Allah Subhaanahu wa Ta’aala sesuai dengan tuntunan syariat yang hakiki
yang dibawa oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam empat belas
abad yang lalu.
Pengenalan akan siapa sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah
ditekankan sejak jauh-jauh hari oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam kepada para sahabatnya ketika beliau berkata kepada mereka :
افْتَرَقَتِ
الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ
النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ
سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ
إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Telah terpecah
orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah
terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan
sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh
semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah ”. Hadits shohih dishohihkan oleh oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain -rahimahumullahu-.
Demikianlah umat ini akan terpecah, dan kebenaran sabda beliau telah
kita saksikan pada zaman ini yang mana hal tersebut merupakan suatu
ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala Yang
Maha Kuasa dan merupakan kehendak-Nya yang harus terlaksana dan Allah
Subhaanahu wa Ta’aala Maha Mempunyai Hikmah dibelakang hal tersebut.
Syaikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan -hafidzahullahu- menjelaskan hikmah terjadinya perpecahan dan perselisihan tersebut dalam kitab Lumhatun ‘Anil Firaqcet.
Darus Salaf hal.23-24 beliau berkata : “(Perpecahan dan
perselisihan-ed.) merupakan hikmah dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala guna
menguji hamba-hambaNya hingga nampaklah siapa yang mencari kebenaran
dan siapa yang lebih mementingkan hawa nafsu dan sikap fanatisme.
Allah berfirman :
“Alif laam miim.
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja)
mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?
Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sungguh Allah Maha Mengetahui orang-orang yang benar dan sungguh Dia
Maha Mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-‘Ankab ut : 29 / 1-3).
Dan Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman :
“Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat
oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu
(keputusan-Nya) telah ditetapkan : “Sesungguhnya Aku akan memenuhi
Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya ” . (QS. H ud : 10 / 118-119)
“ Dan
kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam
petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang
jahil”.(QS. Al-‘An’ am : 6 / 35).”
Dan Allah ’Azza wa Jalla Maha
Bijaksana dan Maha Merahmati hambaNya. Jalan kebenaran telah dijelaskan
dengan sejelas-jelasnya sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam :
قَدْْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh saya telah
meninggalkan kalian di atas petunjuk yang sangat terang malamnya
seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang darinya setelahku kecuali
orang yang binasa”. Hadits Shohih dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalamDzilalul Jannah.
Dan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- :
خَطَّ
لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا
خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا عَنْ
يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ
سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلاَ ] وَأَنَّ هَذَا
صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ
فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ [
“Pada suatu hari Rasulullah r menggaris
di depan kami satu garisan lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan
Allah”. Kemudian beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan
kirinya lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan-jalan, yang di atas
setiap jalan ada syaithon menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca
(ayat) : “Dan sesungguhnya ini adalah jalanKu maka ikutilah jalan itu
dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) maka kalian akan
terpecah dari jalanNya”. (QS. Al ‘An’am : 6 / 153 )” .
Diriwayatkan oleh : Abu Daud Ath-Thoy alisy dalam Musnadnya no. 244, Ath-Thobary dalam Tafsirnya 8/88, Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dalam As-Sunnah no.11, Sa’id bin Manshur dalam Tafsirnya 5/113 no 935, Ahmad 1/435, Ad Darimy 1/78 no 202, An-Nasai dalam Al-Kubro 5/94 no.8364 dan 6/343 no.11174, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 1/180-181 no.6-7 dan dalam Al-Mawarid no 1741, Al-Hakim dalam Mustadraknya 2/348, Asy-Syasyi dalam Musnadya 2/48-51 no.535-537, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/263 dan Al-Lalaka’i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/80-81. Dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain.
Adapun penamaan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini akan diuraikan dari beberapa sisi :
Pertama : Definisi Sunnah.
Sunnah secara lughoh (bahasa) : berarti jalan, baik maupun jelek, lurus maupun sesat, demikianlah dijelaskan oleh Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab 17/89 dan Ibnu An-Nahhas.
Makna secara lughoh itu terlihat dalam hadits Jarir bin ‘Abdullah. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ سْنَّ فِي
الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا بَعْدَهُ وَمَنْ سَنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً سَيِّئَةً كَانَ
عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ
“Siapa yang membuat
sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan pahala orang yang
mengerjakannya setelahnya dan siapa yang membuat sunnah yang jelek maka
atasnya dosanya dan dosa orang yang melakukannya setelahnya”.Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shohih nya no.1017.
Lihat Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Bid’ah Wal Ahwa`i 1/29-33 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jam a’ah Wa Manhajul Asya’irah Fi Tauhidillah I/19.
Adapun secara istilah : Sunnah mempunyai makna khusus dan makna umum. Dan yang diinginkan di sini tentunya adalah makna umum.
Adapun makna sunnah secara khusus yaitu makna menurut istilah para ulama dalam suatu bidang ilmu yang mereka tekuni :
- Para ulama ahli hadits mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam baik itu perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan-pen.) maupun sifat lahir dan akhlak.
- Para ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam selain dari Al-Qur’an, sehingga meliputi perkataan beliau, pekerjaan, taqrir, surat, isyarat, kehendak beliau melakukan sesuatu atau apa-apa yang beliau tinggalkan.
- Para ulama fiqh memberikan definisi sunnah sebagai hukum yang datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam di bawah hukum wajib.
Adapun makna umum sunnah adalah Islam itu sendiri secara sempurna yang
meliputi aqidah, hukum, ibadah dan seluruh bagian syariat.
Berkata Imam Al-Barbahary
: “Ketahuilah sesungguhnya Islam itu adalah sunnah dan sunnah adalah
Islam dan tidaklah tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang
lainnya” (lihat : Syarh As-Sunnah hal.65 point 1).
Berkata Imam Asy-Sy athiby dalam Al-Muwafaq ot 4/4
: “(Kata sunnah) digunakan sebagai kebalikan/lawan dari bid’ah maka
dikatakan : “Si fulan di atas sunnah” apabila ia beramal sesuai dengan
tuntunan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang sebelumnya hal tersebut
mempunyai nash dari Al-Qur’an, dan dikatakan “Si Fulan di atas bid’ah”
apabila ia beramal menyelisihi hal tersebut (sunnah)”.
Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fat aw a 4/180
menukil dari Imam Abul Hasan Muhammad bin ‘Abdul Malik Al-Karkhy beliau
berkata : “Ketahuilah… bahwa sunnah adalah jalan Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mengupayakan untuk menempuh jalannya
dan ia (sunnah) ada 3 bagian : perkataan, perbuatan dan aqidah”.
Berkata Imam Ibnu Rajab -rahimahullahu ta’ala- dalam Jami’ Al-‘Ulum Wal Hikamhal.
249 : “Sunnah adalah jalan yang ditempuh, maka hal itu akan meliputi
berpegang teguh terhadap apa-apa yang beliau r berada di atasnya dan
para khalifahnya yang mendapat petunjuk berupa keyakinan, amalan dan
perkataan. Dan inilah sunnah yang sempurna, karena itulah para ulama
salaf dahulu tidak menggunakan kalimat sunnah kecuali apa-apa yang
meliputi seluruh hal yang tersebut di atas”. Hal ini diriwayatkan dari
Hasan, Al-Auza’iy dan Fudhail bin ‘Iyadh”.
Demikianlah makna sunnah secara umum dalam istilah para ‘ulama -rahimahumullah- dan hal itu adalah jelas bagi siapa yang melihat karya-karya para ulama yang menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah dimana akan terlihat bahwa mereka menginginkan makna sunnah secara umum seperti :
- Kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim.
- Kitab As-Sunnah karya Imam Ahmad.
- Kitab As-Sunnah karya Ibnu Nashr Al-Marwazy.
- Kitab As-Sunnah karya Al-Khallal.
- Kitab As-Sunnah karya Abu Ja’far At-Thobary.
- Kitab Syarh As-Sunnah karya Imam Al-Barbahary.
- Kitab Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawy.
- dan lain-lainnya.
Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah 1/29-35, Haqiqatul Bid’ah 1/63-66 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhajul Asya’irah 1/19-23.
Kedua : Makna Ahlus Sunnah.
Penjelasan makna sunnah di atas secara umum akan memberikan gambaran tentang makna Ahlus Sunnah (pengikut sunnah-ed.).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid
3 hal.375 ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka
adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan apa-apa yang disepakati
oleh orang-orang terdahulu yang pertama dari kalangan sahabat Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.
Berkata Ibnu Hazm dalam Al-Fishal jilid
2 hal. 281 : “Dan Ahlus Sunnah -yang kami sebutkan- adalah ahlul haq
(pengikut kebenaran) dan selain mereka adalah ahlul bid’ah (pengikut
perkara-perkara baru dalam agama), maka mereka (ahlus sunnah) adalah
para sahabat -radhiyallahu ‘anhum- dan siapa saja yang menempuh jalan mereka dari orang-orang pilihan di kalangan tabi’in kemudian Ashhabul
Hadits dan siapa yang mengikuti mereka dari para ahli fiqh zaman demi
zaman sampai hari kita ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dari
orang awam di Timur maupun di Barat bumi -rahmatullahi ’alaihim- ”.
Dan Ibnul Jauzy berkata dalam Talb is Iblis hal.21
: “Tidak ada keraguan bahwa ahli riwayat dan hadits yang mengikuti
jejak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan jejak para sahabatnya
mereka itulah Ahlus Sunnah karena mereka di atas jalan yang belum
terjadi perkara baru padanya. Perkara baru dan bid’ah hanyalah terjadi
setelah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya”.
Berkata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fataw a 3/157
:” Termasuk jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mengikuti jejak-jejak
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam secara zhohir dan batin dan
mengikuti jalan orang-orang terdahulu yang pertama dari para (sahabat)
Muhajirin dan Anshar dan mengikuti wasiat Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam tatkala berkata : “Berpeganglah kalian pada sunnahku
dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan hidayah setelahku
berpeganglah kalian dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian
dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru karena setiap perkara
yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.”
Dan beliau berkata dalam Majmu’ Fataw a 3/375
ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka adalah
orang-orang yang berpegang teguh dengan kitab Allah dan sunnah
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan apa-apa yang disepakati
oleh generasi dahulu yang pertama dari kaum Muhajirin dan Anshar dan
yang mengikuti mereka dengan baik”.
Dan di dalam Majmu’ Fatawa 3/346 beliau berkata : “Siapa yang berkata dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma’ maka ia termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah“.
Berkata Abu Nashr As-Sijzy : “Ahlus Sunnah adalah mereka yang kokoh di
atas keyakinan yang dinukil kepada mereka olah para ulama Salafus Sholeh
-mudah-mudahan Allah Subhaanahu wa Ta’aala merahmati mereka – dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam atau dari para sahabatnya -radhiyallahu ‘anhum- pada apa-apa yang tidak ada nash dari Al-Qur’an dan dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam , karena mereka itu -radhiyallahu ‘anhum-
para Imam dan kita telah diperintahkan mengikuti jejak-jejak mereka dan
sunnah mereka, dan ini sangat jelas sehingga tidak butuh ditegakkannya
keterangan tentangnya”.
(Lihat : Ar-Raddu ‘ Ala Man Ankaral Harf hal.99)
Maka jelaslah dari keterangan-keterangan di atas dari para Imam tentang
makna penamaan Ahlus Sunnah bahwa Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang
menerapkan Islam secara keseluruhan sesuai dengan petunjuk Allah
Subhaanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya berdasarkan pemahaman para ulama
salaf dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik .
Dan tentunya merupakan suatu hal yang sangat jelas bagi orang yang
memperhatikan hadits-hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
akan disyariatkannya penamaan Ahlus Sunnah terhadap orang-orang yang
memenuhi kriteria-kriteria di atas.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menyatakan dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah -radhiyallahu ’anhu- :
صَلَّى
لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ
الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً وَجِلَتْ
مِنْهَا الْقُلُوْبُ وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ فَقُلْنَا يَا
رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ
عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى
اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُ مُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Rasulullah sholat
bersama kami sholat Shubuh, kemudian beliau menghadap kepada kami
kemudian menasehati kami dengan suatu nasehat yang hati bergetar
karenanya dan air mata bercucuran, maka kami berkata : “Yaa Rasulullah
seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka berwasiatlah kepada
kami”. Maka beliau bersabda : “Saya wasiatkan kepada kalian untuk
bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta taat walaupun yang menjadi
pemimpin atas kalian seorang budak dari Habasyah (sekarang Ethopia)
karena sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian maka ia akan
melihat perselisihan yang sangat banyak maka berpegang teguhlah kalian
kepada sunnahku dan kepada sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin yang
mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi geraham dan hati-hatilah
kalian dengan perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah
bid’ah.”. Hadits shohih dari seluruh jalan-jalannya.
Dan masih banyak lagi dalil yang menunjukkan hal di atas. Wallahu a’lam.
Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/36-37, 47-49, Haqiqatul Bid’ah 1/63-66, 268-269 dan Manhaj Ahlus Sunnah 1/19-20, 24-27.
Ketiga : Definisi Jama’ah.
Jama’ah secara lughoh : Dari kata Al-Jama’ bermakna menyatukan sesuatu yang terpecah, maka jama’ah adalah lawan kata dari perpecahan.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 2/157 : “Dan mereka dinamakan Ahlul Jama’ah karena Al-Jama’ah adalah persatuan dan lawannya adalah perpecahan.”
Adapun secara istilah para ulama berbeda penafsiran tentang makna
jama’ah yang tersebut di dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam , di antara hadits-hadits itu adalah :
Satu : Hadits perpecahan ummat yang telah disebutkan di atas
Dua : Wasiat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Hudzaifah dalam hadits riwayat Bukhory-Muslim , beliau berkata :
تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ
“Engkau komitmen dengan jama’ah kaum muslimin dan Imamnya .”
Tiga : Hadits Ibnu ‘Abbas riwayat Bukhory-Muslim Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شَيْئًا فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Karena sesungguhnya siapa yang berpisah dengan Al-Jama’ah sedikitpun kemudian ia mati maka matinya adalah mati jahiliyah” .
Empat : Hadits Ibnu ‘Abbas Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ
“Tangan Allah di atas Al-Jama’ah” .
Dari hadits-hadits di atas dan yang semisalnya para ulama berbeda di
dalam menafsirkan kalimat Al-Jama’ah yang terdapat di dalam
hadits-hadits tersebut sehingga ditemukan ada enam penafsiran :
Pertama : Jama’ah adalah Assawadul A’zhom (kelompok yang paling besar dari umat Islam). Ini adalah pendapat Abu Mas’ud Al-Anshory, ‘Abdullah bin Mas’ud dan Abu Ghalib.
Kedua :
Al-Jama’ah adalah jama’ah ulama ahli ijtihad atau para ulama hadits,
dikatakan bahwa mereka ini adalah jama’ah karena Allah Subhaanahu wa
Ta’aala menjadikan mereka hujjah terhadap makhluk dan manusia ikut pada
mereka pada perkara agama.
Berkata Imam Al-Bukhory menafsirkan jama’ah : ”Mereka adalah ahlul ‘ilmi (para ulama)”.
Dan Imam Ahmad berkata tentang jama’ah : ”Apabila mereka bukan Ashhabul Hadits (ulama hadits) maka saya tidak tahu lagi siapa mereka”.
Dan Imam Tirmidzi berkata : ”Dan penafsiran jama’ah di kalangan para
ulama bahwa mereka adalah ahli fiqh, (ahli) ilmu dan (ahli) hadits”.
Dan ini merupakan pendapat ‘Abdullah bin Mubarak, Ishaq
bin Rahaway, ‘Ali bin Al-Madiny, ‘Amr bin Qais dan sekelompok dari para
ulama salaf dan juga merupakan pendapat ulama ushul fiqh.
Ketiga :
Al-Jama’ah adalah para sahabat. Hal ini berdasarkan hadits perpecahan
umat yang di sebahagian jalannya disebutkan bahwa yang selamat adalah
Al-Jama’ah dan dalam riwayat yang lain : “Apa-apa yang aku dan para
sahabatku berada di atasnya”. Dan ini adalah pendapat “Umar bin ‘Abdil
‘Aziz dan Imam Al-Barbahary.
Keempat :
Al-Jama’ah adalah jama’ah umat Islam apabila mereka bersepakat atas
satu perkara dari perkara-perkara agama. Pendapat ini disebutkan oleh
Imam Asy-Syathiby.
Kelima :
Al-Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin apabila mereka bersepakat di
bawah seorang pemimpin. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Jarir Ath-Thobary
dan Ibnul Atsir.
Keenam : Al-Jama’ah adalah jama’ah kebenaran dan pengikutnya. Ini adalah pendapat Imam Al Barbahary dan Ibnu Katsir.
Demikianlah penafsiran-penafsiran para ulama tentang makna Al-Jama’ah,
yang semuanya itu akan membawa kepada kesimpulan-kesimpulan sebagai
berikut :
- Penafsiran-penafsiran tersebut walaupun saling berbeda lafadz dan konteksnya akan tetapi tidak saling bertentangan bahkan saling melengkapi makna maupun kriteria Al-Jama’ah.
- Maka jelaslah bahwa makna Al-Jama’ah yang dikatakan sebagai golongan yang selamat dan pengikut kebenaran adalah Islam yang hakiki yang belum dihinggapi oleh noda yang mengotorinya.
- Mungkin bisa disimpulkan dari penafsiran-penafsiran Al-Jama’ah di atas bahwa makna Al-Jama’ah kembali kepada dua perkara :
Satu :
Jama’ah yang berarti bersatu di bawah kepemimpinan seorang pemerintah
sesuai dengan ketentuan syariat maka wajib untuk komitmen terhadap
jama’ah ini dan diharamkan untuk keluar darinya dan mengadakan kudeta
terhadap pemimpinnya .
Dua :
Jama’ah yang berarti mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian diikuti oleh para sahabatnya,
para ulama ahli ijtihad dan ahlul hadits yang mereka itulah Assawadul A’zhom dan pengikut kebenaran.
Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud tentang Al-Jama’ah :
الْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَك
“Al-Jama’ah adalah apa yang mencocoki kebenaran walaupun engkau sendiri”.
Berkata Abu Sy amah dalam Al-Ba’its hal.22
: “Dan apabila datang perintah untuk komitmen terhadap Al-Jama’ah, maka
yang diinginkan adalah komitmen terhadap kebenaran dan pengikut
kebenaran tersebut walaupun yang komitmen terhadapnya sedikit dan yang
menyelisihinya banyak orang. Karena kebenaran adalah apa-apa yang
jama’ah pertama r dan para sahabatnya berada di atasnya dan tidaklah
dilihat kepada banyaknya ahlul bathil setelah mereka.”
Lihat : Al-I’tishom 2/767-776 tahqiq Salim Al-Hilaly, Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhaj Al-Asy’ariyah Fi Tauhidillah 1/20-23, Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/49-54, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asy’ariyah 1/26-32.
Kesimpulan :
Bisa disimpulkan dari seluruh penjelasan di atas bahwa Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah adalah para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik dari para ulama Ahli Ijtihad dan Ahli Hadits yang
berjalan di atas Al-Qur’an dan Sunnah dan siapa saja yang mengikuti
mereka dalam hal tersebut sampai hari kiamat. Wal Ilmu ‘Indallah .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar